» Birokrasi dan administrasi harus disederhanakan agar penyerapan anggaran maksimal.
» Jumlah yang terpapar semakin bertambah sehingga kondisi pada 2021 tidak lebih baik.
JAKARTA – Pemerintah dan DPR diimbau untuk meninjau kembali alokasi dana penanganan Covid-19 yang dikurangi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 yang jumlahnya hanya sebesar 25,40 triliun rupiah. Pertimbangan untuk meninjau kembali besaran yang sudah ditetapkan itu karena pertimbangan pemerintah dinilai lebih banyak melihat realisasi penyerapan tahun ini yang lamban.
Demikian kesimpulan pendapat Pengamat Ekonomi dari Center of Reform on Economics (Core), Muhammad Faisal, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Airlangga (Unair), Gitadi Tegas, dan Peneliti Ekonomi Indef, Nailul Huda, yang dihubungi terpisah dari Jakarta, Senin (21/9).
Muhammad Faisal mengatakan anggaran kesehatan perlu diperbesar dan digenjot realisasinya karena penanganan pandemi masih tinggi tahun depan.
Dalam RAPBN 2021, anggaran kesehatan turun menjadi 169,5 triliun rupiah dibandingkan alokasi tahun ini sebesar 212,5 triliun rupiah. Demikian juga dengan alokasi anggaran untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) berkurang menjadi 365,5 triliun rupiah dibanding tahun ini 695,2 triliun rupiah. Alokasi dana PEN itu salah satunya diarahkan untuk penanganan pandemi Covid-19 sebesar 25,4 triliun rupiah. Jumlah tersebut turun drastis dibanding tahun ini sebesar 87,5 triliun rupiah.
“Itu salah satu yang perlu dipertimbangkan, semestinya tidak serendah itu. Jangan mengurangi, tapi justru lebih mengatasi bottle neck (hambatan) eksekusi anggaran dengan penyederhanaan birokrasi dan administrasi agar penyerapan anggaran maksimal,” kata Faisal.
Sementara itu, Gitadi Tegas dari Unair mengatakan ada dua kemungkinan yang menyebabkan pemerintah memotong pos belanja Covid-19 dalam RAPBN 2021. Pertama, kebiasaan birokrasi yang selama ini gemar menggelembungkan anggaran, sehingga akhirnya nilainya terlalu besar. Kedua adalah kapasitas aparat birokrasi yang kurang mumpuni sehingga anggaran tidak terserap.
“Karena dipandang lebih besar dan memberatkan, lalu dipangkas. Proses penganggaran tentu sudah melalui proses analisis yang dalam, dengan paradigma menyelamatkan jiwa sebanyak-banyaknya. Namun, karena ada problem pelaksana birokrasi yang under capacity, maka eksekusi anggaran itu tidak maksimal,” kata Gitadi.
Masalah Baru
Peneliti Ekonomi, Nailul Huda, juga mendesak pemerintah dan DPR mempertimbangkan kembali pengurangan anggaran penanganan Covid-19 karena berpotensi menimbulkan masalah baru ke depan.
Lambatnya penyerapan anggaran tahun ini tidak bisa dijadikan alasan untuk mengurangi sebab masalah yang harus dibenahi yaitu mengatasi bottle neck (hambatan) eksekusi anggaran terutama dengan penyederhanaan birokrasi dan administrasi.
Pemerintah semestinya berangkat dari kondisi saat ini yang mana masalah kesehatan belum selesai, malah jumlah yang terpapar semakin bertambah, sehingga kondisinya tidak jauh berbeda dari saat ini.
“Hal itu karena kebijakan-kebijakan yang diambil saat ini tidak mencerminkan kesehatan sebagai prioritas,” tegas Nailul.
RAPBN 2021 yang disusun, katanya, terkesan mengorbankan belanja penanganan Covid-19. “Pemerintah nampaknya sangat yakin sudah beres urusan pandemi ini tahun depan, itu kesalahan terbesar. Bagaimana bisa beres dengan potensi klaster pilkada yang besar,” katanya.
Kalau masalahnya penyerapan anggaran tahun ini yang terkesan lambat bukan berarti anggaran tahun depan harus dikurangi. “Benahi birokrasinya dan anggarannya ditambah supaya penanganan pandemi optimal,” tambah Nailul.
Ekonom senior, Faisal Basri, sebelumnya juga menyayangkan langkah pemerintah tersebut dan meminta agar fokus menangani kesehatan terlebih dahulu, baru memulihkan ekonomi.
“Saving lives is saving the economy. Kalau mau sembuhkan ekonomi, sembuhkanlah dulu manusianya. Jadi bukan kebalikan. Kalau kita ekonomi dulu, Covid kita lupakan, niscaya ekonomi naik sementara, kemudian turun lagi,” kata Faisal. n SB/ers/uyo/E-9