Perlukah Nobel Perdamaian untuk Aung San Suu Kyi dicabut? Untuk segala ketidakacuhannya, bahkan pengingkarannya, atas kebiadaban militer Myanmar terhadap kaum Rohingya, perlu.
Sebab, apalah arti Nobel Perdamaian kalau dia tak melakukan apa yang dulu dilakukan dunia kepadanya: bergandengan tangan memperjuangkan agar Myanmar tetap jadi “rumahnya”. Kini, setelah rumah itu nyaman dia tinggali, penasihat negara Myanmar tersebut tak mau berbagi sedikit pun kepada orang-orang Rohingya, the most persecuted ethnic minority versi PBB.
Tapi, persoalannya, apakah pencabutan Nobel Perdamaian itu bakal menyelesaikan masalah? Tidak, tampaknya. Bahkan, bisa jadi akan memicu ketersinggungan Suu Kyi dan Myanmar yang ujung-ujungnya bisa memperburuk kondisi warga Rohingya.
Yang sangat dibutuhkan warga Rohingya sekarang adalah jalan keluar secepat mungkin. Sebab, korban tewas terus bertambah.
Penghentian kekerasan adalah langkah awal yang mesti terus ditekankan secara bersama-sama dan terus-menerus oleh komunitas internasional kepada Myanmar. Diikuti dengan pembukaan akses bantuan.
Berikutnya, seperti diusulkan Sekjen PBB Antonio Guterres, pemberian kewarganegaraan kepada warga Rohingya. Minimal status legal yang jelas.
Dalam konteks itulah wacana pencabutan Nobel Perdamaian dari Suu Kyi tersebut perlu dipertimbangkan lagi. Sebab, bukankah lebih baik terus mengedepankan persuasi ketimbang memancing perdebatan baru yang nantinya malah bisa mengalihkan perhatian dari penderitaan Rohingya?
Demi membuka mata Suu Kyi tentang betapa krisis Rohingya ini telah demikian menodai citra diri dan negaranya. Sehingga diharapkan, kelak dia punya keberanian untuk meyakinkan warga Myanmar, juga para jenderal yang masih punya kuku kekuasaan, bahwa Rohingya adalah bagian sah dari mereka. (*)
LOGIN untuk mengomentari.