Risiko pasar meningkat, investor korporasi akan keluar setelah dapat untung besar.
Yang menjadi persoalan adalah sektor pangan Indonesia masih bergantung pasar global.
JAKARTA – Utang dan sektor pangan Indonesia dinilai rentan terhadap risiko global karena memiliki integrasi yang cukup besar terhadap perekonomian global. Sebab, kebergantungan Indonesia pada dana internasional dan impor pangan masih tinggi sehingga rawan terjadi guncangan ketika risiko global meningkat.
Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati, mengungkapkan salah satu contoh risiko global yang harus menjadi perhatian adalah pergerakan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Fed Fund Rate.
“Ketika terjadi perubahan atau kenaikan suku bunga The Fed, ini akan menyebabkan capital outflow di Indonesia. Tentunya ini akan cukup mengganggu,” ujar dia, di Jakarta, Minggu (15/10).
Enny menambahkan alasan Dana Moneter Internasional (International Monetery Fund/ IMF) mengingatkan risiko itu sejak awal karena Indonesia mempunyai beban utang yang terus meningkat hingga hampir mencapai 4.000 triliun saat ini.
“Hal ini yang akan membuat risiko terhadap kesinambungan fiskal dan stabilitas sektor keuangan harus diantisipasi dan diwaspadai,” jelas dia.
Terkait dengan utang, Enny mengemukakan porsi utang pemerintah dalam denominasi valuta asing sekitar 41 persen, sedangkan kepemilikan asing dalam Surat Berharga Negara (SBN) semakin meningkat hingga mencapai 47 persen. “Sehingga kalau nilai tukar bermasalah akan menjadi persoalan,” kata dia.
Saat ini, sekitar 80,7 persen utang pemerintah dalam bentuk SBN. Apalagi, lanjut dia, meskipun cadangan devisa cukup tinggi mencapai 129 miliar dollar AS, tapi sumber cadangan devisa bukan dari kinerja ekspor melainkan capital inflow dari investasi portofolio. “Jadi, kalau ini bermasalah sangat berisiko,” kata Enny.
Sebelumnya, Penasihat Keuangan dan Direktur Departemen Moneter dan Pasar Keuangan IMF, Tobias Adrian, membeberkan setidaknya ada lima kerentanan dalam stabilitas keuangan global yang berisiko menggagalkan keberlanjutan pemulihan ekonomi global.
Pertama, peningkatan risiko pasar. Investor korporasi memiliki kebiasaan menarik uangnya setelah mendapat imbal hasil yang besar. Kedua, meningkatnya tingkat utang di negara kelompok G-20.
Hal ini menimbulkan risiko lebih besar terhadap kenaikan suku bunga yang tajam. Ketiga, pinjaman eksternal di pasar negara berkembang dan negara berpenghasilan rendah juga meningkat. Aliran masuk portofolio ke ekonomi pasar negara berkembang mencapai 300 miliar dollar AS pada 2017.
“Kebergantungan itu berisiko menjadi kerentanan terutama bagi negara-negara berpenghasilan rendah, jika sumber daya tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik,” ujar Tobias. Keempat, jumlah, kompleksitas, dan kecepatan penyaluran kredit dalam sistem keuangan Tiongkok telah menunjukkan risiko terhadap stabilitas keuangan.
Kelima, pasar masih tampak puas dengan sejumlah potensi kejutan seperti geopolitik, inflasi, normalisasi suku bunga dalam jangka panjang, dan penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi.
Keamanan Fiskal
Enny mengatakan secara umum ekonomi Indonesia memang tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap ekonomi global.
Tetapi, yang menjadi persoalan adalah sektor pangan Indonesia masih bergantung pasar global. “Katakanlah, bahan baku untuk industri makanan dan minuman bahkan masih lebih dari 70 persen impor,” kata dia.
Impor pangan Indonesia mencapai 12 miliar dollar AS atau sekitar 140 triliun rupiah setahun. Di sisi lain, investasi yang masuk bukan investasi langsung (foreign direct investment/ FDI), tetapi kebanyakan berupa investasi portofolio.
Artinya, sekalipun porsi sumber pertumbuhan ekonomi itu sebenarnya hanya 20 persen dari ekspor dan impor, tetapi komponen yang cukup mendasar dari 20 persen tersebut punya kebergantungan dari pasar global.
“Sehingga, itu yang punya multiplier effect secara tidak langsung. Katakanlah, ketika risiko global naik maka nilai tukar kita juga berfluktuatif, dampaknya harga impor menjadi tinggi,” tukas Enny. Akibatnya, harga pangan di dalam negeri akan meningkat sehingga memicu inflasi. ahm/YK/SB/WP