Sudah 13 tahun Munir Said Thalib meninggal. Pada 7 September 2004, aktivis hak asasi manusia (HAM) itu meninggal dalam penerbangan Jakarta–Amsterdam, Belanda. Racun arsenik yang masuk ke tubuh lewat minuman mengakhiri hidup Munir. Hingga saat ini, kasus tersebut belum sepenuhnya terungkap. Bahkan sampai Pollycarpus Budihari Priyanto, mantan pilot Garuda Indonesia yang divonis bersalah sebagai pembunuh Munir, bebas dari penjara.
Para pegiat HAM, termasuk istri mendiang Munir, Suciwati, tidak henti-henti mendesak pemerintah agar serius menuntaskan kasus tersebut. Termasuk meminta Presiden Joko Widodo menindaklanjuti temuan tim pencari fakta (TPF) kasus Munir.
Memang, kunci penyelesaian kasus tersebut terletak pada ada tidaknya kemauan politik (political will). Merunut perjalanan kasusnya, tewasnya Munir bukanlah kasus biasa. Apalagi, TPF sempat mengungkapkan bahwa ada dugaan kematian Munir berkaitan dengan instansi intelijen. Tanpa kemauan politik dari pemimpin negara, tabir kasus Munir akan sulit tersingkap.
Semestinya, situasi itu menjadi momentum untuk menunjukkan bahwa pemerintah memang memberikan perhatian terhadap penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa silam. Momentum untuk menunjukkan bahwa penegakan hukum memang menjadi salah satu agenda utama pemerintah. Sebagaimana yang digaungkan sebagai Nawacita.
Bukankah perwujudan Nawacita di bidang hukum itu, antara lain, ditujukan untuk memulihkan kepercayaan publik? Juga, memberikan keadilan dan kepastian hukum?
Lantas, di mana keadilan itu ketika suara-suara dari keluarga korban lewat aksi Kamisan tak kunjung didengar? Kemarin genap 505 kali para keluarga korban dan pegiat HAM berdiri dalam aksi Kamisan di depan Istana Negara. Mereka pun akan terus berdiri menuntut keadilan.
Kasus Munir seyogianya menjadi pelajaran agar tidak ada lagi kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum. Presiden perlu mengawal. Bukan untuk intervensi. Tapi, sebagai kepala negara, presiden perlu memastikan bahwa hukum sudah berjalan di atas relnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.