Lahat, BP- “Kami dek keruan sejarah batu-batu ini” (kami tidak tau sejarah batu-batu ini) demikian jawab Yudianto ketika kami bertanya tentang bebatuan yang berada di persawahan desanya. Begitulah yang kami temukan ketika kami akan melihat beberapa bongkahan batu yang berada di persawahan Desa Tanjung Raman Kecamatan Kota Agung Kabupaten Lahat, jangan keliru dengan Tanjung Raman yang ada di Kabupaten Muara Enim, Jumat (28/2/2025).
Desa Tanjung Raman yang mempunyai jumlah penduduk 235 jiwa (data 2022) dengan luas desa 7,92 km atau 4,78 % dari luas kecamatan Kota Agung merupakan salah satu desa dari 22 desa di Kecamatan Kota Agung yang bertetangga dengan Desa Kebun Jati dan Bintuhan. Sebelum terbentuknya Kecamatan Kota Agung, desa-desa di wilayah ini disebut dengan dusun yang terhimpun dalam satu wilayah marga yang bernama Marga Kebun Jati. Kemudian berdasarkan UU nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa wilayah marga menjadi kecamatan dan Marga Kebun Jati menjadi Kecamatan Kota Agung.
Untuk menuju Desa Tanjung Raman dari Kota Lahat ke arah barat atau ke arah Kota Pagar Alam. Setelah perjalanan selama 32 km belok ke arah kiri di simpang Asam dimana terdapat monumen patung Letjen Harun Sohar. Terus menyusuri jalan aspal ini hingga tiba di Desa Sukarame, tepat setelah masjid belok ke arah kanan dan ikuti jalan ini yang ukurannya lebih kecil dari jalan sebelumnya. Setelah 20 menit perjalanan sebelum masuk Desa Kebun Jati belok ke arah kiri ke arah Desa Tanjung Raman. Sebelum masuk desa terlihat tanda Selamat Datang di Desa Tanjung Raman. Total perjalanan dari Kota Lahat menuju Desa Tanjung Raman sekitar 1 jam 20 menit atau 52 km sedangkan jarak dari ibukota Kecamatan Kota Agung sekitar 12 km.
Setiba di Desa Tanjung Raman kami tim Panoramic of Lahat yang terdiri dari Mario Andramartik, Herlianto Sapsidi dan Fabio Renato langsung menemui Yudianto warga Tanjung Raman yang menggarap sawah dimana terdapat bebatuan yang akan kami lihat. Karena sedang ada suatu hajatan Yudianto belum bisa langsung menemani kami, akhirnya kami bertiga langsung menuju persawahan yang tak jauh dari pemukiman warga. Ketika tiba di persawahan yang disebut sebagai Ataran Lembak Dusun terlihat indah mempesona dengan hamparan persawahan dan beberapa pondok tetapi yang paling menjadi perhatian kami adalah sebuah pondok dengan kontruksi yang paling kokoh dan ternyata pondok ini adalah sebuah tengkiang yang merupakan sebuah pondok untuk menyimpan padi yang sudah dipanen. Satu hal yang sangat menarik dari kontruksi tengkiang selain bentuknya yang unik seperti ghumah baghi juga tengkiang didesign tidak dapat dimasuki oleh hama seperti tikus. Jadi padi yang disimpan di tengkiang akan aman dari hama tikus dan sejenisnya. Pada awalnya di persawahan dan desa Tanjung Raman banyak dibangun tengkiang sebagai pondok untuk menyimpang pagi. Tidak kurang dari 10 tengkiang ada di desa ini tetapi saat ini hanya tertinggal satu unit tengkiang milik Bastari (Kades Tanjung Raman) yang berada di persawahan Ataran Lembak Dusun.
Selain tinggalan budaya pondok tengkiang di Desa Tanjung Raman juga masih dijumpai rumah tradisional masyarakat Pasemah yaitu Ghumah Baghi. Pada awalnya tak kurang dari 5 ghumah baghi ada di desa ini tetapi saat ini hanya tertinggal 2 ghumah baghi saja, satu ghumah baghi ghilapan dan satu ghumah baghi tatahan. Kedua ghumah baghi tersebut masih berdiri kokoh tetapi sudah ada penambahan namum masih terlihat jelas bentuk dan motif ghumah baghi.
Setelah menelusuri pematang sawah di persawahan Ataran Lembak Dusun kami bertiga langsung menuju sebongkah batu datar dan setelah kami amati batu datar ini mempunyai batu penyanggah. Batu dengan panjang 275 cm, lebar 185 cm dan tinggi 50 cm hanya terlihat satu batu penyanggah di bagian barat sedang bagian lainya tidak terlihat karena digenangi air. Lalu kami berjalan ke batu berikutnya, batu datar kedua ini mempunyai panjang sekitar 300 cm, lebar 220 cm dan mempunyai 4 batu penyanggah dibawahnya, ke-empat batu penyanggah terlihat jelas seperti tiang-tiang penyanggah. Dari bentuknya batu seperti ini dapat disebut sebagai domen. Sekitar 7 m dari batu kedua kami mengamati sebuah batu yang kami identifikasi sebagai batu datar, kemudian dengan jarak 10 m berdiri sebuah batu dengan tinggi 90 cm yang kami identifikasi sebagai menhir (batu tegak). Selanjutnya kami menuju susunan 4 batu yang membentuk formasi empat persegi panjang yang kami identifikasi sebagai tetralith. Kami bertiga terus berjalan menghampiri satu per satu bebatuan yang berada di persawahan milik Kholis. Tak kurang ada 8 bentuk batu yang kami datangi dan dapat kami indentifikasi sebagai batu datar, dolmen, menhir, trilith dan tetralith. Dan sekian waktu kemudian Yudianto bersama Simat datang menghampiri kami. Simat yang sehari-hari selain menjadi petani juga seorang guru di SDN 12 Kota Agung dan pernah bertemu kami di suatu kegiatan pelatihan di Kota Lahat.
Kami dengan didampingi Yudianto dan Simat terus melihat beberapa batu di tanah Hardiono yang digarap oleh Yudianto. Di area ini terdapat beberapa batu dan dapat kami identifikasi sebagai batu datar, dolmen dan tetralith. Salah satu dolmen dengan panjang 123 cm dan lebar 120 cm sepertinya sudah digeser dari posisi awal, terlihat 3 batu penyanggah di sebelah batu datar. Selama ini masyarakat menyebut batu datar dengan batu penyanggah dibawahnya sebagai Batu Betiang sedang batuan lainnya mereka anggap sebagai batu biasa. “Batu itu kami sebut Batu Betiang” ujar Yudianto sambil menujuk ke arah batu yang dimaksud.
Dari pengamatan kami selama berada di persawahan yang berada di ketinggian sekitar 850 mdpl yang berhawa sejuk dengan pemandangan indah pegunungan Bukit Barisan, kami dapat simpulkan bahwa bongkahan bebatuan di persawahan Ataran Lembak Dusun Desa Tanjung Raman Kecamatan Kota Agung merupakan satu Situs Megalitik di kawasan Megalitik Pasemah dan menjadi situsmegalitik ke-71 yang berada di Kabupaten Lahat. Hal ini semakin mengukuhkan Kabupaten Lahat sebagai pemilik situs megalitik terbanyak se Indonesia yang mendapat julukan sebagai ”Lahat Negeri Seribu Megalitik”.
Dari persawahan Ataran Lembak Dusun kami diajak oleh Yudianto dan Simat untuk melihat Batu Tapak Rusa yang berada di kebun kopi yang berjarak sekitar 500 m dari Situs Batu Betiang.
Setelah tiba di lokasi Batu Tapak Rusa terlihat beberapa bongkahan batu dengan ukuran besar lebih dari 2 m persegi. Dari sekian banyak batu ada sebuah batu dengan diameter sekitar 3 m dan mempunyai permukaan agak datar. Di bagian atas batu ini ada beberapa lubang yang disebut sebagai tapak rusa, anjing, manusia dan tombak. Walaupun ada beberapa tapak tetapi masyarkat menyebutnya dengan nama Batu Tapak Rusa. Konon masa lalu masyarakat Tanjung Raman suka berburu rusa dan terkenal sebagai masyarakat yang suka berburu. Sebelum melakukan perburuan maka dilakukan suatu ritual dengan melafaskan doa-doa dan permintaan juga meletakkan sesaji berupa makanan dan minuman yang diletakkan diatas batu datar, kemudian dilanjutkan berburu rusa. Dan biasanya setelah melakukan ritual di atas batu datar ini maka perburuan rusa akan mendapatkan hasil banyak rusa. Sehingga batu datar tempat melakukan ritual disebut dengan Batu Tapak Rusa.
Selain potensi ghumah baghi, tengkiang, situs megalitik dan tradisi lisan di Desa Tanjung Raman juga dilakukan ritual sedekah yang disebut Muji Benih. Ritual ini dilakukan setiap 10 tahun sekali sebagai tanda bersyukur atas hasil panen padi yang melimpah. Ritual ditandai dengan memotong seekor kerbau yang dilakukan tidak hanya oleh masyarakat Tanjung Raman saja tetapi bersama desa tetangga yaitu Desa Kebun Jati dan Bintuhan. Ritual Muji Benih dilakukan pada tahun 2023 dan dipusatkan di Desa Kebun Jati.
Tak terasa kami telah sekian waktu berada di Desa Tanjung Raman dan membawa banyak cerita terkait peradaban yang berkembang dari masa prasejarah berupa peninggalan megalitik, rumah-rumah tradisional nan megah dan berdiri kokoh hingga kini berupa ghumah baghi hingga kehidupan masa kini dengan mayoritas penduduknya sebagai petani sawah dan kopi. Dengan lokasi yang berada jauh dari ibukota kecamatan dan jauh dari jalan utama sehingga suasana Desa Tanjung Raman terasa damai dan nyaman jauh dari hiruk pikuk kendaraan, air perbukitan nan bersih yang selalu mengalir tanpa henti juga udara nan bersih dan sejuk di ketinggian 850 mdpl. Semoga suasana seperti ini tetap dipertahankan sebagai sebuah desa nan indah, nyaman, sejuk dan beradab sepanjang masa.#udi
Berita Serupa