Diposkan pada: 14 Jul 2017 ; 11762 Views Kategori: Berita
Sebelum diluncurkan, peta tersebut ditanda-tangani oleh pejabat dari 21 kementerian dan lembaga terkait, yaitu Kemenko Bidang Polhukam, Kemenko Bidang Perekonomian, Kemenko Bidang Kemaritiman, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan.
Selain itu juga pejabat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Tentara Nasional Indonesia, TNI-AL, Pusat Hidrografi & Oseanografi TNI-AL, POLRI, Badan Keamanan Laut, Badan Informasi Geospasial (BIG), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman Arif Havas Oegroseno yang memimpin kegiatan tersebut menjelaskan, ada beberapa hal yang baru yang melatar-belakangi perlunya update ini.
“Ada perjanjian perbatasan laut teritorial yang sudah berlaku yakni antara Indonesia-Singapura sisi barat dan sisi timur, serta perjanjian batas ZEE Indonesia dan Filipina yang sudah disepakati bersama dan sudah diratifikasi sehingga dalam waktu yang tidak lama lagi akan berlaku,”jelas Havas.
Alasan kedua, lanjut Havas, berkaitan dengan adanya keputusan arbitrasi Filipina dan Tiongkok yang mana keputusan tersebut memberikan yurisprudensi hukum internasional bahwa pulau yang kecil atau karang yang kecil yang ada di tengah laut yang tidak bisa menyokong kehidupan manusia tidak memiliki hak ZEE 200 mil laut dan landas kontinen.
Oleh karena itu, jelas Havas, ada beberapa pulau kecil milik negara tetangga kita yang hanya diberikan batas 12 mil laut.
“Berikutnya, kita updating (perbarui, red) kolom laut di utara natuna,”tutur mantan Dubes RI untuk Belgia ini.
Pertimbangannya, tambah Havas, adalah bahwa landas kontinen di kawasan tersebut sejak tahun 1970-an menggunakan nama Blok Natuna Utara, Blok Natuna Selatan, Blok Natuna Timur, Blok Natuna Tenggara yang menggunakan referensi arah mata angin.
“Jadi biar ada satu kejelasan, kesamaan antara kolom air diatasnya dengan landas kontinennya, maka kolom air tersebut disepakati oleh tim nasional diberi nama Laut Natuna Utara,” ujar Havas.
Nama Laut Natuna Utara disebutnya juga menyesuaikan dengan nama blok-blok migas yang ada di landas kontinen di bawahnya,” imbuhnya.
Alasan keempat, pemerintah ingin mempertegas klaim di Selat Malaka dengan melakukan simplifikasi klaim garis batas untuk mempermudah penegakan hukum.
Selain itu, di kawasan dekat perbatasan Singapura sudah ada garis batas yang jelas.
“Dengan posisi tersebut, maka peta perlu diupdate sehingga aparat keamanan dan penegak hukum dari TNI AL, Bea Cukai, KPLP, akan mudah melakukan patroli di sana karena sudah jelas,” tambah Havas.
Untuk memperoleh hasil final tersebut, Havas mengaku kementerian dan lembaga terkait telah melakukan pertemuan internal selama enam kali sejak tahun 2016.
Sementara itu, terkait dengan belum selesainya beberapa segmen batas maritim dengan negara tetangga, deputi yang juga pakar hukum laut internasional tersebut mengatakan bahwa pemerintah RI akan segera menyelesaikannya.
“Kita siap menyelesaikannya melalui perundingan sesuai dengan UNCLOS 1982,” tegas Havas.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia tetap melakukan patroli rutin, guna menguatkan keberadaan Negara (State Practice) di kawasan yang menjadi klaim Indonesia.
“Sesuai dengan keberadaan negara atau State Practice yah kita tetap melakukan patroli di kawasan yang kita klaim, selama ini kita melakukan itu, kemudian terkait dengan State Practice atau implementasinya kita tidak akan mundur dari klaim kita,” pungkas Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman itu. (Biro Informasi dan Hukum Kemenko Kemaritiman/ES)