in

Mengunjungi Situs Megalitikum Makam Batu Para Raja Sidabutar di Samosir

Wariskan Karakter Orang Batak yang Toleran

Makam-makam batu di Kabupaten Samosir ini bukan sekadar tetenger dan tempat wisata. Makam Batu Sidabutar itu adalah peninggalan masa megalitikum yang kaya nilai sejarah. Ia juga menyimpan petuah hidup abadi: keharmonisan.

Makam batu itu berada di Desa Tomok, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir. Sesuai dengan namanya, kabupaten tersebut terletak di Pulau Samosir, pulau yang berada di tengah-tengah Danau Toba.

Pulau vulkanis yang terbentuk karena letusan gunung purba sehingga menghasilkan danau sepanjang 100 kilometer dengan lebar 30 kilometer. Danau paling gede di Asia Tenggara.

Untuk menuju ke sana, cukup mudah. Naik saja kapal dari Parapat. Ada beberapa operator kapal, termasuk feri, yang melayani penyeberangan dari kota di sisi timur Danau Toba tersebut. Tarifnya cukup murah. Hari itu, Kamis (27/4), Jawa Pos (grup Padang Ekspres) hanya mengeluarkan duit Rp 8 ribu untuk naik kapal milik Tomok Tour.

Kapal tersebut berisi 8 penumpang. Sebab, bukan hari libur. Bila hari libur, kapal bisa terisi 20–25 penumpang sekali jalan. Pagi itu, perjalanan memakan waktu 45 menit. Cuaca cukup asyik. Air Danau Toba yang berwarna hijau pekat tak menghasilkan gelombang. Mulus.

Makam Batu Sidabutar hanya berjarak sekitar 200 meter dari Pelabuhan Tomok. Sepanjang perjalanan menuju makam, ada ratusan kios yang menjual aneka barang khas Samosir. Ada gelang, kaus, daster, hingga aneka ulos atau kain tenun. Motifnya beragam. Semua berderet rapi, bergelantungan. Menggoda siapa pun yang lewat.

Dan wajah areal makam itu langsung menyembul saat deretan pasar wisata tersebut habis. Ada tembok batu sekitar 3 meter yang mengelilingi pemakaman. Warna tembok tampak menghitam. Beberapa bagian penuh dengan lumut. Terasa betul bahwa ia sudah setua sejarah.

Pemakaman itu berukuran sekitar 10 x 10 meter. Bentuknya persegi empat. Tapi tak sempurna. Ada dua gapura yang terletak saling berseberangan. Ada kepercayaan, pengunjung yang masuk melalui satu pintu harus pulang melalui pintu yang lain.

Untuk masuk ke makam, setiap pengunjung wajib mengenakan kain ulos yang disediakan penunggu makam di pintu gapura. Tidak ada aturan khusus untuk memakainya. Cukup diselempangkan di pundak, pengunjung bisa langsung masuk.

Hari itu, suasana terlihat ramai. Penuh pengunjung. Mereka duduk berdempetan menghadap ke makam. Sembari bersiap mendengarkan riwayat para penghuni makam. Ada seorang pemandu yang sudah fasih menceritakan kisah tersebut.

Sebanyak 13 makam memenuhi kompleks itu. Mereka tersusun atas dua baris. Baris pertama berisi tujuh makam. Di baris kedua ada enam makam yang ukurannya relatif sama.

Meski begitu, jasad yang disemayamkan di masing-masing peti makam bisa jadi lebih banyak jumlahnya. Sebab, di dalam satu makam terdapat beberapa keluarga yang dikuburkan dalam satu liang.

Memang, kompleks makam Sidabutar “baru” berusia sekitar tiga abad. Tapi, ia memiliki ciri khas megalitikum yang kuat. Peninggalannya adalah batu-batu besar. Termasuk batu utuh yang menjadi tempat persemayaman jenazah.

Batu bagian bawah berbentuk persegi panjang dengan cekungan di dalamnya. Mirip bathtub. Namanya sarkofagus. Sedangkan batu penutupnya dipahat mirip atap rumah bolon. Rumah khas Batak.

Karena itu, jenazah tidak dikubur, melainkan disimpan di dalam peti yang diletakkan di tanah. Lantaran usia, batu-batu besar itu lama-kelamaan terpendam sedikit.

Penguburan dengan cara meletakkan jasad langsung ke dalam peti tanpa harus dikuburkan dulu itu juga masih diterapkan sebagian besar masyarakat Samosir hingga kini.

Menjelang tengah hari, lelaki itu muncul. Usianya paro baya. Dengan nada ramah, dia bertanya kepada Jawa Pos (grup Padang Ekspres) soal keperluan mendatangi makam tua tersebut.

Begitu sadar bahwa lawan bicaranya berasal dari media, dia mengenalkan diri. Namanya Bikner Sidabutar, juru kunci makam. Kisah-kisah mengenai asal berdirinya makam pun meluncur dari mulutnya. Tentang silsilah orang pertama yang membawa marga Sidabutar.

“Itu makam yang tengah, raja pertama kami. Raja OP Soribuntu Sidabutar,” jelasnya. Makam yang ditunjuk Bikner memang memiliki tampilan yang jauh berbeda dari 12 makam lainnya. Makam batu tersebut sudah terlihat menghitam. Ditumbuhi banyak lumut yang telah berkerak di permukaan batu.

Makam Raja OP Soribuntu Sidabutar memiliki ukiran khas. Di bagian depan terpahat kepala manusia berambut klimis. Pahatan itu terlihat menonjol pada bagian depan sarkofagus. Tapi, garis detailnya tak lagi terlihat tegas. Lumut dan usia telah menghaluskannya.

Di atas kepala patung itu terdapat benjolan setinggi 15 sentimeter. Benjolan itu disebut patung cucu. Patung cucu di atas kepala manusia tersebut dibuat raja sebagai pengharapan kepada generasi penerus untuk lebih baik darinya.

Sementara itu, di bagian tubuh makam terdapat beberapa tambalan semen. Menutup celah batu yang telah retak di sana-sini. “Ini kami tambal beberapa tahun lalu karena tertimpa batang pohon,” tutur generasi ke-14 Raja Sidabutar itu.

Makam raja pertama pembawa marga Sidabutar tersebut sudah ada sejak abad ke-17. Tepatnya pada 1640. Raja meninggal pada usia 115 tahun. Sebagai raja pertama, OP Soribuntu Sidabutar belum mempunyai wilayah kekuasaan yang luas.

Pada awal pemerintahannya, sang raja hanya berfokus untuk memimpin huta (kampung). Saat itu dia hanya berfokus pada pengaturan struktur masyarakat di huta. Agar setiap warganya tetap sejahtera dan tidak kekurangan sandang pangan. Raja belum terlalu memusingkan perluasan wilayah.

Tapi, penerusnya, Raja OP Ni Ujung Barita Sidabutar, lebih ekspansif. Mengerahkan para serdadu huta, sang raja mulai menguasai huta lain di sekitar Pulau Samosir. Klan Sidabutar pun memasuki era kejayaan. Luas kerajaan mencapai 5 kilometer persegi. 

“Wilayahnya luas. Sampai di balik bukit,” tutur Bikner sambil menunjuk bukit yang kini menjadi area pertanian warga Desa Tomok.

Luasnya kekuasaan Raja OP Ni Ujung Barita Sidabutar itu tecermin pada bangunan makamnya. Tingginya hingga 2 meter. Dua kali lipat tinggi makam Raja OP Soribuntu Sidabutar. Makam raja kedua itu juga punya ukiran yang lebih halus dan komplet. Patung kepala manusianya terlihat menyembul gagah di batu penutup makam.

Bentuk makam dengan patung kepala manusia tersebut mulai ditanggalkan saat raja ketiga, OP Solompuan Sidabutar, berkuasa. Sebab, sang baginda sudah memeluk agama Kristen.

Karena itu, makam raja yang wafat pada 1829 tersebut berhias salib. Bangunan makam setinggi 1,75 meter itu juga sudah tidak menggunakan bahan batu. Semua terbuat dari semen.

Menurut Bikner, pria dengan lima putra itu, Makam Batu Sidabutar bukan sekadar kompleks kuburan. Ia menyimpan filosofi hidup tinggi. Khususnya mengenai sifat orang Batak yang terbuka terhadap segala hal. Salah satunya melalui kepercayaan.

Melalui generasi Sidabutar yang tercatat di setiap pemakaman itu, kerukunan agama bisa terlihat. Dari raja satu ke raja lainnya memberikan nuansa yang berbeda. Raja pertama dan kedua menganut kepercayaan atau agama Parmalim.

Itu terlihat pada bentuk makam dan ornamen pendukungnya. Ada bendera tiga warna (putih, merah, hitam), daun sirih, serta jeruk purut. Tiga barang tersebut terlihat di setiap nisan penganut Parmalim.

Meski begitu, masyarakat Batak tetap terbuka dengan hadirnya kepercayaan atau budaya lain. Di tengah mayoritas penduduk yang menganut kepercayaan Parmalim, Raja OP Ni Ujung Barita Sidabutar pernah menempatkan serdadu muslim. Namanya Teuku Muhammad Said. Sebagai serdadu raja, Said punya banyak akal cerdik untuk mengalahkan musuh raja.

Atas jasa bantuan strategi perang itu, sang raja bahkan langsung mengabadikan pemuda asal Takengon, Aceh, tersebut ke dalam ukiran makamnya. Patung Teuku Muhammad Said tepat berada di bawah patung kepala manusia di makam Raja OP Ni Ujung Barita Sidabutar.

Pada patung yang menggambarkan figurnya itu, Said tampak tersenyum. Sebentuk songkok menghiasi kepalanya. Said terlihat berjongkok dengan satu tangan menutupi lutut dan tangan kiri menutupi bagian selangkangan.

“Waktu periode itu, di Tomok mulai ada masyarakat yang menganut agama Islam. Namun, jumlahnya tidak banyak,” tutur lelaki yang telah menjadi juru kunci selama 12 tahun tersebut.

Akulturasi itu juga terlihat saat raja ketiga Sidabutar resmi menganut Kristen. Tidak ada perlawanan dan protes kepada raja mengenai perpindahan agama itu. Semua berjalan lancar. Hingga kini juga masih ada penganut kepercayaan Parmalim di Desa Tomok.

Representasi makam Sidabutar sebagai bentuk harmonisasi antarentis tersebut juga bisa dilihat dari bervariasinya pengunjung yang berziarah ke makam. Mulai umat Kristen, Islam, hingga Khonghucu. Semua pernah berziarah hingga menjura hormat kepada raja-raja yang dimakamkan di areal tersebut.

Biasanya mereka datang pada waktu-waktu tertentu. Misalnya, liburan. “Ini contohnya,” terang Bikner seraya mengambil hio merah sebesar batang lidi. Menancap di depan makam Raja OP Ni Ujung Barita Sidabutar. Tanda bahwa ada perziarahan dari umat Khonghucu. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Banjir dan Longsor Hantam Pulasan

Jangan Sampai Dunia Terbalik