Oleh : Two Efly, Wartawan Ekonomi
Rabu dini hari (22 Februari 2023) menjadi hari penting bagi institusi Polri di Sumbar. Seorang Jendral Bintang Dua dengan memakai sebo dan sweater turun tangan langsung merazia Stasium Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Tak tanggung-tanggung, 10 unit armada pelangsir BBM berhasil diciduk.
“Turun gunungnya” seorang Kapolda bukanlah hal yang biasa. Kalaulah tak penting amat maka tak mungkinlah seorang Bintang Dua turun tangan di subuh buta seperti itu. Bak emosi yang sedang menggemuruh, sikap marah sang Jenderal bisa jadi sudah mengubun-ubun. “Turun gunung” dan melihat langsung ke lapangan menjadi pilihan terbaik. Sungguh sikap ini perlu diapresiasi dan ditauladani.
Kenapa Kapolda sampai marah? Marilah kita bicara data. Rerata supply BBM Bio Solar di Sumbar per harinya mencapai 1.580 Kilo liter sampai 1.600 Kilo Liter. Sebulannya berkisar antara 57.000 Kilo Liter sampai 60.000 Kilo Liter. Kebutuhan ini bersifat fluktuatif seiring permintaan konsumen. Di hari libur terutama long week end ada kecenderungan meningkat dan di hari normal kebutuhannya relatif stabil.
Wajar dan patutkah kebutuhan sebanyak itu? Hingga akhir tahun 2022 tercatat Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dengan beragam tipe sebanyak 132 unit. Dua di antaranya berstatus COCO (Corporate Owner Corporate Operator) dan sisanya berstatus CODO (Corporate Owner Dealer Operator) dan DODO (Dealer Owner Dealer Operator). Ke 132 unit SPBU ini terdistribusi ke seluruh kabupaten dan kota di Sumbar. Lokasi terbanyak adalah kota Padang sebanyak 25 unit dan sisanya menyebar di kabupaten dan kota lainnya di Sumbar.
Bagaimana dengan jumlah kendaraan? Berdasarkan data BPS akhir tahun 2022 tercatat jumlah kendaraan di Sumbar mencapai 2.536.335 unit. Rinciannya, 2.118.305 sepeda motor, 278.705 kendaraan penumpang, 135.086 mobil angkutan barang dan hanya 4.239 berupa angkutan penumpang umum (bus). Data ini juga bisa dijadikan perbandingan untuk melihat besaran pendapatan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). (Data Publikasi transportasi dikutip BPS tertanggal 21/12/2022)
Data di atas tentulah dapat menuntun kita bersama. Pasokan sebanyak 1.580 Kilo Liter sampai dengan 1.600 Kilo Liter per hari untuk Bio Solar apakah cukup atau over supply. Kalau seandainya cukup kenapa di sejumlah SPBU masih ditemukan antrean kendaraan. Silakan analisis sendiri, he he he.
Menyelamatkan APBN
Sepintas apa yang dilakukan Kapolda ini bisa saja dikatakan biasa-biasa saja. Tak tertutup pula ada sebagian orang skeptis dan berpendapat Kapolda sedang mencari “panggung”. Istilahnya pencitraan lah. Pikiran picik itu sah-sah saja. Hukum alam selalu berkata “Sebuah keputusan pastilah tak akan bisa memuaskan semua orang”.
Di mata penulis, apa yang dilakukan Kapolda ini adalah hal yang luar biasa. Alasannya sederhana saja, sudah puluhan Kapolda yang bertugas di Sumbar namun baru Irjen Pol Suharyono yang mau dan mampu melakukan itu, tengah malam buta seperti itu pula lagi.
Besarkah dampaknya? Jelas dan pasti. Sikap tegas seorang Kapolda melakukan itu tentulah menimbulkan dampak terapi yang besar. Para pemain pengemplang/ pelangsir BBM tak bersebut status dan profesi dipastikan cemas dan ketakutan. Kalaulah sekelas Jenderal Bintang Dua (Pangkat Militer Tertinggi) saat ini di Sumbar yang menebas pengemplang/ pelangsir tentulah berdampak sistemik pada yang lainnya.
Bak sekali merangkul dayung, “dua sampai tiga pulau terlampaui”. Selain memberikan efek terapi pada penyedot subsidi negara, sikap tegas Kapolda juga sebagai bentuk upaya penegakan hukum dan penyelamatan uang negara. Sebab, semakin banyak pengemplang/pelangsir BBM maka semakin banyak pula BBM Bersubsidi ini yang diselewengkan. Muara akhirnya adalah membengkaknya subsidi negara akibat tidak tepat sasaran.
Penulis yakin apa yang dilakukan Kapolda kemarin baru menyentuh puncak “gunung es”. Di bawah dan di lapangan masih banyak tindakan pengemplangan/ pelangsiran lainnya terjadi. Mereka itu bermain dengan “rapi”. Mulai dari tangki mobil passengger yang dimodifikasi hingga ke modus operandi lainnya.
Barangnya Sama tapi Harganya Berbeda
Produknya sama tapi harganya berbeda. Produknya sama-sama Bio Solar (B-30) yang berisikan campuran fame 30 persen. Namun soal harga ada jomplang yang begitu dalam.
Sesuai list harga yang diterbitkan Pertamina Patra Niaga periode 2 Februari 2023 harga Bio Solar Industri dibanderol Rp23.500 per liternya. Harga itu belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kalaupun ada discount marketing maka tak mungkin pula lebih dari 35 persen dari harga list. Artinya, secara price B-30 Industri tetaplah terpaut jauh dengan harga B-30 (Bio Solar) untuk “rakyat badarai”.
Mari kita bandingkan dengan harga perolehan Bio Solar di SPBU. Saat ini harga perolehan Bio Solar di SPBU Rp 6.800 per liter. Bila harga BBM Industri (Non Subsidi) dikomparasi dengan harga bersubsidi maka itu sama artinya Rp23.500 – Rp6.800 = Rp16.700 per liter. Sungguh sebuah deviasi harga yang sangat “dalam dan lebar”.
Secara bisnis, deviasi yang dalam pastilah menggiurkan. Ada margin yang sangat tebal memanggilkan aktivitas pelangsiran/ pengemplangan/penyelundupan. Inilah yang memicu mengalirnya BBM bersubsidi ke nonsubsidi. Bentuk dan penggunanya pun bermacam-macam. Bisa saja Genset dengan KVA (Kilo Volt Amper) besar untuk Gedung, Hotel, Perkantoran, Pabrik (proses produksi barang secara massal). Bisa saja alat berat untuk peralatan tambang dan bisa pula kendaraan besar yang memang secara regulasi tak boleh “mengkonsumsi” BBM ber Subsidi.
Kalkulasi bisnisnya sederhana saja. Jika satu unit armada bisa mengemplang/ pelangsir 1.000 liter, maka ada margin lebih kurang Rp16.700.000 per tripnya. Bayangkan saja kalau itu dilakukan dalam partai besar hingga 5.000 liter, tentulah marginnya kian tebal dan menggiurkan.
Langkah Awal Bersih-bersih
Spekulan dan pengemplangan/pelangsiran tak hanya terjadi pada penyelewengan Bio Solar. Sesuai dengan regulasinya, ada aturan yang tegas dan jelas tentang tata kelola dan penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi.
Kalau di kelompok kendaraan bermesin diesel produk incaran pengemplang/ pelangsiran adalah Bio Solar (B-30). Sementara di kelompok mesin satu lagi adalah Bahan Bakar Minyak Pertalite (ron 90).
Ini juga “jamak” ditemukan, walau tak semasif dan separah Bio Solar, peluang pengemplangan/pelangsiran Pertalite juga tak bisa dipandang remeh. Wara-wirinya mobil langsir “menghisap” BBM Pertalite di SPBU juga mesti jadi perhatian kita bersama. Memang jumlahnya tak besar. Mereka hanya bermain rerata 30 liter sampai dengan 35 liter per langsir. Andai dalam sehari satu pelangsir bisa dapat tiga kali langsir maka tentulah jumlahnya cukup besar. Apalagi kalau dikalikan dengan berapa banyak pelangsir yang melakoni profesi itu.
Di mata penulis ini adalah langkah awal. Sikap Tut Wuri Handayani dari seorang Jenderal Bintang Dua mustilah kita support bersama sama. PT Pertamina Patra Niaga sebagai operator mestilah seiring selangkah dengan aparatur penegak hukum. Apalagi Pertamina selaku operator juga tak memiliki piranti untuk melakukan pengawasan dan penindakan di jalur pidana.
Terima kasih Jenderal !!! Langkah tegasmu sangat diharapkan publik Sumatera Barat demi terjaga distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan tepat sasaran. Kami tunggu terobosan berikutnya Jenderal !!! (***)