Sulap Kotoran Ayam jadi Rupiah
Jika anak muda seusianya jijik melihat kotoran ayam, Sujadmiko malah mengolahnya jadi rupiah. Kotoran ayamlah mengantarnya menjadi salah satu pengusaha muda di Limapuluh Kota. Seperti apa?
Sebuah bangunan memanjang berukuran puluhan meter mengeluarkan aroma kurang sedap. Sekitar empat orang pekerja sibuk dengan tugasnya masing-masing. Sebuah mesin penggiling dan pencampur kotoran menggunakan molen pengaduk pasir, jadi peralatan pabrik sederhana pembuatan pupuk organik milik, Sujadmiko.
Beroperasi di Nagari Pilubang, Kecamatan Harau, pria kelahiran Sorek, Provinsi Riau, 14 Oktober 1990 ini sudah mampu memproduksi hingga 7 ton pupuk per harinya. Pemasarannya menembus sejumlah daerah di Sumatera Barat, terutama sentra-sentra pertanian.
Memiliki keinginan yang kuat untuk memanfaatkan kotoran ayam di Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh yang terkenal sebagai sentra peternakan ayam, ayah Mutiara Arasy ini mulai merancang usahanya sejak masih duduk di bangku kuliah.
Saat masih menjadi mahasiswa jurusan Teknik Pertanian di Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Andalas Padang, Sujadmiko sudah ingin terjun langsung membuka usaha pengolahan kotoran ayam menjadi pupuk organik. Sebab anak muda yang biasa disapa Miko ini melihat peluang pasarnya yang terbuka lebar di Sumatera Barat.
Sujadmiko termotivasi usai mengikuti Praktik Kerja Lapangan (PKL) menjelang akhir masa studinya di pabrik pupuk Gresik. Dibekali ilmu teknologi pertanian, suami, Annisa Fitri ini tidak menyia-nyiakan ilmu yang dimilikinya.
Tidak sabar menunggu diwisuda sekitar tahun 2013, Sujadmiko awalnya bertekad untuk memulai usaha sendiri. “Jangan sekarang, tamatkan dulu kuliahmu,” kenang Sujadmiko ketika tidak diizinkan memulai usaha sebelum menamatkan kuliah oleh orangtuanya.
Sekitar tahun 2013 bersama salah seorang pengusaha ayam petelur di Limapuluh Kota bernama, Agung, Miko sudah mampu memiliki pabrik pengolahan pupuk organik di dua tempat.
“Sampai saat ini, kita masih belum sepenuhnya mampu mengisi kebutuhan pasar. Sepertinya dibutuhkan penambahan produksi yang otomatis juga perlu tambahan tenaga kerja, peralatan dan tempat pengolahan,” sebut Sujatmiko.
Tidak mau dianggap terlalu berlebihan, putra pasangan, Ayah Harioyono dan Ibu, Radiah ini, diperkirakan sudah mampu memiliki omzet ratusan juta setiap bulannya dari hasil penjulan pupuk organik.
“Sesuai kebutuhan tanaman dan pengolahan untuk mengurai kotoran ayam sejumlah tambahan mikroba dan bakhteri pengurai menjadi tenaga bantuan. Kemudian kita kemas dalam karung berisi bersih 50 kilogram dengan harga Rp 10 ribu per kilonya,” beber alumni SMA Negeri 2 Rokan Hulu, Riau ini.
Memiliki empat orang karyawan, pabrik pengolahan pupuk Sujadmiko masih terbilang sederhana. Namun omzet yang dihasilkan jauh dari kata sederhana. Kemauan yang keras dan pantang menyerah sebagai karakter anak muda ini, menjadikannya salah satu generasi enterpreneur yang patut diapresiasi.
Memberi label “Pupuk Organik Angkasa” pada karung kemasannya, saat ini mulai akrab dengan petani di Kabupaten Solok, Kota Solok, Kabupaten Solok Selatan, Agam, Limapuluh kota dan Bukittinggi.
Alumni Teknik Pertanian yang menduduki bangku kuliah sejak tahun 2009 itu, sudah memperlihatkan kemampuannya dalam bidang usaha dengan memboyong penghargaan sebagai juara 1 Bisnis Competition HIPMI UPT Unand.
Kemudian pada tahun 2014, Sujadmiko dinobatkan sebagai juara 1 Wirausaha Bank Indonesia tahun 2014/2015. Terakhir juga menjadi yang terbaik dalam ajang Al Ahmadi Award se Sumatera, Singapura dan Malaysia dalam bidang Agribisnis. (*)
LOGIN untuk mengomentari.