Malam ini hujan turun di luar. Rintiknya ragu-ragu, lambat menabuh seng dan dahan pohon. Hujan seperti sedang mengolok-olok aku, yang malam ini kepahitan… pahit merasakan cinta.
Mengapa cinta harus sepahit ini rasanya? Mengingatkanku pada kopi clebek. Tahu kopi clebek? Kalau kamu orang Jawa harusnya tahu… Tapi kalau kamu orang luar Jawa, gampangannya ini adalah kopi curah.
Clebek adalah sebuah kopi pada bungkusan plastik kecil-kecil yang dijual Rp200 perak, 10 tahun yang lalu. Yang beli adalah orang miskin
Cintaku memang seperti kopi clebek. Aku yang miskin menebusnya dengan harga yang sedikit murah, ah, bahkan lebih buruk dari sekadar murah. Karena ini benar-benar murahan… aku ingin memberontak jadinya…!
Mengapa cinta ini murahan? Sebab cinta seakan menjerumuskan pada kepahitan belaka. Nggak ada sisi manisnya sama sekali… Benar-benar meniru orang kere dalam menyeduh clebek tanpa gula.
Cinta yang murah adalah sebuah cinta yang justru mengendalikan pelakunya… Bukan kita yang mengendalikan cinta, justru cinta yang mengendalikan diri kita. Inilah yang menurutku murahan… ada yang salah…
Jujur saja aku bukan penggemar kopi… Jadi aku nggak bisa menikmati pahit layaknya mereka para pecinta kopi. Aku berkenalan dengan kopi sebatas di dapur, ketika ibu menyuruhku bikin untuk tamu. Kata ibu membuat kopi itu perbandingannya 1 banding 2… 1 untuk gula dan 2 untuk kopi.
Entahlah bagaimana rasanya kopi itu… setahuku pahit. Berapapun banyak gulanya, benar-benar pahit di lidahku… Sepahit clebek
Aku tiba-tiba berpikir, apakah kopi mentah rasanya pahit? Mentah adalah kondisi yang alami… kondisi di mana kopi belum diolah sama sekali, masih berupa biji-biji yang baru dipanen. Kopi mentah adalah kondisi di mana sifat sejati kopi dapat diketahui.
Apa cukup adil membandingkan biji kopi mentah dengan benih cinta yang baru tumbuh? Mereka sama-sama belum pernah terlalap api: api cinta dan cemburu.Yang bikin hitam, gelap, dan pahit
Karena sepertinya aku tidak mau terlalu menyudutkan cinta. Pada dasarnya ketika masih dalam kondisi alaminya. Orang bijak menyebutnya “Unconditional Love”, cinta itu nggak pahit… rasanya hambar-hambar aneh gitu… Biasa aja.
Aku nggak tahu harus bertanya pada siapa soal rasa biji kopi mentah… Ibuku memang seorang petani, tapi kami orang muara, dekat pantai, nggak menanam kopi, jadi nggak tahu. Entahlah pada siapa aku harus bertanya soal kopi… Sepertinya Google adalah pilihan cerdas, karena dia bisa ditanyai apa saja.
(Baca Juga: Cowok Diam Bukan karena Nggak Peduli, Tapi karena Serba Salah si Cewek Susah Ditebak Maunya Apa)
Kembali pada cinta… mengapa cintaku pahit? Dan mengapa aku berada dalam kebodohan tetap mau meminumnya? Nggak cuma aku aja kok… kamu dan kalian semua para pembaca artikel… pastilah pernah merasakan cinta yang pahit.
Kopi clebek saja banyak penggemarnya. Masih ada enak-enaknya lah buat orang pedesaan. Nah, cinta ini? Boro-boro enak… rasanya malah bikin asam lambung naik karena stress memikirkannya. Kopi memang bisa bikin asam lambung naik… nah… memang sih… cinta benar-benar kayak kopi
Kamu tahu kan kalau minum kopi itu pantangan buat pengidap maag? Nah, ini cinta malah bikin orang sehat jadi punya penyakit maag… semua masalah lambung bermula dari stress. Cinta memicu stress… Ya sudahlah… inilah kebodohan cinta.
Yakin masih mau minum cinta yang sepahit kopi clebek ini? Aku pikir terkadang seseorang harus rela mundur dari cintanya. Kasihan diri sendiri… jiwa raga manusia itu cuma satu, jangan sampai rusak karena pahitnya cinta
Aku takut diprotes oleh para pembaca lagi… katanya aku cuma omong doang di tulisan, tapi di kehidupan nyatanya entah mengamalkan atau nggak… Apa aku akan mempraktekkan meninggalkan cinta yang sepahit clebek ini?
Iya… bisa jadi… tapi entahlah. Tapi mungkin tidak… ah, inilah… manusia. Aku tidak tahu…