Sebuah penelitian tentang pemanfaatan limbah unggas sebagai energi alternatif diperkirakan sukses dan bisa menjadi alternatif penghasil energi di masa depan. Ya, dalam perkembangannya, teknologi bisa mengubah limbah menjadi energi. Hewan jenis unggas tak hanya enak dimakan, daging dan telurnya merupakan sumber protein yang penting bagi tubuh.
Namun, kini kotorannya yang dianggap jijik, bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan. Kotoran unggas dianggap limbah karena menyebabkan polusi udara, menggangu lingkungan bahkan dinilai sebagai sarang endemi penyakit. Bila dibiarkan, limbah ternak ini akan menjadi masalah yang cukup signifikan.
Padahal potensi limbah ternak ini sangat besar, dengan banyaknya jumlah industri peternakan di berbagai negara. Tingkat konsumsi hewan ternak inipun bisa dibilang sangat tinggi, mungkin yang paling tinggi di dunia. “Jadi, limbah ini akan semakin banyak dan kita perlu mencari sebuah solusi. Tidak banyak yang bisa kita lakukan, kecuali mengubahnya menjadi energi yang bisa menggantikan bahan bakar fosil,” ungkap Profesor Amit Gross, peneliti di Universitas Ben Gurion (BGU) yang melakukan riset kotoran kalkun dan ayam menjadi pembangkit listrik ini.
Riset tersebut memanfaatkan kotoran unggas untuk dikonversi menjadi bahan bakar biomassa padat yang mudah terbakar, sehingga dapat menggantikan batubara sebagai sumber energi terbarukan.
Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Applied Energy tersebut, menunjukkan bahwa kotoran unggas yang diolah menjadi biomassa padat itu bisa menggantikan sekitar 10 persen batubara yang digunakan untuk pembangkit listrik, mengurangi gas rumah kaca dan menyediakan sumber energi alternatif.
Sementara biomassa menyumbang 73 persen dari produksi energi terbarukan di seluruh dunia, dengan tanaman tumbuh untuk produksi energi telah membebani lahan, air dan sumber daya pupuk. Karena itu, mengonversi limbah unggas menjadi bahan bakar padat, merupakan alternatif yang lebih baik dari pada lingkungan yang juga mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Menurut Prof Gross, yang juga Ketua Departemen Hidrologi Lingkungan dan Mikrobiologi di BGU’s Zuckerberg Institute dan mengepalai riset itu, para peneliti di Balai Penelitian Air Beku di BGU telah mengevaluasi dua jenis biofuel untuk menentukan bahan bakar padat limbah padat yang lebih efisien.
Mereka membandingkan produksi, pembakaran dan emisi gas biochar, yang dihasilkan dengan pemanasan biomassa yang lambat pada suhu 450 ° C (842 ° F) dalam tungku bebas oksigen dengan hydrochar. Hydrochar diproduksi dengan memanaskan biomassa basah ke suhu yang jauh lebih rendah hingga 250 ° C di bawah tekanan dengan menggunakan proses yang disebut karbonisasi hidrotermal (HTC).
HTC meniru formasi batu bara alami dalam beberapa jam. “Kami menemukan bahwa limbah unggas yang diproses sebagai hydrochar menghasilkan pembangkit energi bersih 24 persen lebih tinggi,” kata Vivian Mau, peneliti lainnya seperti dilansir Sciencedaily, awal tahun 2018 lalu.
Vivian menguraikan, sampah limbah hidrokarbon menghasilkan panas pada suhu tinggi dan pembakaran dengan cara yang serupa dengan batubara, merupakan faktor penting untuk menggantikannya sebagai sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan.
Untuk pertama kalinya, para periset juga menunjukkan bahwa suhu produksi HTC yang lebih tinggi menghasilkan pengurangan emisi metana (CH4) dan amonia (NH3) yang signifikan dan peningkatan karbon dioksida dan karbon monoksida.
“Penelitian ini membantu menjembatani kesenjangan antara hydrochar yang dianggap sebagai sumber energi potensial menuju pengembangan bahan bakar alternatif terbarukan,” jelas Prof Gross. Hasil riset tersebut diperkirakan dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca yang terkait dengan pembangkit listrik dan limbah pertanian secara signifikan.
Selain mencari pengganti bahan bakar fosil untuk menghasilkan energi, penelitian ini juga mengumpulkan limbah dari peternakan ayam untuk dimanfaatkan dengan baik. Bila riset ini sukses, bukan tidak mungkin pula mereka akan meneliti dan memanfaatkan limbah-limbah kotoran lainnya sebagai sumber energi alternatif lainnya.
“Misalnya kotoran manusia. Dengan mengolahnya jadi energi, mungkin kita bisa mengatasi masalah sanitasi di daerah pedesaan, mengubah sampah menjadi bahan yang berperilaku seperti batu bara serta bisa digunakan untuk energi atau penyuburan tanah, dan juga memperbaiki masalah sanitasi di desa-desa ini,” tambah Gross.
nik/E-6