Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaan semenjak tahun 1945. Namun, dewasa ini dunia pendidikan kita belumlah merdeka. Pemerintah melalui kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengusung kurikulum teranyar dengan sebutan Kurikulum Merdeka. Merdeka belajar untuk siswa dan merdeka mengajar untuk para guru.
Merdeka artinya bebas dan tidak terikat, sehingga merdeka belajar artinya siswa diberikan kebebasan untuk memperoleh kepandaian atau ilmu sesuai dengan kemampuan yang terdapat dalam diri masing-masing siswa.
Sudah saatnya siswa dibebaskan dari tuntutan untuk menuntaskan seluruh kompetensi dasar yang tertuang dalam silabus setiap mata pelajaran. Mereka tidak harus lagi dinilai dengan angka-angka yang telah ditetapkan dalam Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Sebab kemampuan setiap siswa tidaklah sama.
Kalau kita mengukur prestasi setiap siswa dari angka-angka dan peringkatnya di kelas, maka bagaimana dengan mereka yang peringkat akademiknya rendah? Apakah mereka akan terus dilabeli sebagai siswa yang bodoh? Tentu saja ini tidak adil, karena mungkin saja mereka memiliki bakat terpendam di luar akademis seperti bermain bola atau memasak.
Senada dengan salah satu kata-kata bijak yang dikemukakan Albert Einstein “Semua orang jenuis. Tetapi jika Anda menilai seekor ikan dengan kemampuannya memanjat pohon, ia akan menjalani hidupnya dengan percaya bahwa dirinya bodoh.”
Artinya tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama dalam berbagai hal. Sebagai contoh, ada seorang siswa yang sangat pandai menyelesaikan soal-soal hitungan, namun di lain hal, dia sangat lemah dalam bidang seni seperti menggambar dan bernyanyi.
Setiap siswa memiliki kemampuan dan kecerdasan yang berbeda berdasarkan potensi yang ada di dalam dirinya. Ada siswa yang memiliki kemampuan belajar secara auditori, ada pula yang memiliki kemampuan belajar secara kinestetik, dan tidak sedikit pula siswa yang memiliki kemampuan belajar secara visual.
Sehingga mereka tidak boleh diperlakukan dan memperoleh pembelajaran dengan metode yang sama. Semua peserta didik harus mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensi mereka.
Merdeka belajar diharapkan dapat mencapai tujuan dari pendidikan nasional yang termaktub dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Ketercapaian tujuan pendidikan dan kurikulum merdeka tersebut tidaklah mudah. Sebagaima dahulu para pejuang meraih kemerdekaan dengan perjuangan, maka saat ini para guru juga harus berjuang untuk merdeka dalam mengajar dan mewujudkan merdeka belajar.
Berjuang meninggalkan metode konvensional (ceramah) yang sudah mengakar sejak lama namun tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini, termasuk hanya menjadikan buku paket sebagai sumber belajar. Kemajuan teknologi sedapatnya dipergunakan untuk meringankan guru dalam menghadirkan media dan sumber belajar.
Untuk menghadirkan pembelajaran kontekstual, guru juga dapat memanfaatkan lingkungan dan masyarakat sekitar sebagai sumber belajar. Guru tidak lagi diharuskan mengajar di dalam ruangan kelas.
Selanjutnya yang paling penting adalah memerdekakan diri dari pemikiran negatif bahwa penggantian kurikulum adalah sebuah proyek yang akan memberatkan guru dan siswa. (***)