ACEHTREND.CO, Banda Aceh- Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Eksekutif Daerah Aceh, menemukan pengrusakan hutan tersistematis di dalam areal PT. Tusam Hutani Lestari di Bener Meriah. Monitoring Desember 2016 menghasilkan kesimpulan, perusahaan milik Prabowo Subianto itu harus diberikan sanksi.
Kiprah PT. Tusam Hutani Lestari (THL) di Aceh bukan kemarin sore. Perusahaan patungan PT. Inhutani (Persero) dan PT. Alas Helau tersebut dan berdiri pada 13 Juli 1993 melalui Notaris Jacinta Susanti, S.H Nomor 22, memperoleh izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman industri di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam seluas 97.300 hektar melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 556/Kpts-II/1997, tanggal 1September 1997.
Dalam RKUPHHK-HTI Jangka Waktu 10 Tahun (2010-2019) disebutkan dari luas tersebut, secara keseluruhan termasuk DAS Jambo Aye (dalam dokumen disebut DAS Jambu Air-red) yang berlokasi di empat kabupaten yaitu Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara dan Bireuen. Berdasar Citra landsat tahun 2010 bertanggal 14 Januari 3009, kondisi penutupan hutan di areal kerja HTL meliputi Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 3.081 hektar. Hutan Produksi Tetap (HP) 80.950 hektar. Areal Penggunaan Lain (APL) 5.360 hektar. Daerah penyangga Hutan Lindung (HL) 689 hektar, dan daerah penyangga Taman Buru (TB) 7.211 hektar.
Perusahaan swasta yang diperbaharui izinnya melalui SK Menhut 325/Menhut-II/2004, tanggal 27 Agustus 2004 dengan jumlah lahan tak berubah, terhampar di daerah bekas tebangan (LOA) seluas 28.244 hektar. Kawasan ini terdiri dari 2.307 hektar penyangga HL dan TB. Sisanya 25.937 hektar di areal HP dan HPT.
Berdasarkan hasil deliniasi mikro, LOA seluas 25.937 hektar terdiri dari Kawasan Lindung seluas 6.744 hektar dan areal tidak efektif untuk produksi seluas 800 hektar dan areal efektif produksi 18.393 hektar.
***
Awal Desember 2016, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Eksekutif Daerah Aceh melakukan monitoring hutan dan lahan di Kabupaten Bener Meriah. Hasilnya, lembaga lingkungan hidup non profit tersebut menemukan aksi illegal logging dan alih fungsi lahan secara massif di dalam lokasi THL yang mendapat izin bekerja hingga 14 Mei 2035 –Hingga 2042 menurut data perusahaan — yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Muhammad Nur, Direktur Walhi Aceh, dalam konferensi persnya, Selasa (27/12/2016) menyebutkan, sebagian besar wilayah kerja THL di Kecamatan Pintu Rime Gayo, Bener Meriah sudah dirambah warga. Aktifitas illegal logging dan alih fungsi lahan berjalan tanpa kendala, dan terkesan ada yang membekingi.
Awalnya THL berkewajiban memasok bahan baku kayu untuk PT. Kertas Kraft Aceh (KKA). Semenjak perusahaan itu kolaps 15 tahun lalu, THL tidak beroperasi normal. Perusahaan tersebut kemudian diarahkan untuk memasok kebutuhan kayu lokal. Tetapi THL tidak melakukannya.
“Tahun 2014 alokasi kayu untuk THL 53.000 m3. Tapi perusahaan itu tidak mampu, sehingga pada 2016 jatahnya dikurangi menjadi 35.000 m3. Pun demikian, mereka hanya mampu produksi 700 m3,” ujar M. Nur.
Letak persoalannya tidaklah pada jumlah produksi, tapi perusahaan yang berkantor pusat di Menara Bidakara, Lantai 71-73, Jakarta Selatan tersebut, melakukan pengabaian terhadap tanggung jawabnya selaku operator.
Dirjen Bina Produksi Kehutanan, Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman, Nomor: 5.301/BPHT-3/2010, bertarikh 19 Agustus 2010, menyebutkan, tanggung jawab THL antara lain: Melaksanakan kegiatan pemanfaatan hutan berdasarkan azas pengelolaan Hutan Tanaman Produksi Lestari.
Kemudian, dalam surat yang ditandatangani oleh Dr.Ir.Bedjo Sentosa, M. Si selaku direktur, disebutkan THL harus melaksanakan pengamanan dan perlindungan hutan di areal kerja. Dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya, sedapat mungkin membangun kemitraan dengan masyarakat setempat, serta melaksanakan pemberdayaan masyarakat setempat. Lainnya, memenuhi kewajiban -kewajiban finansial terhadap negara (PSDH/DR/Ganti rugi nilai tegakan).
“Itu tidak dilakukan oleh THL. Mereka tidak melindungi kawasan yang masuk dalam izin. Lihat saja aktivitas ilegal logging marak dan terjadi tiap hari. Mereka juga tidak melakukan pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan yang mereka kelola. Artinya THL juga tidak melaksanakan perintah Pasal 32 UU Nomor 41 Tahun 1999,” terang M. Nur.
Untuk itu Walhi meminta Pemerintah memberikan sanksi kepada THL, karena tidak melaksanakan tanggung jawab yang diembankan oleh negara, atas konsekuensi menjadi operator lahan seluas 97.300 hektar.
Hal lainnya menurut Walhi, merangsek masuknya warga ke lokasi HPH miliknya THL, menandakan sudah semakin krisisnya ruang kelola masyarakat di Bener Meriah.
“Selama ini, warga yang sudah semakin sempit ruang, ditangkap karena merambah kawasan garapan THL. Di sisi lain, pemerintah membiarkan perusahaan yang dipimpin oleh Edhy Prabowo, MM itu tidak menjalankannya kewajibannya,” imbuh M. Nur.
Perwakilan PT. Tusam Hutani Lestari, Ivan Astavan Manurung, sejauh ini tidak bisa dihubungi. Namun pada 1 Januari 2016, ia melalui Serambi Indonesia mengatakan, pihaknya siap bermitra dengan masyarakat setempat dalam rangka mengelola hutan dengan konsep tumpang sari.
Ia pun mengakui, kawasan yang dikelola pihaknya, telah dirubah secara sepihak oleh warga. “Ke depan kita akan melakukan pendataan dan sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan lahan tersebut. Karena tanah itu masih menjadi milik negara,” ucapnya kala itu. []