Belajar dari efek Trump, salah satu penyebab depresiasi rupiah bukan karena faktor krisis ekonomi melainkan dampak politik dari luar negeri.
Jakarta. – Kinerja rupiah rentan terimbas kondisi global, termasuk dampak kondisi geopolitik. Belajar dari memanasnya tensi situasi di Amerika Serikat (AS) pasca pemilihan presiden, pemerintah perlu mewaspadai pergerakan nilai tukar rupiah tahun depan seiring potensi peningkatan suhu politik di kawasan Eropa.
Vice President Forex Time (FXTM) Jameel Ahmad memperingatkan pemerintah perlu mewaspadai pergerakan rupiah tahun depan karena sejumlah kejadian penting bakal terjadi tahun depan, termasuk referendum Italia dan pemilihan umum presiden Prancis. Jameel menilai kondisi politik ini perlu diwaspadai.
Belajar dari efek Trump, lanjutnya, penyebab depresiasi rupiah bukan karena faktor krisis ekonomi melainkan risiko politik.
“Ini sesuatu yang aneh. Di mana para investor tidak memasukan risiko politik dalam setiap investasinya. Itu hal baru karena volatilitas bukan disebabkan faktor finansial tetapi ketikdakpastian risiko politik,” katanya di Jakarta, Selasa (22/11).
Menurut Jameel, sambil menunggu pemulihan rupiah, dia menilai pemerintah perlu mendiversifikasi ekonomi nasional yang selama ini bergantung pada ekspor komoditas. Jameel juga meminta pemerintah tidak bergantung dengan negara tertentu.
“Misalnya di Inggris, pasca Brexit (keluar dari Uni Eropa), negara itu akan membuat pakta-pakta baru dalam perdagangan. Indonesia bisa masuk di situ,” kata dia.
Terkait dengan pelemahan rupiah saat ini, Jameel memperkirakan depresiasi masih akan berlangsung dalam beberapa waktu ke depan. Menurut dia, pelemahan tersebut tengah mencari titik keseimbangan baru.
“Saya pikir memang rupiah akan melemah beberapa waktu ke depan tetapi dollar AS juga pada satu titik nanti akan berbalik melemah,” kata dia.
Menurut dia, jika ada salah satu mata uang yang menguat sendirian justru tidak bagus bagi perdagangan negara tersebut.
Dia menambahkan apresiasi dollar AS justru akan merugikan perekonomian Amerika Serikat (AS) karena produk mereka kurang kompetitif di pasar dunia. “Kalau dollar menguat, terus siapa yang mau membangun industri karena biaya tinggi,” ujar Jameel.
Dorong Ekspor
Sebaliknya, Indonesia perlu memanfaatkan pelemahan tersebut untuk mendorong kinerja ekspor, seperti halnya Tiongkok. Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menilai fenomena pergerakan rupiah saat ini sebagai hal wajar.
Menurut Chatib, apabila nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menguat, sektor industri akan mengalami pelemahan sehingga dikhawatirkan industri manufaktur dapat terancam. “Rupiah tinggi justru membunuh manufaktur,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Meski demikian, Chatib memperingatkan perlunya kestabilan nilai tukar rupiah yang juga dapat menguntungkan sektor industri.
Chatib memprediksikan bank sentral AS atau The Fed tidak akan menaikkan suku bunganya pada Desember mendatang. Kenaikan suku bunga The Fed atau Fed Fund Rate (FFR) tidak akan terjadi karena kondisi dalam negeri AS masih tidak stabil. ahm/E-10