in

Amuk Massa dan Edukasi Nirkekerasan

Tragedi kemanusiaan berupa pembakaran hidup-hidup “MA”, tertuduh pencuri amplifier mushala Al-Hidayah Hurip Jaya, Bekasi, Selasa (1/8/2017), menambah argumentasi bahwa budaya kekerasan masih laten di tengah masyarakat. Terlepas dari fakta dan hasil proses hukum, tindakan yang viral di media itu tidak dibenarkan oleh agama dan budaya beradab manapun. Fenomena itu selain potret buruk dari kondisi riil patologi sosial yang tengah menjangkiti, juga bisa jadi sebagai contoh kecil letupan emosional kolektif yang potensi sesungguhnya jauh lebih sadis dan tragis.  

Quo Vadis Peri Kemanusiaan dan Keadilan

Bangsa ini sejatinya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Pancasila sebagai falsafah dan jati diri bangsa menempatkannya pada prinsip kedua setelah diktum teologis (ketuhanan). Artinya, dalam konteks sosiologis, nilai-nilai itu menjadi prinsip utama, sebagai fondasi bagi bangunan sosio kultural bangsa ini. Sejauh mana penghormatan atas harkat dan martabat manusia adalah indikator keberadaban yang harus dijadikan kesadaran kolektif dan nilai komunal.

Meski secara konseptual telah termaktub pada falsafah negara, namun berbagai bentuk pelanggaran kemanusiaan dan tindak kekerasan kolektif masih fenomenal terjadi. Fakta itu dengan sendirinya menjadi pembenaran demi pembenaran atas pernyataan Freek Colombijn dan J Thomas Linbald, penyunting Roots of Violence in Indonesia, yang menyebut “Indonesia is a Violent Country”, sebagaimana dikutip Sukidi dalam Very J Manik (2003). 

Menurut Manik, kumpulan makalah seminar di Universitas Leiden, Desember 2000 itu menelusuri akar-akar kekerasan serta memaparkan dan menganalisa pelbagai bentuknya di Indonesia, sejak ratusan tahun lalu hingga pascareformasi. Buku itu adalah potret yang menunjukkan bangsa ini memang dekat dengan kekerasan, bahkan terjadi kekerasan struktural untuk tujuan politik dan ekonomi. Karakter bangsa yang ramah, tergerus oleh sisi buruk realita ini.

Menurut Manik, kelemahan atau ketidakmampuan negara dalam mengelola aksi kekerasan, akan terus memicu dan memberi ruang pada aksi-aksi kekerasan di masyarakat. Karena itu, negara wajib menjaga keteraturan di masyarakat, termasuk mengontrol dan mencegah kekerasan. 

Edukasi Nirkekerasan

Jimly Asshiddiqie (2011) menyebut bahwa para ahli biasa mengkaitkan istilah “amock” (amok) dalam Bahasa Inggris, sebagai temuan budaya khas Indonesia yang tidak terdapat pada tradisi lain. Alasannya, kata itu diadopsi begitu saja dari kosa kata Indonesia amuk. Artinya, pada budaya lain tidak ada istilah perilaku kekerasan massal ini. Tetapi menurutnya dalam kerumunan massa, secara inheren dan alamiah selalu diiringi elemen kekerasan. Karenanya, watak kerumunan yang mudah terpancing tindak kekerasan, bukan monopoli budaya Indonesia saja. Hooliganisme dan kerusuhan penonton sepak bola di berbagai negara, juga adalah cerminan yang sama.

Menurut Jimly, dalam kerumunan orang-orang yang disorientasi, tercipta kebingungan dan kekacauan. Dalam kondisi begitu, massa yang tidak memiliki watak, kesadaran hukum, solidaritas yang kokoh, ataupun menghadapi ketimpangan sosial ekonomi yang tinggi, mudah terbawa emosi untuk bertindak anarkis. Mencegah hal itu, menurutnya perlu upaya-upaya pendidikan dan penyadaran serta penataan sistem yang kondusif.

Berbagai upaya edukasi untuk menumbuhkan kesadaran tidak melakukan tindak kekerasan, harus dilakukan oleh dan untuk semua pihak. Melalui pendidikan formal, penginternalisasian sejak dini nilai-nilai nirkekerasan bisa dilakukan secara terintegrasi baik dalam actual curriculum berbagai materi pelajaran maupun hidden curriculum. Penciptaan suasana sekolah yang bebas kekerasan fisik, psikis dan struktural, mutlak diwujudkan. Tidak berlebihan jika ada pendapat bahwa pendidikan adalah institusi paling bertanggungjawab terhadap apapun yang terjadi di masyarakat. Sebab, setiap individu hari ini yang pada gilirannya membentuk masyarakat, adalah produk dunia pendidikan. Karena itu peran penting dan beban berat berada di pundak lembaga pendidikan.

Proses pembelajaran harus bisa membentuk empati, solidaritas, toleransi, perilaku tidak agresif serta pengendalian emosi. Meski peserta didik harus dilatih berkompetisi, tetapi rasa sayang dan belas kasihan, saling membantu, serta peduli kepada sesama tetap harus optimal ditumbuhkembangkan. Karena itu, penyelenggara pendidikan wajib mengawasi setiap potensi kekerasan yang ada di lingkungan sekolah.

Tak kalah strategisnya adalah edukasi nirkekerasan dalam lingkungan sosial. Berbagai bentuk kebrutalan diserap setiap saat, baik secara langsung dalam relasi dan interaksi sosial maupun melalui media. Semua itu menjadi virus yang mengkonstruksi pola pikir untuk selanjutnya dijadikan model perilaku dalam menyelesaikan masalah. Sudah saatnya para praktisi memiliki rasa ikut bertanggungjawab terhadap edukasi nirkekerasan. Dalam konteks pendidikan usia dini misalnya, sudah harus diciptakan beragam model educative games yang membentuk kepribadian nirkekerasan.

Tantangan terhadap edukasi nirkekerasan memang tidak ringan. Media sosial belakangan ini secara vulgar banyak meng-upload secara luas berbagai perilaku anarkis, brutal dan sadistis. Darurat kekerasan tampaknya sudah mewabahi media sosial yang ironisnya menurut berbagai riset justru penggunanya didominasi usia anak dan remaja. Demikian pula program televisi, meski UU Penyiaran No. 32 Th. 2002 telah mengatur sanksi penayangan adegan kekerasan dan pornografi, serta beberapa regulasi lain seperti P3 dan SPS, tetapi masih belum sepenuhnya peduli terhadap nirkekerasan. Mari peduli, karena tentunya kita tidak berharap akan muncul generasi barbar di negeri ini. Wallahua’lam. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Mengungkap Aktivitas Geng Pelajar di Padangpariaman

Breaking News: Api Hanguskan SPBU Simpang Jam Banda Aceh