in

Swasembada Daging Sapi dan Kerbau Nasional

Menyambut Hari Ulang Tahun ke-72 Kemerdekaan Republik Indonesia,  ada pertanyaan yang mengganjal dalam hati. Apakah kita betul-betul sudah merdeka dalam setiap aspek kehidupan berbangsa? Dalam aspek ketahanan pangan masih banyak kita dengar gonjang ganjing tentang ketergantungan terhadap impor. Isu terakhir adalah impor garam, beras, gula, daging sapi dan kerbau, serta komoditi pangan lainnya. 

Isu-isu tersebut menggambarkan bahwa ketahanan pangan kita masih sangat labil. Artinya, kita belum sepenuhnya berdaulat. Padahal ancaman terhadap kedaulatan pangan dapat mengganggu aspek lain, terutama sosial dan ekonomi. Salah satu aspek ketahanan pangan yang sudah lama menjadi isu nasional adalah masalah impor daging sapi dan kerbau. 

Isu ini telah menjadi perdebatan berbagai kalangan mulai dari peternak, pengusaha/importir, akademisi, eksekutif, legislatif sampai ke yudikatif. Sudah diketahui khalayak ramai bahwa masalah impor daging telah banyak memakan korban, sehingga banyak oknum harus menanggung sanksi hukum, politik dan ekonomi. Namun yang paling menderita adalah rakyat kecil yang harus menanggung beban ekonomi yang semakin berat. Kondisi seperti ini jika dibiarkan berlarut-larut akan mengancam ketahanan nasional. 

Pencapaian swasembada daging sapi dan kerbau berbasis ekonomi kerakyatan mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencapai cita-cita luhur bangsa Indonesia. Yakni, pencapaian kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata. Dengan melibatkan masyarakat dalam pembangunan, akan memotivasi mereka untuk berperan aktif membangun perekonomian. Dengan demikian, pembangunan dapat dilakukan secara harmonis dan kekeluargaan, sehingga dapat berkontribusi di dalam ketahanan nasional.

Impor Daging Sapi dan Kerbau

Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau secara Nasional telah dicanangkan pemerintah sejak tahun 2000 dan target pencapaiannya sudah tiga kali mengalami perubahan yakni 2005, 2010 dan 2014, namun sampai saat ini target tersebut belum juga tercapai. Terakhir, target tersebut digeser lagi menjadi tahun 2022. 

Data BPS menunjukan bahwa pada tahun 2015 diperkirakan defisit daging sapi sebesar 237,88 ribu ton yang setara dengan 36,4% dari kebutuhan nasional. Untuk menutupi defisit tersebut, berbagai kebijakan telah ditempuh oleh pemerintah. Terakhir dalam tahun 2017 ini pemerintah melalui Perum Bulog telah mengimpor daging kerbau dari India.

Permasalahan impor sapi dan kerbau ini juga melibatkan banyak lembaga. Jika tidak diiringi dengan niat baik, maka swasembada daging sapi sulit diwujudkan. Oleh sebab itu, optimalisasi dalam segala aspek perlu menjadi pertimbangan. Jika kebijakan impor hanya menguntungkan pengusaha besar (importir) tanpa memikirkan kesejahteraan petani, maka kedaulatan pangan tidak akan tercapai. Kemudian, petani sebagai basis pertahanan pangan nasional tidak akan bergairah untuk berusaha di bidang peternakan sapi jika tidak menguntungkan secara ekonomi.

Rantai Agribisnis Sapi Potong

Selain kebijakan impor, faktor lain yang menjadi kendala adalah masih belum optimalnya pembagian keuntungan antar-pelaku bisnis peternakan rakyat di dalam negeri. Rantai agribisnis menurut alur produksi adalah pembibitan (breeding), penggemukan (feed lot) dan pemotongan hewan. Peternak pembibit menghasilkan sapi bakalan untuk digemukkan. 

Penggemukan dilakukan oleh peternak yang khusus memelihara sapi bakalan untuk digemukkan. Sapi yang telah gemuk selanjutnya dipotong oleh pengusaha pemotongan sapi. Antar rantai tersebut disambungkan oleh pedagang yang terdiri dari pedagang sapi dan pedagang daging. 

Ada kecendrungan, semakin ke hilir keuntungan yang diperoleh semakin besar, dan sebaliknya peternak pembibitan mendapat keuntungan lebih kecil dibandingkan peternak penggemukan. Begitu juga dengan usaha pemotongan hewan yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan usaha penggemukan. 

Permasalahan ini tentu menjadi lebih kompleks dengan adanya pedagang yang juga menginginkan keuntungan yang lebih besar tanpa mempertimbangkan kesulitan peternak. Oleh sebab itu, pembinaan teknis harus berjalan dengan efektif dan kebijakan impor serta rantai pemasaran juga harus dibenahi dengan optimal. 

Pengembangan Entrepreneurship

Pengembangan budaya kewirausahaan salah satu obat untuk mengobati penyakit “ketergantungan impor” ini adalah menumbuhkan budaya kewirausahaan (entrepreneurship). Baik di kalangan pengambil kebijakan maupun masyarakat pelaku bisnis. 

Pelaku bisnis mestinya menyadari bahwa impor daging mengindikasikan adanya peluang pasar yang besar. Peluang ini mestinya menimbulkan motivasi dan upaya untuk menangkapnya. Banyak potensi yang belum termanfaatkan untuk menangkap peluang tersebut, di antaranya sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya teknologi.

Potensi sumberdaya alam masih tersedia cukup besar di Indonesia khususnya di Sumbar. Lahan untuk menanam hijauan masih tersedia cukup memadai. Hasil samping dan limbah pertanian seperti jerami padi, limbah sawit, limbah jagung, serta limbah sayuran mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai pakan. 

Di samping itu, ternak lokal seperti sapi peranakan onggol (PO), sapi pesisir dan kerbau juga mempunyai potensi genetik yang sesuai dengan kondisi alam dan ketersediaan pakan di daerah ini. Harusnya, seorang wirausaha yang kreatif dapat melihat potensi tersebut untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah yang tinggi, seperti petuah Ciputra “seorang entrepereneur itu mampu mengubah sampah menjadi emas”.

Penelitian-penelitian di perguruan tinggi dan badan-badan Litbang telah banyak menghasilkan teknologi dan inovasi, namun kebanyakan masih tersimpan dalam laporan dan jurnal ilmiah, belum diaplikasikan ke tingkat praktisi. Hal ini disebabkan penelitian tersebut masih lebih terfokus kepada teknis, namun belum bernilai ekonomis. 

Dalam mengatasi permasalahan rantai produksi dan pemasaran yang belum berkeadilan dapat diselesaikan dengan membangun kelembagaan yang solid antar aktor terkait. Kemitraan antar aktor diatur dengan asas saling ketergantungan, saling menguntungkan dan saling menghidupi. Kebijakan harga harus mempertimbangkan keuntungan yang wajar untuk semua aktor, sehingga harmonisasi pada semua rantai produksi terbangun dengan serasi.

Mewujudkan semua ini tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu kemauan dan kerja keras semua pihak terutama akademisi, pelaku bisnis dan pemerintah. Kami pihak akademisi melalui Program Pengembangan Kewirausahaan Universitas Andalas mengajak pelaku bisnis dan Pemerintah Daerah untuk bergandengan tangan mewujudkan swasembada daging sapi nasional. Masyarakat Sumatera Barat yang dikenal dengan jiwa entrepreneurship yang tinggi dapat menjadi motor penggerak swasembada daging sapi dan kerbau nasional. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

60 Kg Ganja Ditutup Pakai Ikan Asin

Ryan ”Dr OZ”Maag Akut sebelum Meninggal