in

Geng Pelajar dan Gagalnya Pendidikan Karakter (?)

“Mengungkap Aktivitas Geng Pelajar di Padangpariaman” menjadi headline Padang Ekspres, Rabu 9 Agustus 2017, mencoreng dunia pendidikan di ranah religius dan berbudaya ini. Tokoh Sumbar asal Padangpariaman, Profesor Duski Samad pun seketika merespons dengan tulisannya “Prihatin Geng Pelajar” di Teras Padek, (12/8), sabtu kemarin.

Meskipun geng tersebut bukan atas nama sekolah, atau berasal dari sekolah yang sama, tetapi anggotanya masih banyak yang berstatus pelajar. Seperti berita yang diungkap koran ini, anggota Geng Pelajar itu juga diikuti siswa kelas IV SD, siswa SMP dan panglima (pimpinan tertinggi) lulusan SMA. Ironisnya lagi, geng pelajar bukan saja di Padang Pariaman, tetapi tersebar di beberapa tempat di Sumatera Barat.

Berita ini menjadi duka bagi dunia pendidikan kita. Seakan peristiwa ini menjadi “teguran” bagi pemerintah daerah yang sedang bersemangat membangun daerahnya secara fisik, agar lebih memperhatikan pembangunan mental-spiritual masyarakatnya, khususnya di bidang pendidikan.

Sebenarnya, ada tiga arah kebijakan pendidikan pemerintahan Jokowi-JK, yaitu Kartu Indonesia Pintar (KIP), revitalisasi pendidikan vokasi, dan gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Lalu apakah kasus geng pelajar sebagai indikator gagalnya pendidikan karakterk?

Konsep pendidikan karakter yang dikembangkan sesungguhnya sudah memadai sebagai upaya mewujudkan peserta didik yang berkarakter atau berakhlak mulia. Secara konseptual, gerakan PPK tidak saja melibatkan guru semata, tetapi mendorong peran aktif orang tua dan masyarakat sekitar. Gerakan PPK dilaksanakan dengan tiga basis, yaitu berbasis kelas, berbasis sekolah dan berbasis komunitas/masyarakat.

Persoalannya, sudahkah PPK itu menjadi gerakan massif yang didukung oleh orang tua, masyarakat dan seluruh guru yang ada di sekolah? Tidak jarang di antara komponen masyarakat saling menyalahkan. Ada yang menuding orang tualah yang kurang peduli terhadap karakter anaknya. Ada pula menyalahkan masyarakat yang lemah control sosialnya terhadap perkembangan remaja. Dan tak sedikit yang mencibir sekolah tak berkualitas, lebih mempraktikkan pengajaran dari pada pendidikan, hanya mengurus siswa di dalam kelas, dan sejumlah kritik lainnya.

Sejatinya, semua pihak mesti terlibat pro-aktif dalam mendidik karakter peserta didik. Kasus geng pelajar seharunya membuka mata, pikiran dan hati kita untuk saling introspeksi dan bersungguh-sungguh mencari solusi atas masalah ini.

Hemat penulis, untuk masyarakat Sumatera Barat, perlu dikembangkan pendidikan karakter berbasis religius secara sungguh-sungguh dengan program yang jelas, terukur, kontiniu dan dilakukan secara massif oleh banyak pihak. Ada lima karakter utama yang dikembangkan dalam PPK, yaitu nilai karakter religius, nasionalis, mandiri, gotong royong dan integritas. Tapi nilai karakter religius merupakan basis atau fondasi yang melandasi nilai-nilai karakter lainnya. Dengan karakter relegius, diharapkan terbentuk karakter dalam arti akhlakul karimah sebagai perilaku lahir batin yang sesuai dengan perintah Tuhan.

Gagasan ini didukung oleh kultur masyarakat di Sumatera Barat yang memiliki falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Makai. Pasti tidak akan ada pihak yang menolak penguatan karakter religius di sekolah, di samping karakter lainnya.

Kita pun bisa melihat beberapa sekolah di beberapa daerah kabupaten/kota wilayah Sumatera Barat, yang terlebih dahulu mengembangkan pendidikan karakter religius dengan berbagai program, seperti Sekolah Berbasis Pesantren, Sekolah Bernuansa Islami, Gerakan Tahfizh Al Quran, Pendidkan Berbasis Imtak, dan sebagainya. Ketika warga sekolah memiliki komitmen yang tinggi terhadap program karakter religius tersebut, maka kita bisa menyaksikan perilaku siswa yang lebih santun, tertib dan jauh dari tindak kekerasan. Lebih jauh, model sekolah-sekolah yang berbasis religius ini patut diteliti oleh akademisi untuk membuktikan bahwa ada pengaruh signifikan pendidikan keagamaan di sekolah dengan perilaku atau karakter peserta didik.

Oleh karena itu, sekolah-sekolah yang relatif berhasil mengembangkan pendidikan karakter religius mesti menjadi model untuk sekolah lain. Dalam hal ini, pemerintah daerah dibutuhkan perannya dalam melahirkan regulasi yang dapat memperkuat sistem pendidikan di sekolah dengan basis karakter religius tersebut.

Diakui memang, pendidikan karakter membutuhkan keseriusan dan kerja sama dari semua pihak, terutama pendidikan di tingkat keluarga, masyarakat dan sekolah. Namun tingkat dan latar belakang pendidikan orang tua turut mempengaruhi mereka bersikap kepada anak-anak mereka. Sedangkan sekolah adalah kumpulan orang-orang terdidik dengan guru-guru yang memiliki kualifikasi minimal sarjana dengan empat kompetensi, menjadi wadah yang efektif untuk berperan aktif mendidik karakter peserta didik.

Pola pendidikan di sekolah itu direncanakan, bukan terjadi secara alamiah. Di sinilah pentingnya peran pemerintah daerah dalam melahirkan kebijakan yang dapat “mengintervensi” pihak sekolah agar lebih fokus dan memperhatikan pendidikan karakter di sekolah secara terencana, terprogram, terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Bukan justru menjadi kebijakan lip service, sesaat dan instan.

Untuk kasus Sumatera Barat, misalnya, telah ada Peraturan Gubernur Nomor 73 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendidikan Karakter pada Sekolah/Madrasah di Sumatera Barat. Tiga tahun berikutnya, dibina 19 sekolah piloting karakter tingkat SMP yang tersebar di 19 kabupaten/kota. Miliaran rupiah dana dikucurkan. Lalu sudahkah program itu dievaluasi dan ditindaklanjuti secara serius? Tak jarang program jalan selagi dana diluncurkan. Habis itu, tamat.

Maka sekali lagi, butuh keseriusan dan kesungguhan pemerintah daerah. Kepala sekolah sebagai leader dan manajer sekolah harus diangkat secara professional dan berkomitmen terhadap pendidikan karakter. Banyak contoh sekolah yang dipimpin oleh kepala yang berkomitmen terhadap pendidikan karakter sangat mewarnai pola pembelajaran di sekolah tersebut.

Begitu juga guru, perlu dilahirkan regulasi yang dapat memandu mereka agar menjadi teladan, khususnya di lingkungan sekolah. Beban tugas guru harus disesuaikan antara mengajar di ruang kelas (jam tatap muka) dengan tugas membimbing di luar kelas, seperti praktik pembiasaan baik dan membangun kurltur sekolah yang berkarakter.

Sederhana saja, dekatkan siswa dengan agamanya. Dekatkan mereka dengan kitab sucinya. Biasakan mereka beribadah. Contohkan praktik baik selama di sekolah. Itu menjadi modal besar bagi mereka menjadi remaja berkarakter.

Di antara program praktis di sekolah berbasis religius adalah membaca dan menghafal Al Quran sebelum pelajaran pertama dimulai, shalat dhuha, dan shalat zhuhur berjamaah. Tiga program utama itu diperkuat dengan kedisiplinan dan keikutsertaan seluruh guru dan karyawan sekolah.

Untuk memperkuat kultur sekolah berkarakter religius, sekolah juga perlu melibatkan orang tua. Secara berkala, sekolah mengundang orang tua lalu memberikan pembekalan dan penguatan tentang mendidik karakter anak/remaja. program ini biasa dikenal dengan “parenting education”. Sekolah juga menggandeng komunitas/masyarakat untuk peduli dengan pendidikan karakter peserta didik.

Di ranah Minang, peran ninik mamak, cadiak pandai, ulama, bundo kanduang, dan para pemuda perlu dilibatkan. Lagi-lagi, pemerintah dibutuhkan untuk menemukan formulasi yang tepat mengoptimalkan peran serta lembaga dan tokoh masyarakat untuk terlibat aktif dalam Penguatan Pendidikan Karakter di sekolah.

Gagasan ini tidak bermaksud memberatkan pihak sekolah, apalagi menyalahkan, untuk mengatasi problem geng pelajar. Tetapi saya lebih optimis pada pihak sekolah karena sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang dikelola secara professional oleh orang-orang terdidik. Hanya saja, sekolah jauh lebih berdaya dan berkualitas jika mendapat dukungan penuh dari orang tua dan masyarakat dalam mendidik generasi yang berkarakter.

Namun jika orang tua hanya melepaskan tanggung jawab ke sekolah semata, pemerintah sibuk mempertahankan kuasa, dan sekolah sekedar menjalankan tugas rutinitas tanpa inovasi dan kreativitas; maka program pendidikan karakter pasti mengalami kegagalan. Wallahu a’lam. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

157 ASN Kepri Terima Penghargaan

Padang Butuh 8.200 Hewan Kurban