in

Pasien Sadar saat Otaknya Diutak-atik

Proses operasi umumnya dilaksanakan ketika pasien tidak sadar. Tim bedah saraf RSI Jemursari Surabaya kemarin (11/7) sukses melakukan awake brain surgery, melakukan operasi dengan kondisi pasien sadar. Operasi ini merupakan kali keduanya dilakukan tim dari Surabaya Neuroscience Institue (SNeI).

Operasi pertama dilakukan di RSUD dr Soetomo pada pasien lelaki dengan tumor astrositoma. Sedangkan operasi kedua ini, berlangsung kemarin (11/7) di Rumah Sakit Islam (RSI) Jemursari. Diagnosis yang diberikan pun sama. Hanya saja, kali ini pasien yang menjalani operasi adalah seorang perempuan muda berusia 24 tahun.

“Teknik ini sebenarnya lebih aman untuk operasi tumor otak. Dengan pasien sadar, kami bisa langsung melihat apakah bagian yang diambil itu berpengaruh terhadap fungsi tubuhnya,” jelas dokter spesialis bedah syaraf Irwan Barlian, operator dalam operasi, kemarin. Metode ini sangat baik untuk mencegah timbulnya kelumpuhan pasca operasi.

Irwan menyebutkan jika pasiennya kali ini mengalami tumor astrositoma di otak sebelah kiri. Otak kiri ini memiliki fungsi dalam berpikir dan melakukan gerak motorik.  “Jadi selama operasi berlangsung, gerak tangan, kaki dan kemampuan bicara akan terus diawasi,” lanjutnya.

Selain dengan melakukan komunikasi secara langsung, pasien juga akan ditanami sejumlah kabel yang bertugas untuk melakukan monitoring terhadap normal tidaknya fungsi otak pasien.  Sejumlah kabel tersebut disambungkan ke dalam alat yang disebut dengan intra operative monitoring (iom) yang kemudian disambungkan ke laptop.

Di dalam laptop ini akan terlihat grafik gelombang otak. Jika kondisi stabil, artinya tumor yang diambil tidak mengganggu fungsi otak. Seperti yang terjadi pada Maria (bukan nama sebenarnya).

Dokter muda ini didiagnosis mengidap tumor pada bulan Juni lalu. Awalnya dia sering mengeluh pusing. Setiap minum obat sembuh, lalu kambuh lagi. Dosis obat yang diminum pun harus terus dinaikkan.

“Tadinya, saya nggak curiga apa-apa. Mikirnya ya cuma kecapekan belajar aja. Kan sekarang lagi internship,” ujar Maria sesaat sebelum operasi. Selain sakit kepala, penglihatannya juga mulai kabur. Terkadang dia tidak bisa melihat jelas apa yang ada dihadapannya. Belum lagi dia jadi pelupa.

“Sebenarnya kakak juga sempat nanya. Katanya mataku terlihat lebih menonjol dan disuruh periksa. Kebetulan kan kakak juga seorang dokter,” lanjutnya. Namun kala itu Maria justru marah pada sang kakak karena meledeknya. Bahkan, permintaan sang ibu yang juga seorang perawat untuk melakukan CT Scan juga diabaikan.

Namun, Juni lalu, Maria mulai menjalani internship di stase mata. Kala itulah dia iseng mencoba memeriksakan matanya kepada sang dokter pembimbing. Hanya dengan sekali lihat, Maria pun langsung disuruh melakukan CT scan.

“Ya sudah saya langsung cek ke radiologi. Nah pas di sana petugasnya bilang kalau ada titik kecil di otak saya,” ujar perempuan penggemar durian tersebut. Merasa paham kalau ada yang tidak beres, Maria berusaha memaksa untuk melihat hasilnya tetapi tidak pernah diberikan.

Rupanya, dokter pembimbing Maria memang sengaja tidak memberitahunya. Dia justru menelpon orang tua Maria yang berada di kota lain terlebih dahulu. Baru kemudian mereka diajak untuk menemui Maria. Di sanalah semua rahasia terkuak.

Ketakutan sempat membuat Maria menangis tersedu-sedu.  “Dia telpon saya, nangis. Bilang aku masih pengen jadi dokter, belum ingin mati,” ujar sang kakak yang turut menemani sepanjang operasi. Raut sedih tidak bisa disembunyikan oleh sang kakak. Keberadaannya di ruang operasi pun untuk menunjukkan jika dia akan selalu ada di samping sang adik apapun yang terjadi.

Maklum, bungsu dari tiga bersaudara tersebut memang termasuk pribadi manja di keluarganya. Meski ketika berada di luar rumah dia adalah sosok yang ceria dan mandiri.

Begitu mengetahui jika ada tumor yang bersarang di otaknya, Maria dan keluarganya pun mencoba menanyakan solusi kepada pembimbingnya yang kebetulan adalah dokter syaraf. Perempuan berkacamata ini pun dirujuk ke Surabaya untuk menemui Irwan. Setelah melakukan konsultasi, baik bertemu langsung dan melalui media elektronik, akhirnya diputuskan jika operasi dilakukan kemarin.

Dimulai pukul setengah sembilan pagi, Maria mulai menjalani pembiusan total. Setelah semua peralatan medis pendukung terpasang dan tulang tengkorak terbuka, perlahan Maria dibangunkan. Tubuhnya ditepuk-tepuk oleh tim medis dan juga dipanggil namanya berulang-ulang. Setelah setangah jam berusaha barulah Maria benar-benar terjaga.

Raut wajah sang kakak yang tadinya tegang mulai berangsur rileks melihat adiknya bisa membuka mata dan memberikan respons dengan baik. Dengan penuh perhatian dia mendampingi dokter yang memonitoring IOM, dr Neimy Novitasari SpS, untuk memberikan stimulus kepada sang adik.

Selama proses pengangkatan tumor di otak Maria, Neimy terus saja melakukan berbagai rangasangan. Entah itu menggunakan alat IOM, mengajaknya berbicara, atau menunjukkan gambar-gambar.

Ada sedikit kisah lucu ketika Maria di dalam ruang operasi. Kala itu, dia sedang tidak diberikan stimulus apa-apa. Namun tiba-tiba dia berbicara jika orang di depannya kabur jadi dua. Dokter pun sempat bingung dengan yang dimaksud. Tetapi saat mengetahui jika orang yang jadi “dua” itu memang benar-benar dua orang, tawa pun tidak terelakkan. “Oalah. Masih bisa ngebanyol yo,” tutur dokter Bambang Harijono SpAn KNA, dokter anestesi yang bertugas. Kemarin, dia diasisteni oleh dokter Prihatma Kriswidyatomo, SpAn.

Sepanjang melakukan operasi, Maria pun bisa memberikan respons dengan cukup baik. Dia bisa menggerakkan kaki dan tangannya, menekuk, menggerakkan jari-jari, termasuk membaca dan menghitung. Sejumlah gambar hewan pun diperlihatkan kepadanya dan selalu bisa ditebak dengan tepat. Begitu juga ketika Maria disuruh bercerita tentang dirinya. Sang kakak memastikan jika jawabannya sesuai.

Kondisi ini berarti jika tumor masih bisa terus diangkat. Namun sekitar pukul setengah dua, saat 90 persen tumor sudah berhasil diangkat, kemampuan kognitif Maria mulai menurun. “Jadi saat ditunjukkan gambar, dia jawabnya sudah lama dan berbicaranya juga mulai terganggu. Karena itu kami putuskan untuk berhenti di sana,” ujar dr Teddy Apriawan SpBS, asisten operator dalam operasi tersebut.

Usai menjalani operasi, Maria tidak bisa langsung pindah ke ruang rawat. Dia harus menjalani observasi terlebih dahulu di ruang ICU selama 24 jam setelah sebelumnya memulihkan kesadaran di ruang pulih sadar.

Penempatan di ruang ICU ini menjadi bagian penting untuk mengawasi tidak terjadinya reaksi kejang atau pendarahan otak paska operasi. Selain itu juga untuk memastikan kadar bius telah hilang secara total. “Besok pagi kami akan melakukan kunjungan untuk melihat kondisinya, kalau memang kondisi sudah bagus, bisa langsung pindah ke ruang rawat,” lanjutnya.

Tumor yang sudah diangkat dari otak Maria selanjutnya akan dikirim ke bagian patologi untuk dilakukan analisa. Analisa ini penting untuk menentukan tingkat keganasan dan derajat tumor yang akan menentukan tindakan selanjutnya. “Sekitar tujuh hari (hasilnya keluar. red). Kan jadi tahu, itu tumor derajat berapa. Kalau memang butuh terapi lanjutan, nanti dilakukan kemoterapi. Tetapi kalau nggak ya tidak perlu,” tutur Teddy. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Sumbar Rangking 23 Penyalahgunaan Narkoba

Dirut PDAM Ditarik ke Balai Kota