Sewaktu saya kecil menunggu beduk berbuka puasa adalah kegiatan rutin yang selalu dilakukan. Bahkan saya sering duduk di bawah beduk yang terbuat dari kulit kerbau itu dengan membawa makanan seadanya untuk berbuka. Baru setelah itu pulang sambil berlari karena takut makanan yang telah disiapkan ibu habis dilahap adik.
He…he…kalau mengingat perisitwa itu saya selalu tertawa sendiri. Tapi jangan salah, saya tidak berani membatalkan puasa meskipun tidak berada di dekat kedua orangtua.
Saya masih ingat pituah orangtua, “tuhan tidak akan pernah tidur mengawasi makhluk-Nya”. Karena itulah saya takut membatalkan puasa. Apalagi meninggalkan shalat. Bahkan saya ingat betul ciloteh orangtua saya.
“Siapa yang puasanya tidak penuh, jangan harap ada baju baru dan sepatu baru,” ancamnya sambil berlalu.
Waktu itu, saya tidak pernah memikirkan dari mana orangtua mendapatkan uang. Yang penting pakai baju, celana plus sepatu baru. Namun setelah saya menjadi pria dewasa dan mempunyai tanggungan, barulah menyadari ternyata membeli baju baru itu sulit apalagi dalam keadaan ekonomi seperti saat ini.
Memang menyambut Lebaran tidak harus dengan sesuatu baru, tetapi pola pikir masyarakat yang sudah terbentuk sedemikian rupa membuat hiruk pikuk Lebaran harus dilalui dengan sesuatu yang baru. Padahal Muhammad SAW mengajarkan Lebaran itu tidak harus dengan baju baru. Cukup dengan baju terbaik yang kita punya dan sopan untuk dipakai.
Bulan Ramadhan telah memasuki sepuluh hari ketiga. Perhatian masyarakat mulai terpecah antara beribadah dengan mempersiapkan kebutuhan Lebaran. Bahkan di sebagian masjid dan mushala jamaah yang pada hari pertama Ramadhan membeludak, kini hanya tinggal beberapa shaf saja. Begitu juga suara anak-anak yang menjadi nyanyian indah penyemarak Ramadhan juga sudah tidak kedengaran lagi. Sementara pasar, mall dan pertokoan mulai ramai dikunjungi masyarakat. Ribuan orang berjibun membeli baju baru. Mereka rela berdesak-desakan.
Tidak dapat dipungkiri, Lebaran di samping menjadi hari yang membahagiakan dan ditunggu-tunggu, tapi juga menjadi tekanan bagi sebagian keluarga dengan ekonomi yang pas-pasan. Bahkan bagi sebagian perusahaan yang mempunyai banyak karyawan, Lebaran juga menjadi tekanan karena harus menyediakan dana lebih untuk tunjangan hari raya (THR).
Ini sebuah kewajiban pengusaha atau pimpinan instansi yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Hal itu juga menjadi berkah bagi karyawan untuk memenuhi kebutuhan Lebaran.
Namun sayang, sebagian masyarakat belum bisa memenej THR tersebut dengan baik. Pola konsumtif membuat THR tidak dipergunakan sesuai kebutuhan, seolah-olah tidak ada lagi kehidupan setelah lebaran.
Beberapa orang kawan sekantor saya juga mengeluh harus menyiapkan minimal Rp 3 juta untuk bisa pulang kampung. Belum lagi uang untuk membeli kue, mencat rumah, membeli lipstik istri sampai paket yang dikirim untuk orang-orang tercinta di kampung halaman. “Pusing saya,” ujarnya sambil menghela napas panjang.
Gara-gara urusan THR, beli baju baru, ibadah Ramadhan terbengkalai. THR Allah SWT yakni malam Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan ditinggalkan. Semoga di tengah godaan THR di akhir Ramadhan yang semakin deras, umat Islam yang berpuasa diberikan kemampuan untuk senantiasa melaksanakan ibadah-ibadah Ramadhan hingga mendapatkan predikat muttaqiin. (*)
LOGIN untuk mengomentari.