ACEHTREND.CO, Aceh Besar – Pemasangan patok tower PLN di wilayah mukim Gunong Biram Kabupaten Aceh Besar terancam menyebabkan kerugian pada pihak warga masyarakat Gampong Lam Tamot Kemukiman Gunong Biram karena lahan masyarakat tersebut oleh pihak PLN dianggap masuk dalam kawasan hutan.
Patok tower PLN yang diberi nomor 111 dan 112 tersebut masuk ke dalam areal kebun warga Dusun Blang Raya Gampong Lam Tamot Kabupaten Aceh Besar, pemilik lahan (Dermawan 45th dan Johan 30 th) sudah melakukan komplain ke pihak PLN, namun pihak PLN tetap menganggap itu sebagai kawasan hutan sehingga mereka tidak perlu melakukan pembebasan lahan cukup dengan mengurus surat izin pinjam pakai kawasan ke Kementrian LHK di Jakarta.
Hal ini terbuka ketika pihak PLN melakukan sosialisasi terkait pemancangan patok untuk tower PLN pada awal bulan februari 2017 yang lalu.
Menurut Imeum Mukim Gunong Biram Tgk M Hasyim Usman pematokan lahan untuk tower PLN di titik nomor 111 dan 112 tersebut masih dekat dengan pemukiman penduduk sekitar 200-250 meter, dan kondisi eksisting di lapangan merupakan kebun warga masyarakat yang sudah dikelola dan ditanami dengan tanaman.
Patok tower PLN tersebut seluas 20×20 meter dibebaskan oleh PLN dengan harga yang bervariasi sesuai dengan ketentuan yang mereka tentukan, seperti jarak dari jalan/akses, kondisi lahan bersih atau tidak. Untuk tanah sawah dibayar lebih kurang Rp. 80 jt dan untuk tanah kebun dan lainnya berkisar antara Rp. 40 jt – 65 jt.
Mereka menyadari titik 111 dan 112 tersebut ketika turun tim evaluasi kinerja HTI dari Dirjen PHPL Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia yang menyatakan bahwa titik tersebut masih jauh dari kawasan hutan berdasarkan SK Menhut Nomor 130 tahun 2014 tentang Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Aceh.
Tgk M Hasyim Usman yang juga merupakan Dewan Adat JKMA Aceh sangat menyesalkan timbulnya kejadian tersebut bahwa masyarakat selalu dalam pihak dirugikan ketika klaim dari negara sebagai kawasan hutan sedangkan kondisi eksisting di lapangan lahan terebut merupakan kebun warga, lebih jauh beliau berharap pemerintah Aceh segera mengesahkan Qanun Pertanahan Aceh agar kasus-kasus seperti di atas dapat segera terselesaikan dengan baik dan masyarakat tidak dirugikan lagi.
Pihak YLBHI-LBH Banda Aceh (Mustiqal Syah Putra, S.H : Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh) berpendapat bahwa Pemerintah Aceh harus mencari solusi untuk mengatasi terjadinya kejadian-kejadian seperti ini. Secara kewenangan, pemerintah Aceh telah diberikan kewenangan penuh melalui Undang-undnag nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) untuk mengatur sendiri bidang pertanahan di Aceh. Legislatif harus segera membentuk aturan yang mengakomodir sistem pemanfaatan lahan. Salah satunya adalah Aceh harus segera memiliki Qanun Pertanahan. Qanun ini akan menjadi aturan yang akan menjawab seluruh permasalahan yang berkaitan dengan pertanahan Aceh. Sudah saatnya aceh memiliki qanun sendiri tentang Pertanahan. Demikian rilis yang diterima redaksi dari Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Pertanahan Aceh, Kamis (2/3). Jaringan ini terdiri dari LBH Banda Aceh, JKMA, JMT, Kontras Aceh, MaTA, WALHI Aceh, dan HAKA. []