in

Tarik Ulur Hukuman Mati

Tingginya kasus kejahatan korupsi di Indonesia membuat banyak orang kecewa, dan mendesak hukuman mati bagi koruptor. Penjara dan denda seolah tak cukup membuat jera para pelaku kriminal. Tapi benarkah hukuman mati efektif menimbulkan efek jera?

Sampai saat ini belum pernah ada penelitian empirik yang bisa membuktikan hukuman mati bisa menanggulangi kejahatan. Sejak 1999 hingga 2016, pemerintah Indonesia sudah mengeksekusi mati sedikitnya 47 orang. Sebagian besar hukuman mati terkait kasus narkoba, lainnya kasus terorisme dan pembunuhan. 
Nyatanya, tren peredaran narkoba di Indonesia justru semakin parah. Kasus terorisme juga tidak berhenti dan pembunuhan berencana tetap terjadi.

Jaksa Agung Prasetyo bahkan diduga melakukan maladministrasi karena tetap memerintahkan eksekusi mati meski terpidana mati tengah menempuh jalur grasi. Publik juga mengecam pengadilan yang tetap memvonis mati, meski terpidana adalah korban perdagangan orang. Seperti yang menimpa warga Filipina Mary Jane Veloso dan warga Indonesia Merry Utami. Di sisi lain muncul anomali, ketika pemerintah Indonesia begitu bekerja keras membebaskan warga Indonesia yang divonis hukuman mati di luar negeri.

Bekas hakim Mahkamah Konstitusi, Maruarar Siahaan beberapa waktu lalu mengatakan pelaksanaan hukuman mati tidak terbukti menekan angka kejahatan luar biasa. Eksekusi hukuman mati lebih dipengaruhi aspek kemarahan dan kekecewaan saja. Dalam sidang pantauan periodik universal penegakan hak asasi manusia, Mei lalu, puluhan negara anggota Dewan HAM PBB sudah merekomendasikan Indonesia agar menghentikan hukuman mati. Namun respon pemerintah tak tegas.

Di peringatan Hari Antihukuman Mati Sedunia, hari ini, kita turut menyerukan kepada pemerintah agar memberlakukan moratorium eksekusi hukuman mati. Paling tidak sampai revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana selesai dibahas di DPR. 

What do you think?

Written by Julliana Elora

Kamis, Presiden Jokowi Tiba di Sungai Lilin

Tekanan Makin Kuat Jelang Deklarasi