in

Terminal Jiwa

Dia Kurnia Arif
Anggota IGPPL Tanahdatar

Di terminal jiwa…
Bisa dapatkan..peroleh kembali
Obati luka…hapus gelisah
Dapati segenggam energi

Setiap perjalanan perlu terminal peristirahatan. Demikian pula sebuah kehidupan. Rutinitas hidup yang dijalani, kadang menimbulkan perasaan lelah, letih, bosan, dan kehilangan sebagian semangat.

Energi yang dimiliki manusia pada kenyataannya memang terbatas, pergulatan dan benturan hidup yang dialami individu, terkadang begitu membutuhkan banyak energi jiwa. Karena dengan adanya sebuah cadangan energi yang cukup, tentu hal ini akan membuat seseorang lebih mudah dalam menapaki hidupnya.

Hidup dengan segala fenomenanya senantiasa memberi warna yang berbeda dari masa ke masa. Bagi siapa yang berhasil dalam memanajemen lini terkecil dalam hidupnya, maka akan lebih mudah melakukan hal-hal yang besar.

Termasuk dalam memanajemen cadangan energi yang dimilikinya. Analoginya kehidupan manusia kadang seperti mobil yang senantiasa membutuhka bahan bakar, membutuhkan service khusus, serta yang tidak bisa dipungkiri ia tidak bisa selalu dibawa melaju di jalan raya.

Ia butuhkan untuk berhenti, atau khusus bagi mobil bus atau angkutan barang, ia amat membutuhkan terminal untuk berhenti sejenak sebelum melanjutkan perjalanan selanjutnya.

Apalagi manusia sebagai makhluk yang sempurna sekaligus makhluk lemah yang juga sangat butuhkan perhatian intensif bagi si empunya, mesti memiliki terminal khusus untuk megistirahatkan jiwa dan raganya.

Tidak cukup hanya istirahat dan tidur beberapa jenak, karena terminal yang kita maksut di sini erat kaitannya dengan kondisi psikologis. Analogi lain seperti HP yang baterainya selalu butuh di cas ulang, setelah pemakaian yang cukup banyak maka baterai HP perlahan melemah.

Nah hiduppun kadang seperti itu, jika semakin banyak energi kita terkuras maka butuh penyegaran, butuh pencerahan yang optimal. Dengan demikian seyogyanya manusi memiliki suatu wadah bagi dirinya untuk mengisi ulang energi jiwa yang dimilikinya, dan mempunyai terminal tempat mengisi dan menambah perlengkapan yang habis di perjalanan.

Sebuah tanya dilontarkan, berupa apakah terminal itu? Jawaban yang didapat tentu tak akan sama oleh setiap orang. Karena keunikan dan fenomena hidup yang berbeda-beda antara individu yang satu dengan yang lainnya. Mungkin bagi sebagian orang terminal jiwa itu adalah sebuah keluarga yang harmonis. Di mana di sana ia temukan cinta dan kasih sayang.

Sebagian orang mengira tempat mengisi energi itu adalah pergi ke tempat-tempat indah seperti pergi mendaki gunung, mengarungi samudera, atau bagi orang tertentu terminal itu, baginya justru menyibukkan dirinya dengan berbagai kesibukan dan hobi yang disenanginya, serta aktivitas yang melahirkan suatu karya bahkan bagi seseorang terminal jiwa itu, justru bermunajat di malam yang sepi dengan sang pencipta-NYA.

Masing-masing orang memiliki terminal jiwa yang berbeda, itu tergantung bagaimana ia memaknai ritme hidup yang dijalaninya. Apakah setiap orang membutuhkan hal itu? Jawaban yang pas, tentu berpulang ke individu yang bersangkutan.

Namun kalau ditelisik lebih jauh, memang sudah sunatullahnya individu butuhkan wadah yang tepat untuk “membengkeli” dirinya untuk hidup yang lebih hidup. Banyak orang yang terjebak dengan rutinitas hidup yang bias, hingga kadang ia tidak lagi memahami.

Siapa dirinya? Darimana dirinya? Hendak ke mana dia, yang ia tahu, bahwa hidup sekedar untuk mencari makan dan bersenang-senang. Hal ini tentu menunjukkan efek yang tidak sehat. Maka seyogyanya kita mesti mengasah kepekaan mata hati kita untuk sesuatu yang tidak nampak “melihat yang tidak terlihat”.

Karena ia demikian urgen, yaitu sebuah pusat kesadaran dalam jiwa untuk terus mengevaluasi perjalanan hidup. Dewasa ini, banyak manusia merasakan sangat lapar. Tidak hanya lapar dengan makanan, namun juga lapar secara emosional dan spiritual.

Kehidupan yang semakin hedonis dan matrelialistis megakibatkan individu banyak yang salah dalam memilih terminal jiwanya. Maka kalau kita lihat, banyak orang yang menjadikan tontonan televisi yang jadi pengisi waktu luang, istirahat yang direcoki musik-musik yang justru makin membuat jiwa gersang, curhat dengan orang yang kurang tepat, sehingga justru membuahkan gunjing.

Ada juga orang yang bias dan ambigu dalam menjalani hidup, ke mana langkah hendak dibawa? Ia tidak tahu malahan ia sering dibayangi dengan keragu-raguan, kecemasan, ketakutan dan kerapuhan kepribadian.

Padahal hidup ini demikian keras. Tubuh yang ringkih selalu dipaksa berbuat, bekerja, dan menghasilkan sesuatu, namun komponen yang sangat dibutuhkannya jarang atau bahkan tidak pernah diberikan haknya.

Kehidupan yang sembraut jauh dari nilai-nilai moral dan Agama, seringkali membuat Energi semakin menipis, menumpulkan empati, mengeraskan hati. Jika hal ini tidak cepat disadari, maka akan berefek jangka panjang.

Bisa jadi di suatu hari seseorang akan kehilangan jati dirinya, karena ia sering terlambat mengisi ulang cadangan energinya di terminal jiwa. Orang yang begitu peduli dengan perkembangan Internasional yang kadang tidak punya terminal jiwa untuk mengistirahatkan keletihan jiwa dan fisiknya, saatnya sekarang untuk berfikir ulang.

Salah satu solusi cerdas dari masalah serius ini adalah setiap kita kembali mencoba bertanya ke relung hati terdalam, apakah selama ini begitu banyak hak jiwa yang kita abaikan? Pura-pura tidak tahu dengan penderitaan diri sendiri, cuek dan larut dengan kesibukan mencari kepuasan, yang entah kapan akan bermuara?

Perlukah kita memiliki terminal jiwa itu? Mari kita jawab. Sebelum terlambat, marilah kita coba memulai hidup yang lebih sehat. Meniti jalan lurus, di mana kita masing-masing memiliki terminal jiwa yang tepat sasaran.

Apakah melalui lantunan ayat-ayat cinta-Nya yang tak pernah alfa kita baca di setiap hari dalam waktu 24 jam, melalui munajad kita di sepertiga malam terakhir, melalui keluarga harmonis yang selalu mengagungkan asma-Nya, melalui aktifitas membaca yang akhirnya bisa kita bagi kepada orang lain, melalui forum taushiah (nasehat). Di mana kita mengaplikasikan surat Al-Asyr, agar tidak merugi, kita saling nasehat-menasehati dalam kesabaran dan kebenaran.

Ataupun melalui study yang berbasis Qur’ani dan banyak lagi wadah sehat lainnya yang bisa kita fungsikan untuk ciptakan romansa jiwa yang lahirkan kesejukan dan kebahagiaan. Tidak saja bagi individu yang bersangkutan tapi juga orang di sekelilingnya. Kalau dikaji lebih jauh lagi tentu tidak sesederhana itu.

Karena jiwa dengan segala karakteristiknya punya dinamika yang berbeda, hanya kita memiliki fitrah yang sama, sama-sama ingin di dekatkan dengan pencipta-NYA, hanya kadang fitrah itu kita abaikan, andai ia bisa berteriak mungkin ia telah berontak, bahwa ia ingin kita menyediakan waktu khusus untuknya berhenti sejenak menambah energi, mengisi ulang cadangan energi. Agar ada keseimbangan dalam meniti hidup ini. Wallahu’alam bisawwaf. (***)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Terjang Ombak Demi Mentawai Terang, PLN Listriki Ratusan Rumah Secara Gratis

Andre Rosiade Minta Pramugari Garuda Dibolehkan Berjilbab saat Bertugas