in

Waktunya Untuk Peduli Politik Anak Muda – Belajar dari Brexit

Sebelum Jumat 24 Juni 2016,
godaan terbesar untuk saya menulis disertasi adalah matahari dan udara yang
hangat, membuat saya merasa bersalah kalau tinggal di dalam ruangan
perpustakaan. Tapi sejak referendum Kerajaan Inggris untuk keluar dari Uni
Eropa Jumat lalu, hingga Senin 27 Juni 2016, saya tidak bisa menulis satu
kalimat pun di disertasi saya. Bagaimana bisa konsentrasi kalau sejak naik bus
jam 7 pagi perempuan di belakang saya sudah teriak, ‘Apa kita keluar dari EU?
Ini nggak mungkin terjadi!’

Lalu muka-muka panik, sampai
obrolan dengan tensi tinggi antara sedih, marah dan putus asa mewarnai
hari-hari saya di perpustakaan. Ada yang sudah mengajukan diri untuk dapat
paspor negara lain, ada yang sudah melamar kerjaan di luar Inggris. Bagaimana
dengan mereka yang baru saja menemukan mimpinya di sini?

Teman saya baru saja menemukan
cintanya di sini dan berencana untuk membangun masa depan bersama di sini, di
Kerajaan Inggris. Lalu teman yang lain dari Venezuela baru berencana untuk
mencari kerja di sini, karena di rumah sudah tidak nyaman, krisis pangan dan
politik membuatnya tak lagi bermimpi pulang. Begitu juga kawan dari Brasil.
Semua berhak membangun mimpinya di sini. Tapi dalam waktu sehari, mimpi mereka
menjadi hambar.

Di luar perpustakaan, obrolan
panas terjadi – anak-anak muda murka seketika pada orang tua yang dianggap
memilih Leave dan meninggalkan masa depan yang suram buat mereka. 75% pemilih
muda memilih untuk Remain daripada Leave. Tapi pertanyaannya adalah, berapa
persen yang hadir memberikan suara kemarin?

Anak muda yang memilih Remain merasa tidak diwakili suaranya oleh hasil LEAVE yang dikuasai oleh orang tua terutama mreka yang di luar usia produktif, 55-65+. Mereka yang dalam waktu 15 tahun ke depan sudah tidak ada lagi di dunia ini. Lalu yang tersisa dari hari ini adalah kerusakan. Sekali lagi tidak perlu marah pada generasi tua karena ternyata mereka yang memberikan suara di referendum kemarin jauh dari harapan.

Lihat angka di atas, cuma 36%
anak muda yang terdaftar sebagai pemilih datang atau mengirimkan suaranya lewat
pos. Lalu bagaimana bisa mereka bilang 
kalau suara 73% Remain itu mewakili seluruh populasi anak muda se
Kerajaan Inggris? Bandingkan dengan tingkat kehadiran mereka yang berusia di
atas 35 tahun, semuanya lebih dari separuh populasi pemilih.

Ketika hasil LEAVE diumumkan lalu
bencana datang: nilai mata uang turun, para tokoh politik saling menyalahkan,
tingkat rasisme tinggi, masa depan tidak menentu, maka mimpi barangkali tinggal
mimpi. Para tokoh LEAVE bahkan tak punya cukup rencana untuk menenangkan massa
yang panik, lalu anak-anak muda menyalahkan orang tua. Tidak bisa serta merta
begitu.

Pierre Bourdieu dalam konsep
Cultural Capital bilang apa pun yang menjadi pilihan seseorang didasari latar
belakang seseorang, pengalaman, pendidikan dan budaya. Para orang tua
bernostalgia dengan masa kejayaan Kerajaan Inggris sementara anak muda dengan
budaya kontemporer, barangkali berpendidikan tinggi,  70% di antara yang punya hak pilih malah lalai
menggunakan haknya yang menentukan tak cuma masa depannya sendiri tapi juga
masa depan bangsa!

Sehari sebelum referendum, saya
dan kawan, seorang konsultan politik Argentina berdiskusi tentang keprihatinan
kami terhadap apatisme anak muda. Kenapa Goldsmiths, universitas tempat kami
belajar tak juga kencang mengajak anak-anak muda untuk menggunakan hak
pilihnya. Kalau tempat pemungutan suara dibikin di sini barangkali akan
menggugah mereka untuk memberikan haknya. Satu hal yang paling membuat saya
berpikir dari ucapan sahabat saya ini adalah, barangkali sudah waktunya
mewajibkan anak muda dan semua yang punya hak pilih untuk menggunakan haknya
seperti di Argentina, Brasil dan Australia. Kewajiban itu setidaknya memberikan
bukti keterwakilan sebuah pemerintahan atau dalam hal ini keputusan referendum.

Tentu saja mewajibkan memilih di
pemilihan umum barangkali akan dapat tantangan dari banyak orang, terutama
penggiat aktivitas ham. Tapi bukan hal yang haram untuk dipertimbangkan atau
paling tidak kita punya pekerjaan rumah bersama, bagaimana membuat anak-anak
muda ini aktif dan peduli pada masalah politik, pada masalah bangsa. Bagaimana
membuat mereka tidak cuma jadi penonton seperti Noam Chomsky bilang, bahwa
dalam politik, para politisi hanya butuh suara dari rakyat lalu menjadikan
mereka sebagai penonton begitu terpilih.

Politik memang penuh sandiwara,
tapi seperti konser, kita berhak nonton ketika punya tiket, dengan itu kita
juga punya hak untuk berteriak, marah bahkan keluar dari arena jika pertunjukan
tak menyenangkan, dengan pemain yang buruk. Bahkan jika perlu, kita bisa
melempar tomat dan telur busuk kepada mereka, oh jangan itu kejam ah, tapi
paling tidak, kita punya suara untuk protes, kalau kita punya tiket.

Owen Jones, seorang pengamat
politik muda memberikan poin penting tentang apa yang terjadi saat ini di
Kerajaan Inggris: sudah bukan saatnya menangisi yang terjadi, mari berdiri,
bergerak bersama membangun yang sudah runtuh. Pelajaran penting, anak muda
harus peduli pada politik, ini masa depan kalian, jangan biarkan orang lain
yang menentukan.

Penulis adalah Chevening scholar 2015/2016 di MA in Political Communications, Goldsmiths, University of London. 

What do you think?

Written by virgo

Melawan Ketakutan 4 November

Alga Merah Ampuh Melawan Radikal Bebas