JAKARTA – Sejumlah kalangan mengingatkan agar Indonesia mewaspadai perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang telah mencapai titik terendah dalam 27 tahun terakhir. Sebab, kelesuan- -akibat perang dagang dengan Amerika Serikat (AS)–di negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu bakal melemahkan perdagangan dan ekonomi global, termasuk Indonesia.
Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Suroso Imam Zadjuli, mengatakan sebagaimana negara lain di dunia, Indonesia juga akan terpengaruh oleh perlambatan ekonomi Tiongkok. Namun, menurut dia, dampak yang dirasakan oleh Indonesia akan lebih berat karena fondasi ekonomi yang relatif lemah.
“Untuk mencapai pertumbuhan 5,3 persen saja akan sulit. Ini akibat kita terlalu banyak utang. Akibatnya, APBN lebih banyak dihabiskan untuk membayar itu kewajiban utang, daripada untuk kegiatan produktif. Kedua, infrastruktur yang dibangun, baik perkotaan dan di pedesaan dengan menggunakan Dana Desa belum banyak memberikan hasil,” papar dia, ketika dihubungi, Selasa (16/7).
Sebelumnya dikabarkan, pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada kuartal kedua 2019 melambat jadi 6,2 persen. Ini adalah titik terendah dalam hampir tiga dekade dan mencerminkan adanya tekanan akibat perang dagang dengan AS serta melemahnya permintaan global.
Dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang menurun ke 6,2 persen dari pertumbuhan secara tahunan (year-on-year) sebesar 6,4 persen pada tiga bulan pertama tahun ini, perekonomian Tiongkok dinilai telah kehilangan momentumnya pada kuartal kedua.
Tantangan Investasi
Sementara itu, ada beberapa hal yang menjadi sorotan INDEF dalam melihat tantangan investasi di tengah perang dagang. INDEF memandang investasi semakin menjauh dari sektor primer dan sekunder. Hal ini berimplikasi terhadap kemampuan investasi dalam menyerap tenaga kerja dan optimalisasi nilai tambah.
Investasi di Indonesia juga dinilai belum efisien. Akibatnya, realisasi investasi belum mampu mendorong pertumbuhan sektor industri untuk menjadi prime mover ekonomi nasional.
Lembaga kajian ekonomi itu juga berpendapat, perang dagang tidak menguntungkan bagi ekspor Indonesia. Ini terutama disebabkan penurunan permintaan barang oleh Tiongkok yang merupakan salah satu pasar utama ekspor Indonesia. Akibatnya, defisit perdagangan RI dengan Tiongkok berpeluang makin lebar.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan dalam konteks hubungan bilateral antarnegara, perang dagang tercipta karena adanya keinginan Presiden AS, Donald Trump, yang ingin mengurangi defisit neraca perdagangan dengan kebijakan tarif terhadap negara yang mencatat surplus perdagangan dengan AS.
“Presiden AS, Donald Trump, memiliki perspektif kalau perdagangan itu tentang menang dan kalah,” ujar Menteri Keuangan dalam satu seminar, Selasa.
Oleh karena itu, pada kuartal I-2018 muncul rilis negara-negara yang mengalami surplus neraca perdagangannya, kemudian masuk ke dalam daftar perhatian AS.
“Negara yang surplusnya paling besar, maka menjadi perhatian paling tinggi,”ujar Menkeu.
Negara paling besar surplus dagangnya adalah Tiongkok, setelah itu ada negara-negara Eropa, Jepang, bahkan Korea Selatan. SB/Ant/YK/WP