in

SMP IT Al Kahfi Pasbar, Mengurai Akar Masalah Literasi Kita 

Hafia Akbar
(GURU SMP IT AL KAHFI PASBAR)

Menurut Programme for International Student Assessment (PISA) atau program penilaian pelajar internasional, skor literasi membaca Indonesia turun pada 2022. Penilaian ini dilakukan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).

Pada 2022 skor literasi membaca PISA Indonesia mencapai 359 poin, berkurang 12 poin dibanding tahun 2018. Belum lagi merujuk data dari assessment nasional yang menunjukkan bahwa satu dari dua siswa Indonesia belum mencapai kompetensi minimun literasi.

Hal ini semakin menguatkan bahwa literasi tanah air kita semakin tidak baik-baik saja, sekaligus lebel sebagai negara memiliki budaya literasi yang belum mumpuni semakin menggaung.  Padahal Menurut salah seorang pegiat literasi tanah air kita, kang Maman.

Kita mempunyai epos I La Galigo di Sulawesi Selatan sebagai naskah sastra terpanjang di dunia. Begitupun di berbagai daerah nusantara lainnya, juga memiliki naskah-naskah kuno yang berisi pengetahuan atau kisah-kisah masa lampau.

Kekayaan warisan masa lampau tersebut menguatkan bahwa akar permasalahan kita bukan pada budaya literasi, melainkan jejak mentereng literasi tersebut perlahan mulai terkikis oleh berbagai faktor dan persoalan.

Salah satu yang mendasar ialah kurangnya buku atau sumber bacaan, yang seharusnya menjadi tulang punggung dalam memelihara dan mewariskan kekayaan literasi kepada generasi yang akan datang.

Di tanah air kita saja rasio perbandingan koleksi perpustakaan daerah dengan jumlah perbandingan jumlah penduduk sebesar 1:90 artinya satu buku ditunggu oleh 90 orang. Sedangkan standar pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan bangsa-bangsa (Unesco) menyebutkan bahwa setiap orang minimal membaca tiga buku setiap tahunnya.

Dalam konteks ketidakwajaran antara standar nilai dan realitas literasi di Indonesia, situasi semakin memperlihatkan ketidaksetaraan yang mencolok. Rasio perbandingan koleksi perpustakaan daerah dengan jumlah penduduk yang mencapai 1:90 menyoroti ketimpangan dalam akses terhadap sumber bacaan.

Tentunya, ketidaksetaraan ini semakin diperparah dengan fakta bahwa minat baca masyarakat kita hanya mencapai 0,001, artinya hanya 1 dari 1000 orang yang rajin membaca. Fenomena ini menjadi sinyal kuat bahwa kesenjangan literasi di negara kita memerlukan perhatian serius.

Masalah yang sedang menggerogoti literasi bangsa kita saat ini harus memerlukan solusi yang tepat. Penting untuk menghindari agar permasalahan ini tidak berlarut-larut dan menjadi pewarisan negatif ke berbagai generasi.

Jika tidak segera diatasi, dapat terbentuk generasi yang kurang literat, di mana kegiatan membaca menjadi sesuatu yang asing dan diabaikan. Akibatnya, bangsa ini berisiko kehilangan daya pikir kritis dan kemampuan berpikir analitis.

Untuk menanggulangi kondisi tersebut, dibutuhkan tindakan konkret. Mengandalkan perpustakaan sekolah sebagai satu-satunya sarana untuk membaca tidaklah cukup, terutama mengingat keterbatasan waktu buka perpustakaan yang sering kali terbatas karena berada di lingkungan sekolah.

Maka perlunya kolaborasi antara pihak pemerintah, sekolah dengan gerakan literasi warga. Yakni, Pengoptimalan dan keberadaan perpustakaan desa yang memiliki peran yang sangat penting dalam perjalanan literasi bangsa kita.

Selain memiliki waktu akses yang lebih fleksibel karena berada di lokasi masyarakat, perpustakaan desa bisa dijadikan tempat diskusi atau bincang buku kapan pun. Dalam konteks ini, pihak sekolah dapat bekerja sama dengan inisiatif literasi warga, memastikan bahwa perpustakaan desa tidak hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku, tetapi juga menjadi pusat kegiatan literasi.

Namun, saat ini, permasalahan yang dihadapi adalah minimnya jumlah perpustakaan desa. Dari data yang tersedia, hanya terdapat sekitar 33.000 unit perpustakaan desa, sementara Indonesia memiliki lebih dari 84.000 desa atau kelurahan.

Seharusnya, pengadaan perpustakaan desa ini juga perlu didukung secara merata seperti halnya keberadaan Posyandu oleh Dinas Kesehatan dan poskamling oleh Polri. Dinas Pendidikan setempat harus mengambil langkah serupa untuk memastikan adanya pemertaaan perpustakaan di setiap desa, memastikan bahwa literasi dapat diakses dengan merata di seluruh negeri.

Langkah berikutnya adalah mengubah paradigma perpustakaan dari ruang yang sunyi menjadi tempat diskusi dan dialog, tempat bertukar pikiran. Perpustakaan dengan paradigma sunyi cenderung menciptakan kesan yang kurang ramah dan terkadang membuat sebagian orang merasa takut atau segan untuk masuk.

Atmosfer sunyi ini dapat menciptakan rasa kaku atau tekanan, terutama bagi mereka yang kurang berpengalaman atau kurang percaya diri dalam lingkungan literasi. Dengan mengubah paradigma tersebut menjadi tempat diskusi dan dialog, perpustakaan dapat menjadi lebih terbuka, menghilangkan rasa takut, dan memotivasi masyarakat untuk aktif terlibat dalam kegiatan literasi.

Melalui upaya bersama antara pemerintah, sekolah, dan gerakan literasi warga, serta optimalisasi perpustakaan desa, kita dapat menjembatani kesenjangan literasi dan mewujudkan masyarakat yang lebih literat dan berpikiran kritis.(Hafia Akbar, GURU SMP IT AL KAHFI PASBAR)

What do you think?

Written by Julliana Elora

M Fajar Rillah Vesky Gagas Pelestarian Adat di Nagari

Ketua KPPG Devi Febrida Ikuti Alek Nagari Babako, Siap Wakili Pampangan Nan XX di DPRD