in

Wayan Suparta, Periset Indonesia Pertama yang Meneliti Perubahan Iklim di Antartika

Bawa Nama Malaysia, Menumpang di Stasiun Argentina

Bagi Wayan Suparta, iklim adalah hidupnya. Sudah hampir 20 tahun, profesor di Space Science Centre, Institute of Climate Change, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), itu berkutat dengan riset tentang iklim. Objek penelitiannya, antara lain, di Kutub Utara dan Kutub Selatan. 

Meneliti di kutub bukan pekerjaan yang mudah dan murah. Karena itu, beruntung bagi Wayan Suparta yang punya jaringan riset internasional. Sebab, berkat link itu, dia berkesempatan melakukan penelitian di kutub dengan menggunakan fasilitas milik negara yang sudah membangun stasiun (laboratorium) penelitian di sana.

Hingga kini, sudah puluhan negara yang memiliki stasiun penelitian sains di Kutub Utara maupun Kutub Selatan. Misalnya, Selandia Baru, Amerika, Argentina, Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan. Indonesia dan Malaysia belum mampu membangun stasiun sendiri.

“Jadi, selama di sana (kutub), saya menumpang di stasiun penelitian negara lain,” ungkap Wayan yang dihubungi Jawa Pos (Group Padang Ekspres) di rumahnya di Yogyakarta kemarin (8/5). Sehari-hari Wayan adalah dosen di UKM, Kuala Lumpur, Malaysia. Hari-hari ini dia sedang berada di tanah air untuk suatu keperluan.

Saat pertama meneliti di Antartika (Kutub Selatan) pada 2009, Wayan menumpang di stasiun penelitian milik Selandia Baru yang bernama Scott Base.

Dia melakukan riset bersama para peneliti dari Eropa, Asia, serta Australia. Terakhir, dia mengikuti ekspedisi penelitian di Antartika pada 21 Januari hingga 28 Februari 2017 yang berkolaborasi dengan periset dari Argentina. 

“Saya meneliti di Carlini Base yang dibangun Argentina bersama peneliti dari Jerman, Belanda, Korea, Cile, Uruguay, Kolombia, Tiongkok, dan Rusia. Saya sendiri mewakili Malaysia,” terang dia.

Wayan menjelaskan, membangun stasiun penelitian di kutub membutuhkan dana yang sangat besar. Belum biaya penelitian dan perjalanan yang juga tidak murah. Untuk melakukan penelitian selama dua minggu saja di sana, dibutuhkan biaya sekitar Rp 100 juta.

“Ini biaya yang harus kita keluarkan sendiri. Di luar bantuan rekan peneliti yang lain,” cerita Wayan.

Meneliti di Antartika tidak hanya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Tapi juga menguras energi. Wayan mengingat kembali bagaimana dia harus menghadapi cuaca ekstrem yang sulit sekali diprediksi. 

Perubahan cuaca ekstrem itu bisa terjadi dalam hitungan jam, bahkan menit. Padahal, untuk menuju lokasi penelitian, diperlukan waktu yang lumayan lama dengan medan yang sangat berat. Selain superdingin, medannya bersalju tebal. 

“Kami harus menggunakan helikopter untuk sampai di lokasi. Kami tidak bisa keluar base sesuka hati karena cuaca yang sering ekstrem. Belum lagi ada ancaman binatang buas di luar,” paparnya.

Namun, perjuangan di medan berat tersebut tidak sia-sia karena hasil penelitian yang diperoleh umumnya lebih signifikan jika dibandingkan dengan di lokasi lain.

Wayan mencontohkan kemunculan aurora yang tidak bisa dilihat jika berada di khatulistiwa. Variasi medan magnet di Antartika juga kuat. Belum lagi kemunculan makhluk hidup baru untuk penelitian di bidang kedokteran.

“Struktur batuannya (di kutub) juga unik. Kekayaan alam seperti minyak, mineral, air, dan keanekaragaman hayati di sana banyak dimanfaatkan untuk dunia kesehatan,” tuturnya.

Menurut alumnus Universitas Sanata Darma Jogjakarta itu, Kutub Selatan masih menyimpan banyak misteri yang belum bisa diungkap secara keilmuan. Tidak heran jika Antartika dijadikan objek penelitian oleh banyak peneliti di dunia.

“Antartika juga kerap dapat julukan laboratorium alamiah untuk kajian sains,’’ ucap dia. “Dan yang pasti, Antartika adalah the mother of weather alias ibunya cuaca. Jenis dan bentuk cuaca apa saja terjadi di sini,” lanjutnya.

Hingga saat ini, Wayan telah melakukan enam kali penelitian di Antartika. Dia juga pernah melakukan tiga kali penelitian di Artik (Kutub Utara). Penelitian di dua kutub tersebut umumnya dilakukan pada musim panas. Di luar musim panas, cuaca Antartika dan Artik lebih tidak menentu lagi.

Fokus riset Wayan berkaitan dengan meteorologi angkasa (space meteorology). Dalam riset tersebut, dia menggunakan teknik GPS (global positioning system) untuk menurunkan sebuah parameter cuaca yang lebih sensitif untuk meneliti perubahan iklim. Parameter itu dinamakan precipitable water vapour (PWV). Yakni, sejenis uap air terpresipitasi. 

Untuk perubahan iklim modern seperti yang sekarang terjadi, suhu dan kelembapan udara relatif sudah termasuk konvensional dan kurang sensitif dalam memberi bacaan atau tren secara global atau menyeluruh.

Dua parameter itu mungkin sesuai jika melihat lingkup yang agak sempit atau regional. Parameter konvensional tersebut akan sulit diterapkan di kutub yang medannya sangat berbahaya.

Wayan menyatakan, karena itulah, teknik GPS lebih mudah dan praktis diperkenalkan dalam penelitian yang dilakukannya. Parameter PWV memiliki sensitivitas yang melebihi sensitivitas suhu dalam aplikasi peramalan cuaca. Dalam parameter itu juga terdapat komponen aktivitas matahari atau fenomena angkasa ke dalam penurunan model tersebut.

“Karena itulah, saya kemudian menamakannya dengan istilah meteorologi angkasa. Saya peneliti pertama yang memperkenalkan istilah itu,” ungkap pria kelahiran Klungkung, Bali, 10 Agustus 1967, tersebut.

Selama menjadi peneliti di Malaysia, sudah banyak penelitian yang dikerjakan Wayan. Mulai riset cuaca angkasa, telekoneksi antara kutub dan khatulistiwa, telekoneksi matahari memengaruhi iklim bumi di Antartika, riset perubahan iklim fenomena El Nino dan La Nina di Semenanjung dan Sabah Malaysia, pembangunan satelit permodelan atmosfer, hingga riset gelombang panas.

Penelitian-penelitian itu dilakukan Wayan secara intens sejak dirinya menjadi dosen di Malaysia pada 2002. Sebelumnya, saat mengambil master di ITB, Wayan memang pernah melakukan penelitian soal iklim/cuaca, tapi tidak intens. Kini Wayan lebih banyak melakukan penelitian di bawah bendera Kerajaan Malaysia.

Meski menjadi peneliti di Malaysia, Wayan tetap bangga. Tidak berarti dia tidak nasionalis. Sebaliknya, dia justru mengaku sangat nasionalis. Wayan bangga karena berhasil menyingkirkan peneliti dari Malaysia sendiri untuk mendapatkan dana penelitian dari Kerajaan Malaysia. 

Wayan mengungkapkan, dana hibah yang diberikan Kerajaan Malaysia melalui research grant untuk Program Antartika Kebangsaan Malaysia itu tidak dengan mudah dia dapatkan.

Proyek bergengsi tersebut diperebutkan banyak peneliti di sana. Persaingan pun sangat ketat. Yang membanggakan, Wayan adalah warga negara asing di negara tersebut. “Dan saya bisa mengalahkan para peneliti Malaysia itu,” ungkap dia.

Wayan mengamalkan ilmunya di Malaysia bukan karena dia enggan membagi ilmunya kepada para mahasiswa di tanah air. Wayan akhirnya berlabuh ke Malaysia karena tidak mendapat pekerjaan di Indonesia. 

“Setelah lulus S-2 Fisika ITB pada 1999–2000, saya mengajukan puluhan lamaran untuk jadi dosen di PTN dan PTS. Tapi, tidak ada satu pun panggilan untuk saya,” ungkapnya.

Rasa kecewa pasti ada. Namun, Wayan tidak menyerah. Tidak diterima di negeri sendiri tidak berarti niatnya untuk mengamalkan ilmu hilang. Semangat justru datang ketika satu-satunya lamaran ke Malaysia mendapat jawaban. 

Dia menerima panggilan tes dari Universiti Kebangsaan Malaysia. Tanpa pikir panjang, Wayan langsung terbang ke Kuala Lumpur, menjalani tes, dan diterima. Sambil mengajar, dia juga melanjutkan studi doktoralnya. Setelah lulus S-3, Wayan kembali melamar pekerjaan di tanah air. Namun, lagi-lagi tidak ada satu pun panggilan yang datang kepadanya. 

“Tidak ada yang merespons lamaran saya. Saya tidak tahu, apakah karena tidak mampu membayar gaji saya atau sistem pendidikan Indonesia sudah bercampur aduk dengan permainan politik,’’ katanya.

Wayan mengaku kecewa dengan sistem pendidikan di Indonesia. Jika terus seperti ini, kata dia, Indonesia akan sulit maju. Banyak diaspora hebat dari Indonesia yang akhirnya memilih bekerja di luar negeri. Padahal, sebenarnya mereka punya idealisme untuk membangun negaranya sendiri. 

’’Mereka bekerja di negara asing seperti saya bukan semata-mata karena uang. Tetapi karena tidak mendapat kesempatan untuk mengabdi di tanah air sendiri,’’ tandas dia. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Chelsea Selangkah Menuju Juara, Middlesbrough Terdegradasi

Sambutan Presiden Joko Widodo pada Peresmian Pos Lintas Batas Negara Skouw, di Skouw, Distrik Muara Tami, Jayapura, Papua, 9 Mei 2017