in

UU Pidana Jangan Ganggu Kemerdekaan Pers & Kriminalisasi Karya Jurnalistik

Pada tahun 2017, Dewan Pers telah menerima draf RUU KUHP. Setelah melakukan berbagai upaya pemahaman RUU tersebut, Dewan Pers menyampaikan delapan poin keberatan terhadap draf RUU KUHP.

Dewan Pers telah dan terus mencermati proses pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan sudah menyampaikan catatan pada September 2019 kepada Ketua DPR terhadap sejumlah pasal RUU KUHP.. Namun, delapan poin usulan itu sama sekali tidak diakomodasi dalam draf final saat ini.

Untuk memenuhi salah satu fungsi Dewan Pers sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), yakni melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers, maka Dewan Pers memberikan pandangan terhadap proses pembahasan dan beberapa ketentuan dalam RUU KUHP. Dewan Pers menekankan  karya  jurnalistik bukan kejahatan yang bisa dipidanakan.

Pelanggaran terhadap etika jurnalistik harus diselesaikan terlebih dahulu melalui prosedur dan mekanisme diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Dewan Pers memberikan apresiasi dan penghargaan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat RI yang telah melakukan pembahasan RUU KUHP.

Namun demikian, dalam rangka mewujudkan tata kelola tata pemerintahan yang baik dalam berbangsa dan bernegara, serta memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka pengambilan keputusan penetapan RUU KUHP menjadi Undang Undang,  hendaknya terlebih dahulu mendengar pendapat publik secara luas, tidak hanya berdasar pada pertimbangan kewenangan DPR  semata.

Ketentuan tersebut telah dikuatkan melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019 Yang pada prinsipnya menekankan  bahwa partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh.

Setelah mempelajari materi RUU KUHP versi terakhir 4 Juli 2022, Dewan Pers tidak melihat adanya perubahan pada delapan (8) poin yang sudah diajukan. Untuk itu Dewan Pers menyatakan agar pasal-pasal di bawah ini dihapus karena berpotensi mengancam kemerdekaan pers, mengkriminalisasi karya jurnalistik dan bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam UU Pers 40/1999 tentang Pers, utamanya pasal 2 yang berbunyi, “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.” RUU KUHP tersebut juga memuat sejumlah pasal yang multitafsir, memuat “pasal karet”, serta tumpang tindih dengan  undang-undang yang ada.

RUU KUHP mengancam kemerdekaan pers dan mengkriminalisasikan karya jurnalistik. Pasal-pasal tersebut adalah:

Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara;

Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, perlu ditiadakan karena merupakan penjelmaan ketentuan-ketentuan tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006;

Pasal 240 dan 241 Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah, serta Pasal 246 dan 248 (penghasutan untuk melawan penguasa umum) HARUS DIHAPUS karena sifat karet dari kata “penghinaan” dan “hasutan” sehingga mengancam kemerdekaan pers, kebebasan berpendapat dan berekspresi;

Pasal 263 dan 264 Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong;

Pasal 280 Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan;

Pasal 302-304 Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan;

Pasal 351-352 Tindak Pidana terhadap Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara;

Pasal 440 Tindak Pidana Penghinaa : pencemaran nama baik;

Pasal 437, 443 Tindak Pidana Pencemaran.

Dewan Pers mengharapkan agar Anggota DPR dapat memenuhi asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam proses RUU KUHP dengan memberikan kesempatan seluruh lapisan masyarakat untuk memberikan masukan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan secara transparan dan terbuka.(*)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Iskandar Lubis: CSR Bantuan Pendidikan, Basinergi Mambangun Nagari

Musda ke-4 IJTI Sumbar, Defri Mulyadi: IJTI Sumbar Butuh Pemimpin Visioner