Pada 6 Novemver 2017 lalu, Laksamana Malahayati resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Penganugerahan Gelar Pahlawan tersebut berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 115/TK/TAHUN 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Penetapan ini disambut dengan “gegap gempita” oleh masyarakat Aceh. Betapa tidak, Malahayati adalah perempuan tangguh yang disebut-sebut sebagai laksamana perempuan pertama di muka bumi. Tentu ada kebanggan yang tak terperi menyambut kabar gembira ini. Beberapa media melaporkan bahwa plakat gelar pahlawan tersebut diterima oleh salah seorang keturunannya, Teungku Putroe Safiatuddin Cahya Nuralam yang saat ini bermukim di NTB.
Namun di sebalik itu, mungkin karena larut dalam kesyahduan sejarah Aceh masa lalu yang gilang gemilang di bawah kendali para Sultan nan perkasa, terbesitlah keinginan dari sebagian kalangan agar keturunan para sultan yang bermukim di tanah seberang dapat pulang ke Aceh. Tidak hanya itu, ada pula keinginan dari beberapa gelintir masyarakat Aceh, khususnya para netizen yang berhasrat agar posisi Wali Nanggroe juga diduduki oleh keturunan Sultan.
*******
Artikel ini hanya akan mengupas terkait isu ini saja dan sebisa mungkin diusahakan agar tidak meluas sehingga menambah kepeningan. Di satu sisi, keinginan sebagian kalangan yang hendak menghidupkan semula istilah sultan dan sultanah di Aceh memang dapat dimengerti sebagai sebuah penegasan identitas Keacehan – yang mungkin pasca kembalinya GAM ke pangkuan Ibu Pertiwi – identitas itu telah mulai terendam.
Tapi di sisi lain, memunculkan kembali istilah sultan dan sultanah di Aceh, pasca revolusi sosial yang telah menumbangkan “penguasa-penguasa feodal” dan melahirkan Aceh modern adalah sebuah usaha yang justru membawa Aceh bergerak mundur jauh ke belakang. Lagi pula, era kesultanan di Aceh telah selesai dan berakhir dengan ditawan dan dibuangnya Sultan Aceh terakhir, Sultan Muhammad Daud Syah. Jika pun ada pihak-pihak yang mengaku dirinya sebagai sultan pasca Sultan Aceh terakhir, maka dapat dipastikan sebagai sultan palsu. Sebab tidak ada sultan setelah sultan terakhir.
Dan sebelumnya, oleh Sultan Aceh, kepemimpinan politik dan jihad guna melawan penjajah Eropa, dalam hal ini Belanda, telah pula diserahkan kepada kaum ulama yang dalam sejarah Aceh nan panjang telah menjadi mitra dan “pengawas” bagi para sultan. Saat itu, kepemimpinan jihad diserahkan kepada Teungku Chiek Ditro sebagai perwakilan dari kaum ulama. Kepemimpinan trah Tiro ini terus berlanjut sampai wafatnya Teungku Maat Ditiro.
Dalam tahapan selanjutnya, kepemimpinan di Aceh terus berada di tangan para ulama yang pada abad 20 dipegang oleh Teungku Chik Muhammad Dawud Beureueh, seorang ulama yang kemudian menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Daud Beureueh, sebagaimana halnya para ulama pendahulunya adalah sosok yang tetap berpegang teguh pada titah Sultan Aceh untuk terus melakukan perlawanan terhadap upaya-upaya kolonialisme di Aceh.
Kepemimpinan Dawud Beureueh dalam revolusi kemerdekaan di Aceh memiliki persambungan sanad yang berurat akar pada misi jihad yang digelorakan oleh Teungku Chiek Ditiro – yang dalam kenyataan sejarah adalah sosok yang ditunjuk oleh Sultan sendiri. Fakta lainnya, bahwa kaum ulama yang dimulai dari Teungku Chiek Ditiro sampai dengan Teungku Chiek Dawud Beureueh sama sekali tidak pernah menujukkan pengkhianatannya kepada Sultan Aceh, meskipun di masa Abu Beureueh, era kesultanan itu sendiri telah berakhir.
Dan sejarah juga mencatat, bahwa awal keruntuhan Kesultanan Aceh justru disebabkan oleh “pengkhianatan” beberapa gelintir ulee balang yang dalam kehidupan sosial politik masa itu telah memosisikan diri sebagai raja-raja kecil yang secara de facto menguasai daerahnya masing-masing. Saat itu, Sultan Aceh hanya menjadi simbol belaka di tengah kerumunan raja-raja kecil yang diperankan uleebalang.
Dengan demikian, jika kita ditanyai orang: “siapakah yang berkhianat terhadap Sultan Aceh?” Jawabnya adalah “raja-raja keci” yang dalam tahapan selanjutnya terus berkompetisi dengan kaum ulama – yang merupakan pelanjut titah Sultan nan setia. Dan peran raja-raja kecil ini semakin tergerus ketika Belanda terdesak oleh mendaratnya pasukan Jepang di Aceh. Kedatangan Jepang menjadi awal dari rubuhnya mahligai dan singgasana raja-raja kecil di Aceh.
Sampai dengan kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, kepemimpinan politik de facto di Aceh tetap berada di bawah kendali kaum ulama. Adapun raja-raja kecil kian terdesak posisinya. Keterdesakan ini kian memuncak pada saat dan pasca Revolusi Sosial yang tidak hanya meruntuhkan kekuasaan uleebalang di Aceh, tapi juga menyisakan “cerita pilu” yang cukup menyedihkan.
Sultan dan Wali Nanggroe
Beberapa paragraf di atas hanya sebatas pengantar belaka guna memahami posisi sultan uleebalang dan ulama di Aceh. Uraian ini menjadi penting menimbang ada sebagian netizen yang terjebak dalam perdebatan hapit ale puntoeng yang diakhiri dengan teumeunak dan ceumarot ketika logikanya ternyata tumpul.
Hal ini terlihat jelas ketika ada sebagian kalangan yang menuding kaum ulama bertanggungjawab atas runtuhnya kesultanan di Aceh. Pernyataan ini selain bertentangan dengan kenyataan sejarah sebagaimana terurai di atas, juga disebabkan oleh lemahnya daya nalar. Dan patut diduga, penyakit serupa ini biasanya diderita oleh mereka-mereka yang gemar meminum “koyok.”
Sementara itu, keinginan sebagian kalangan agar posisi Wali Nanggroe diduduki oleh keturunan sultan juga terlihat lucu dan menggelikan. Secara tidak langsung, gagasan liar ini menjadi awal dari upaya halus guna “membubarkan” Lembaga Wali Nanggroe yang selama ini masih ditanggapi pro-kontra. Jika memang sultan akan kembali dijadikan simbol adat di Aceh, maka sepakat atau pun tidak, Lembaga Wali Nanggroe harus “undur diri” dan digantikan dengan Lembaga Kesultanan Aceh.
Dari diskusi yang berkembang, khususnya di jagad maya, tersiar sebuah harapan dari sebagian kalangan bahwa kejayaan Aceh akan kembali di bawah naungan sultan. Harapan serupa ini tak lebih dari sebuah igauan belaka. Sama halnya seperti anak-anak yang membeli kerupuk menggunakan kepingan uang lima rupiah. Tidak hanya persoalan nilai “lima rupiah” yang untuk membeli pecahan permen saja tidak cukup, tapi fisik uang tersebut juga sudah tidak laku di pasar-pasar modern. Benar, pecahan lima rupiah pernah berjaya di masanya, tapi tidak untuk zaman ini.
Lagi pula, keberadaan sultan di alam demokrasi seperti sekarang ini tidak akan membawa dampak apa pun bagi kesejahteraan masyarakat Aceh. Kehidupan sosial masyarakat Aceh yang egalitarian tentu akan “terganggu” dengan keberadaan sultan dan perangkat-perangkatnya – yang bukan tidak mungkin akan melahirkan kasta-kasta baru di Aceh.
Dan, dalam konteks kekinian, kedudukan sultan yang hanya sebagai simbol belaka sama saja dengan menipu diri. Sultan tanpa kuasa adalah “sultan palsu.” Dan akhirnya hanya kan menjadi “Su Tan” (tidak ada suara).