Pansus DPR tentang KPK boleh saja merasa “di atas angin” setelah mendapat imformasi” berharga” dari Direktur Penyidikan KPK Brigadir Jenderal Polisi Aris Budiman mengenai “oknum-oknum” karyawan lembaga antirasuah itu, namun pertanyaannya adalah apakah informasi jenderal itu berharga atau tidak dari segi kepatutan.
Jenderal Aris Budiman baru-baru ini di hadapan para anggota Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK di Jakarta berusaha membongkar setumpuk “dosa atau borok” di dalam lembaga yang ditugasi memberantas korupsi di jajaraan pemerintah, lembaga yudikatif seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi serta lembaga legisltaif mulai dari MPR,DPR,DPRD hingga DPD.
Sekalipun KPK dipuji banyak sekali organisasi kemasyarakatan, tokoh politik, tokoh masyarakat karena berhasil menangkap basah gubernur, bupati, wali kota, wakil rakyat ternyata tetap saja KPK “dibom” oleh segelintir warga yang diduga keras ingin menghancurkan KPK atau sedikitnya “menyunat” kewenangan KPK.
Jenderal Aris Budiman kepada para anggota Pansus DPR tentang KPK antara lain menyatakan ada karyawan atau pegawai KPK yang sudah bersifat bagaikan sebuah lembaga yang berkuasa betul yang disebut jenderal polisi ini dengan istilah “powerful”.
Kemudian Aris bahkan sampai mengatakan bahwa “saking sibuknya” dia bekerja demi KPK maka anaknya yang berambisi menjadi taruna Akademi Kepolisian ternyata tak “kesampaian”. Akibatnya pernyataan Aris ini, maka masyarakat jadi tahu tentang “dosa” yang muncul di dalam tubuh organisasi yang sangat dipuja, dipuji serta dihormati di Tanah Air tercinta ini.
Namun ternyata berbagai ucapan Aris itu mengundang 1001 pertanyaan tentang diri perwira tingi Kepolisian Republik Indonesia atau Polri itu.
Tuan jenderal ini mengakui bahwa pertemuannya dengan para wakil rakyat itu tidak mendapat izin dari pimpinan KPK. Namun, dia merasa kehadirannya di depan Pansus KPK tidak bermasalah karena dirinya ingin “mengklarifikasi” berbagai persoalan di tubuh wadah antirasuah ini.
Pernyataan Aris ini bisa mengundang pertanyaan masyarakat terutama yang awam tentang aturan internal yaitu bolehkah Aris atau siapa pun karyawan atau pegawai KPK ketemu dengan wakil-wakil rakyat tanpa izin atasannya?
Sebagai seorang jenderal polisi yang “berpengalaman malang melintang”, maka Aris bisa menjawab pertanyaan seorang kepala satuan reserse dan kriminal pada sebuah kepolisian daerah alias polda bisa atau bolehkah tampil secara meyakinkan di forum DPRD setempat tanpa izin sama sekali dari kepala kepolisian daerah atau kapolda setempat untuk membeberkan pelaksanaan tugas-tugasnya?
Ataukah apabila seorang kapolda tak memberi izin kepada wakilnya atau wakapolda untuk angkat bicara di DPRD setempat maka beranikah sang wakapolda itu “unjuk dada” di depan forum DPRD provinsi yang bersangkutan?.
Kemudian Aris juga berbicara atau berujar tentang adanya karyawan atau pegawai-pegawai KPK yang “sok powerful”. Dia rasanya memang tidak menyebut secara khusus atau spesifik nama-nama orang internal KPK yang “powerful” itu namun masyarakat tentu bisa menebak siapa yang dimaksud “powerful” itu. Karyawan itu misalnya adalah Novel Baswedan.
Kalau Novel menjadi sangat berkuasa atau “powerful” maka rakyat bisa tahu bekas polisi itu adalah penyidik yang sangat berpengalaman dalam menyelidiki dan menyidik berbagai kasus dugaan korupsi. Bahkan warga juga bisa bertanya kepada Jenderal Aris apakah “tidak atau kurang powerful” jika dibandingkan dengan Novel Baswedan yang sekarang dirawat di Singapura setelah matanya terkena siraman air keras setelah melakuykan shalat subuh di sebuah mesjid di dekat rumahnya.
Basaria
DI tubuh KPK, selain ada Brigjen Aris Budiman maka ada juga jenderal wanita Polri yakni Basaria Pandjaitan yang posisinya “lebih tinggi” jika dibandingkan dengan Aris karena dia pernah menyandang status perwira tinggi. Sekalipun Basaria di KPK lebih tinggi posisinya daripada Brigjen Aris, maka apa susahnya jika Aris sekali-sekali bertemu dengan Basaria untuk melakukan “curhat atau curahatan hati” tentang situasi atau kondidi internal AKP.
Jika betul ada kondisi “tak beres” di kalangan internal KPK yang kemudian dicurahkan oleh Aris kepada Basaria maka tentu lebih mudah bagi Basaria untuk melaporkannya kepada Ketua KPK Agus Rahardjo atau anggota-anggpta KPK lainnya sehingga kasus itu– kalaupun memang benar ada– akan lebih gampang atau mudah diselesaikan di tingkat pimpinan KPK.
Namun rasanya Jenderal Aris bisa berada dalam posisi yang menyulitkan dirinya sendiri karena kini semakin banyak warga negara biasa, tokoh masyarakat serta tokoh politik yang menyorori omongannya serta kehadirannya tanpa izin “komandan” KPK.
Karena Aris adalah seorang prajurit Polri, maka jika benar dia dianggap bersalah karena melanggar aturan maka yang paling berwenang untuk menindaknya adalah Kepala Kepolisian Republik Indobesia (Kapolri) Jenderal Polisi Tito Karnavian.
Sekalipun Jenderal Tito sedang berada di Arab Saudi untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima yaitu melakukan ibadah haji, maka tentu dia selalu mendapat berbagai laporan, informasi tentang berbagai perkembangan di Tanah Air termasuk masalah Jenderal Polisi Aris Budiman.
Berbagai pilihan bisa dihadapi Kapolri misalnya tetap mempertahankan Aris di KPK dalam jabatannya selaku Direktur Penyelidikan, atau “memindahkannya” ke jabatan lain atas perintah dengan Ketua KPK Agus Raharjo atau bahkan menariknya ke Mabes Polri secara formal untuk meniadakan atau mengurangi ketegangan di kalangan internal lembaga antirasuah ini.
Secara hirarkis, KPK pasti berbeda dengan Polri karena Kepolisian Republik Indonesia adalah sebuah institusi pemerintah di bidang keamanan, Polri seperti halnya Tentara Nasional Indonesia atau TNI pasti menganut sistem kerja yang sangat tegas atau ketat sehingga seorang anak buah pasti tidak bertindak semaunya sendiri termasuk tampil di depan umum atau publik sambil membawa-bawa nama Polri atau TNI.
Sementara itu, KPK yang merupakan organisasi sipil pasti tidak menerapkan disiplin atau aturan kerja yang sangat kaku atau tegas seperti Polri atau TNI.
Akan tetapi biar bagaimanapun juga karyawan atau pegawai KPK yang berasal dari Polri pasti tidak bisa atau bahkan tidak boleh meninggalkan atau melepaskan disiplin dari instansi induknya.
Pada tahun 1980-an,Ffraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia alias DPR.RI pernah membuat sebuah laporan kepada pimpinan negara tentang penilaiannya mereka tentang kondisi Negra Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI.
Laporan Fraksi ABRI itu sangat indah dan bermakna kalimat-kalimatnya antara lain dengan menyatakan “Sambil menyadari bahwa kami adalah prajurit ABRI, izinkanlah kami untuk berbicara sebagai anggota DPR”.
Disana para [prajurit ABRI itu antara lain mengungkapkan istilah ” ABIS” atau asal bapak dan ibu senang”. Para wakil rakyat itu yang sebagian besar adalah jenderal tanpa ragu sedikitpun mengungkapkan adanya ketidakberesan di Tanah Air termasuk banyak istri pejabat yang ikut berbisnis.
Karena itu, jika kembali ke kasus Jenderal Aris Budiman maka sang jenderal polisi ini harus belajar dari sejarah untuk mengungkapkan kebenaran tanpa perlu sedikitpun untuk “menggali sendiri luang kubur”.
Aris Budiman harus sadar bahwa ratusan juta orang Indonesia masih harus hidup dibawah garis kemiskinan dengan pontang-panting mencari uang ala kadarnya demi dirinya sendiri beserta istri dan anak-anaknya, sedangkan Aris sebagai seorang jenderal berbintang satu pasti hidupnya tidak pontang panting seperti seorang gelandangan atau orang miskin.
Karena itu, Aris dan ratusan jenderal lainnya baik dari Polri maupun TNI harus mensyukuri hidupnya mereka yang tidak perlu mengeluarkan keringat untuk meraih uang Rp10.000 hingga Rp30.000 tiap harinya demi kehidupan yang secukupnya.
Para pejabat harus mau dan ikhlas menegakkan kepala mereka demi kepentingan lebih dari 250 juta orang Indonesia.
Editor: Indra Gultom
COPYRIGHT © ANTARA 2017