Menaker Perintahkan Gubernur Tetapkan UMP
Di tengah kondisi perekonomian yang belum membaik, pemerintah pusat memastikan besaran upah minimum provinsi (UMP) 2018 bakal naik. Persentase kenaikannya 8,71 persen.
Kabar baik bagi buruh itu terungkap dari surat edaran Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Nomor B.337/M. NAKER/PHIJSK-UPAH/x/2017 tertanggal 13 Oktober 2017. Dari edaran Menaker tersebut, kenaikan 8,71 persen didapat dari penjumlahan inflasi dan produk domestik bruto (PDB).
Inflasi dihitung mulai periode September 2016 sampai September 2017. Sedangkan pertumbuhan PDB dihitung dari pertumbuhan pada kuartal III dan IV 2016 serta kuartal I 2017. Angka inflasi nasional ditetapkan 3,72 persen, sedangkan pertumbuhan PDB nasional ditetapkan 4,99 persen
Menaker Hanif Dhakiri mengatakan bahwa penetapan UMP masih akan merujuk pada PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Ia mengatakan bahwa pihaknya sudah mengirimkan surat edaran tersebut ke seluruh Gubernur se-Indonesia. ”Sudah saya lengkapi dengan data inflasi nasional, pertumbuhan ekonomi dan data lainnya,” katanya.
Dalam edaran tersebut, Kemnaker RI juga menginstruksikan agar gubernur di masing-masing provinsi segera menetapkan UMP tahun 2018. Penetapan UMP di masing-masing provinsi wajib ditetapkan dan diumumkan serentak besok (1/11).
Hanif menambahkan, UMP juga berlaku bagi pekerja outsourcing. ”Bagi semua yang terikat kontrak kerja, UMP akan tetap berlaku,” kata Politikus PKB ini.
Penetapan upah ini penting, kata Hanif, untuk menciptakan iklim usaha yang baik berupa kepastian bagi para pengusaha serta kepastikan bagi pekerja untuk mendapatkan kenaikan upah. Menurut Hanif, para pekerja tidak lagi perlu melakukan demo menuntut kenaikan upah. ”Setiap tahun upah pasti naik,” katanya.
Tentang PP 78, Hanif mengharap semua pihak mengetahui bahwa kenaikan upah setiap tahun bersifat prediktif. Sesuai formulasi yang diatur dalam PP 78. ”Dengan model begini sudah win-win solution, semua senang,” kata mantan anggota DPR ini.
Dengan ini, Hanif berharap dunia usaha akan terus berkembang, serta lapangan pekerjaan baru tercipta yang akan membuat angkatan kerja baru untuk masuk. ”Jangan sampai yang sudah bekerja menghambat yang belum bekerja,” kata Hanif.
Sementara itu, kalangan pekerja masih belum setuju PP 78 sebagai patokan penentuan upah. Presiden Kenfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengungkapkan, dari notulen rapat dewan pengupahan DKI beberapa lalu misalnya, terlihat bahwa pemerintah setuju penetapan UMP memakai Kriteria Hidup Layak (KHL). ”Jadi tidak pakai PP no 78,” kata Iqbal.
Iqbal menambahkan, untuk UMP provinsi lainnya di luar DKI, tidak penting bagi buruh karena yang penting adalah UMK yang direkomendasi oleh bupati dan wali kota. Sejauh ini, kaum buruh yakin PP No 78 tidak bisa dipakai karena melanggar UU No 13/2003. ”Ini sudah dikuatkan oleh putusan PTUN Jakarta yang menyatakan penetapan UMP DKI berdasarkan hasil survei KHL,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey, mengaku keberatan dengan kenaikan upah buruh. Sebab, pengusaha tengah dihadapkan pada biaya-biaya yang membengkak, mulai harga sewa tanah dan properti, biaya bahan bakar hingga tarif listrik. Hal itu juga membuat sejumlah peritel menutup tokonya.
Roy menilai, sistem pengupahan saat ini belum banyak melibatkan pengusaha. Padahal, pengupahan tidak hanya menimbang kenaikan daya beli buruh, namun juga keberlangsungan usaha tempat buruh tersebut bekerja. ”Harusnya pengusaha juga dilibatkan. Sebab, banyak sekali yang membutuhkan biaya. Tenaga kerja hanya salah satu dari itu,” katanya.
Dia pun berharap agar pemerintah lebih memperhatikan aspirasi pengusaha, serta merumuskan formulasi yang tepat untuk sistem pengupahan. Selain itu, rincian Kebutuhan Hidup Layak (KHL) juga harus mengikuti perkembangan ekonomi dan inflasi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan hal senada. Menurutnya, perbedaan pendapat antara buruh dengan pengusaha selalu terjadi. Untuk itu harus ada komunikasi yang baik, sehingga bisa menjembatani keduanya. ”Pengupahan itu semestinya lebih banyak melibatkan Dewan Pengupahan, ada komunikasi secara bipartite,” ujarnya.
Dia juga menyarankan agar pemerintah menerapkan sistem upah sektoral. Sebab. hal itu akan meringankan pengusaha. Untuk sektor usaha yang tumbuh pesat, tentu bisa dengan mudah mengikuti aturan kenaikan UMP. Namun hal serupa belum tentu bisa dilakukan oleh pengusaha yang bergerak di sektor lain. Contohnya, sektor komunikasi yang pada kuartal II 2017 lalu tumbuh 10,8 persen, tentu berbeda kondisinya dengan sektor tekstil yang hanya tumbuh 1 persen.
Selain itu, pasal 44 ayat 1 dan 2 PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dinilai kurang adil bagi buruh. Sebab, formula penetapan upah menggunakan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahun ini. Semestinya, yang digunakan adalah angka dalam RAPBN 2018, yakni sasaran inflasi 3,5 persen plus estimasi pertumbuhan ekonomi 5,4 persen. Dengan begitu kenaikan UMP menjadi 8,9 persen.
Bhima tak menyoalkan risiko penurunan daya saing akibat kenaikan UMP. ”Masalah daya saing itu masih nomor tujuh di antara penyebab-penyebab kurangnya daya saing Indonesia. Nomor 1 masih korupsi dan disusul oleh inefisiensi birokrasi serta infrastruktur,” urainya.
Selain itu, menurutnya, penutupan ritel menjadi cermin daya beli masyarakat yang menurun. Untuk itu, pemerintah harus sangat berhati-hati dalam menetapkan kenaika upah. Sebab, daya beli masyarakat perlu didorong lewat kenaikan upah, namun di saat yang sama pengusaha juga perlu didengarkan aspirasinya agar usahanya tetap jalan dan tidak menimbulkan masalah baru. Misalnya, lewat pemutusan hubungan kerja (PHK). (*)
LOGIN untuk mengomentari.