YOGYAKARTA – Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X, memerintahkan seluruh bupati dan wali kota di DIY mencegah praktik diskriminasi. Perintah tersebut tertuang dalam Instruksi Gubernur DIY No 1/INSTR/2019 tentang Pencegahan Potensi Konflik Sosial yang terdiri atas tujuh poin instruksi dan telah ditandatangani Sultan HB X pada 4 April 2019.
“Gubernur punya kewenangan menegur dan memberikan sanksi bagi bupati/wali kota yang tak melakukan instruksi ini. Sanksinya banyak, ada aturannya,” kata Sekretaris Daerah DIY, Gatot Saptadi, di Yogyakarta, Jumat (5/4).
Perintah Gubernur tersebut terkait dengan adanya kasus yang terjadi di Dusun Karet, Desa Pleret, Kabupaten Bantul, di mana aturan warga setempat yang melarang warga non-muslim tinggal di daerah tersebut.
Gatot menegaskan, aturan warga setempat tersebut ilegal yang keberadaannya seharusnya bisa dicegah oleh penyelenggara pemerintahan setempat.
“Ketika kita cermati peraturan bersifat ilegal tersebut sudah sejak 2015. Ini saya juga tidak tahu yang (daerah) lain ada atau tidak,” kata dia.
Tujuh Instruksi
Tujuh instruksi tersebut sebagai berikut. Pertama, melakukan pembinaan dan pengawasan dalam rangka mewujudkan kebebasan beragama dan beribadah menurut agama dan keyakinannya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan dan bertempat tinggal.
Kedua, melakukan upaya pencegahan praktik diskriminasi dan menjunjung tinggi sikap saling menghormati serta menjaga kerukunan hidup beragama dan aliran kepercayaan.
Ketiga, melakukan upaya pencegahan dengan merespons secara cepat dan tepat semua permasalahan di dalam masyarakat yang berpotensi menimbulkan intoleran dan/atau potensi konflik sosial.
Keempat, meningkatkan efektivitas pencegahan potensi intoleran dan/atau potensi konflik sosial, secara terpadu, sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing berdasarkan perundang-undangan.
Kelima, mengambil langkah-langkah cepat, tepat, tegas, dan proporsional berdasarkan peraturan perundang-undangan dan menghormati nilai-nilai hak asasi manusia untuk menghentikan segala bentuk tindak kekerasan akibat intoleran dan/atau potensi konflik sosial.
Keenam, menyelesaikan berbagai permasalahan yang disebabkan oleh Suku, Agama, Ras, Antargolongan (SARA) dan politik yang timbul dalam masyarakat dengan menguraikan dan menuntaskan akar masalahnya.
Ketujuh, melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan penanganan konflik sosial sebagaimana diatur dalam Perda DIY No 107/2015 tentang Penanganan Konflik Sosial, kepada Organisasi Perangkat Daerah, Kepala Desa sampai dengan masyarakat di lingkungan Kabupaten/Kota. YK/E-3