Jakarta (ANTARA News) – Film “Surau dan Silek” yang mendapat kehormatan ditayangkan pada festival Del Cinema dIndonesia atau Festival Film Indonesia di Teatro della Compagnia di Kota Florence, Italia pada 23 September lalu, berhasil memperkenalkan kearifan lokal budaya Minangkabau.
Menurut sutradara Arief Malinmudo yang dihubungi dari Jakarta, Minggu, festival yang memasuki tahun ke-4 itu fokus untuk mengenalkan Indonesia pada masyarakat Eropa khususnya Italia lewat media Film.
“Pada tahun ini, Surau dan Silek berkesempatan menghantarkan budaya dari bagian barat Indonesia lewat film,” kata Arief yang dalam sebuah diskusi juga diminta untuk menjelaskan tentang konsep shalat, silek (silat) dan shalawat yang menjadi salah satu benang merah film.
“Film adalah jendela untuk melihat agama dan budaya, tergantung bagaimana kita persembahkan itu kedalam sebuah karya, karena bahasa film sangat universal, lintas budaya dan agama” ungkap Arief.
Film menurut ayah satu putra ini, adalah jendela untuk melihat agama dan budaya, tergantung bagaimana pekerja film persembahkan itu kedalam sebuah karya, karena bahasa film sangat universal, lintas budaya dan agama.
Salah seorang penonton warga Italia bernama Pietro, kepada Arief menyatakan bahwa dia sangat terkesan dengan kearifan lokal Sumatera Barat, karena selama ini mereka hanya mengenal Indonesia lewat Bali.
Pietro juga terkesan dengan akting anak-anak yang natural serta membuat para penonton yang menyaksikan film dengan tejemahan teks bahasa Italia juga sesekali terbahak melihat aksi para tiga sekawan Adil, Dayat dan Kurip.
Sebagai sutradara dan sekaligus penulis skenario, Arief merasa sangat bersyukur bisa hadir di Kota Florence membawa karya sederhananya bersama Mahakarya Pictures dan ditonton masyarakat Italia yang sebagian besar adalah Katolik dan Kristiani.
Pada sesi diskusi, banyak pertanyaan yang muncul seputar nilai-nilai budaya dan keagamaan dari para penonton dan kesempatan tersebut dimanfaatkan Arief untuk menyampaikan pandangannya tentang Minang dan Islam yang termaktub dalam kerangka berpikirnya dalam film Surau dan Silek pada masyarakat Florence.
Walaupun telah ditayangkan di beberapa negara dan berhasil mendapat respon yang positif, Arief merasa apa yang dilakukannya masih belum seberapa.
“Ini baru permulaan, saya masih harus belajar banyak lagi untuk karya karya selanjutnya”, ujarnya.
Festival yang berlangsung pada 22-24 September tersebut dibuka oleh Duta Besar Indonesia untuk Italia Esti Handayani.
Dalam sambutannya, Esti menyampaikan apresiasi tinggi kepada Asosiasi Indonesia Meets Italy (IMI) yang dipelopori Jacopo Cappucio dan Marina Andryani.
Cappuccio, penggagas festival Indonesia yang secara rutin setiap tahun mempromosikan film Indonesia melalui Festival del Cinema dIndonesia Firenze menyatakan bahwa inisiatif penyelenggaraan festival didasari kecintaannya pada Indonesia yang memiliki banyak talenta.
Menurut penulis pendamping skenario Adi Krishna, film “Surau dan Silek” sempat ditolak untuk ditayangkan di bioskop melalui jaringan Cineplex 21 karena dinilai terlalu lokal dan kebanyakan dialog berbahasa daerah.
“Ternyata Surau Silek mendapat sambutan yang luar biasa bertahan berminggu-minggu di bioskop di berbagai kota di Tanah Air. Saya berharap Surau dan Silek ini bisa menjadi semacam pembangkit batang tarandam perfileman dari Ranah Minang,” kata Adi yang juga dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang itu.
Selain Surau dan Silek, juga diputar film film terbaik Indonesia lainnya seperti “Ini Kisah Tiga Dara”, “Labuan Hati”, “Pertaruhan”, “Filosopi Kopi 1”, “Salawaku” dan “Filosopi Kopi 2”.
Editor: Tasrief Tarmizi
COPYRIGHT © ANTARA 2017