Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan harapan agar Universitas Andalas (Unand) melakukan percepatan menuju the center of excellence di tahun 2013 sebagian ‘orang dalam’ tampak tidak optimistis. Pertanyaan mereka bagaimana mungkin universitas yang (waktu itu) masih tergolong universitas papan bawah di Indonesia mencapai posisi seperti itu?
Tapi saya optimistis Unand akan menuju ke sana. Bukan saja karena saya bagian dari Unand, tapi karena saya orang Minangkabau. Lha, apa hubungannya?
Meskipun Unand adalah universitas nasional ia tidak dapat melepaskan diri dari keterikatan yang kuat dengan Minangkabau. Letak kampusnya yang di wilayah Minangkabau sudah pasti menciptakan keterikatan itu. Tapi letak kampus hanya salah satu penyebab adanya hubungan kultural.
Hubungan erat itu terbangun melalui manusianya. Manusianya terikat pada sejarahnya. Sebagian besar dosen, tendik dan mahasiswa Unand adalah orang Minangkabau. Lantas apa pentingnya hubungan itu?
Saya yakin tidak banyak orang yang tahu bahwa orang Minangkabau pernah memiliki the centre of excellence pada masa lampau. Letaknya di pedalaman, di wilayah Kabupaten Tanahdatar sekarang. Di sana ada sebuah ‘kampus’ yang melahirkan sejumlah raja di Sumatera bahkan sampai ke Malaysia dan Filipina.
Seorang lulusan kampus itu, dikenal dengan nama Raja Baginda, merantau ke Sabah di akhir abad ke-14. Ia menikah dengan putri setempat. Kemudian membangun kerajaan bernama Sulu yang wilayahnya sampai ke Filipina Selatan sekarang.
Di abad ke-17 kampus itu didatangi oleh sejumlah orang dari Negeri Sembilan (konon mereka keturunan Minangkabau yang sudah merantau sejak abad ke-14) untuk mencari solusi atas pertikaian internal yang berlarut-larut di negeri mereka. ‘Rektor’ dari kampus itu mengirim Sutan Malewar ke sana, yang kemudian didaulat menjadi raja agar memiliki kekuatan menyelesaikan silang sengkarut yang dialami masyarakat. Tangan dingin Raja Malewar terbukti bisa menyudahi pertikaian.
Sementara itu, raja pertama kerajaan Jang Pat Petulai (Rejang Lebong, Bengkulu) yang diangkat oleh empat orang kepala suku setempat (disebut Ajai) juga berasal dari kampus itu. Ia diberi gelar Rajo Jongor-Rajo Megat-Rajo Mudo. Tambo setempat mengatakan ia diangkat menjadi raja karena berhasil menyatukan keempat Ajai yang selalu bertikai.
Tambo Kepaksian Skala Brak (Lampung) juga mengatakan bahwa pendiri kerajaan itu adalah lulusan dari kampus di Tanahdatar tadi. Mirip dengan struktur masyarakat Jang Pat Petulai, di Kepaksian Skala Brak juga ada empat kelompok masyarakat yang disebut Umpu (Umpu Bejalan Di Way, Umpu Belunguh, Umpu Nyerupa, dan Umpu Pernong).
Nampaknya pengelompokan masyarakat menjadi empat merupakan formula khusus yang diciptakan di kampus itu untuk menata masyarakat. Formula lain, setiap masyarakat yang digarap harus punya kitab yang disebut Tambo.
Tak kalah menariknya, orang Dayak Tomun di Kudangan, Kalimantan juga mengaku nenek moyang mereka datang dari kampus yang sama. Mereka mengatakan nenek moyang mereka bernama Datuak Parpatiah Nan Sabatang.
Kampus hebat yang melahirkan raja-raja itu disebut Pagaruyuang oleh orang sekarang. Ada yang menyebut nama Pagaruyuang itu berasal dari kata paga dan ruyuang. Tapi saya berpendapat lain. Mungkin saja asalnya dari kata paguruan dan hyang. Kata hyang itu menandakan ia berdiri ketika masa pra-Islam.
Kembali ke Unand, saya yakin kejayaan kampus di pedalaman Minangkabau itu akan diraih kembali sepanjang semangatnya dapat diwarisi. Tentu saja akhirnya kembali atau tidaknya kejayaan itu tergantung kepada tekad para akademisi, tendik dan mahasiswa yang ada di dalamnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.