Pemerintah telah menetapkan harga baru untuk BBM jenis Premium dan Solar. Premium turun menjadi Rp 7.600 per liter dan Solar jadi 7.250 per liter. Dalam harga baru ini, pemerintah telah mencabut penuh subsidi untuk Premium. Namun, untuk Solar pemerintah masih mengucurkan subsidi tetap sebesar Rp 1.000 per liter.
Harga Solar saat ini turun Rp 250 per liter, sehingga menjadi Rp 7.250 per liter. Sementara harga Solar nonsubsidi masih bertahan sebesar Rp 8.250 per liter. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil mengatakan kebijakan tersebut diambil untuk merespon merosotnya harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP), dan berdampak pada harga jual Solar yang ikut mengalami penurunan.
“Pemerintah masih merasa memberi subsidi tetap pada Solar Rp 1.000 per liter,” ujarnya di Kantor Kemenko, Jakarta, Rabu (31/12).
Menurut dia, patokan harga tersebut mengikuti penurunan ICP mendekati USD 60 per barel dengan kurs Rp 12.380 per dolar Amerika Serikat (AS). “Kami tetap memberikan subsidi untuk BBM jenis Solar demi kepentingan banyak orang. Subsidi cuma diberikan untuk Solar karena secara teori masih digunakan untuk kepentingan ekonomi,” jelas dia.
Dengan skema subsidi tetap, pemerintah akan lebih mudah menghitung anggaran subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Ini akan dimasukkan dalam APBN Perubahan tahun depan yang baru akan masuk minggu pertama Januari 2015. Sebab di masa lalu subsidi nggak bisa dihitung, tapi sekarang bisa dihitung karena sudah fix,” jelasnya. Sofyan menambahkan kebijakan ini merupakan terobosan pemerintahan Joko Widodo untuk pengelolaan subsidi yang lebih baik. Kebijakan ini diyakini akan membuat postur anggaran negara lebih sehat tahun depan.
Dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015, subsidi BBM dialokasikan Rp 276 triliun. Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat menyebut, alokasi anggaran subsidi BBM tahun depan bisa turun sampai Rp 50 triliun. Berikut keuntungan Jokowi hapus subsidi BBM RI untuk ekonomi nasional:
Jadi berkah ekonomi RI
lensaterkini.web.id – Direktur Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani blak-blakan soal terus menurunnya pendapatan minyak dan gas (migas) dalam negeri. Hal ini sangat berkaitan dengan kebijakan Presiden Jokowi yang mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM) di 2015 lalu.
Askolani mengatakan, dalam 4 tahun terakhir Indonesia sudah menjadi negara pengimpor minyak atau nett importir migas. Artinya, minyak yang diimpor sudah lebih banyak dari yang diekspor.
“Sebelum 4 tahun ke belakang itu kita masih positif importir, masih banyak ekspor. Tapi sekarang cadangan devisa migas terus tergerus karena kita nett importir minyak,” kata Askolani dalam acara Economic Challenges di Jakarta, Jumat (24/3).
Kondisi Indonesia seperti itu tentu saja berdampak pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Pada 2008, penerimaan migas negara mencapai Rp 300 triliun. Kemudian di 2012-2014, pendapatan ini meningkat jadi Rp 350 triliun.
“Namun demikian, di 2012-2014 itu subsidi energi kita lebih Rp 350 triliun. Jadi uang pendapatan migas habis untuk subsidi,” kata Askolani. Askolani mengakui, ekonomi Indonesia terselamatkan saat pemerintah Jokowi mencabut subsidi BBM di 2015. Sebab, pendapatan migas saat ini juga anjlok karena rendahnya harga minyak dunia.
“Untungnya di 2015 pemerintah mengubah kebijakan dan subsidi di 2016 di bawah Rp 100 triliun. Namun, pendapatan migas juga turun jadi Rp 80 hingga Rp 90 triliun. Kalau saja kebijakan tak diubah, habis kita karena migas anjlok dari Rp 350 triliun jadi di bawah Rp 100 triliun.”
Infrastruktur RI digenjot
Pemerintah telah membuat kebijakan untuk mencabut subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Pencabutan subsidi ini akan dialihkan dalam pembangunan infrastruktur dan bantuan sosial.
“Pertama, pemerintah ini mulai dengan melakukan reformasi yang sangat penting walaupun tidak menyangkut masyarakat banyak. Pada waktu APBN, subsidi akhir 2014 dicut besar sekali dan dialihkan pengeluaranya jadi untuk pembiayaan infrasuktur, bantuan sosial dan juga buat pendidikan,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution.
Menurutnya, besarnya alokasi subsidi tersebut digunakan untuk membangun infrastruktur dapat meningkatkan perekonomian Indonesia. Kebijakan ini juga dinilai bisa meyakinkan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
“Yang namanya pembangunan infrastruktur dalam ekonomi disebut sebagai non kredible good. Dalam situasi ekonomi lesu, kita tidak perlu pusing-pusing kalau ada dadakan. Dan memang disadari sangat kurang. Maka pembangunan infrasuktur menempati posisi sangat penting,” pungkasnya.
Dorong perkembangan energi terbarukan
lensaterkini.web.id – International Energy Agency (IEA) meluncurkan laporan khusus energi dan polusi udara dalam World Energy Outlook 2016. Dalam peluncuran ini, IEA mendukung kebijakan pemerintah Indonesia dalam memangkas subsidi energi, khususnya pada bidang energi fosil seperti Premium.
Direktur Eksekutif IEA, Fatih Birol mengatakan, kebijakan ini nantinya mampu mendorong penggunaan energi baru dan terbarukan bagi Indonesia. Sebab, tingginya harga energi fosil secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap pengalihan penggunaan energi bagi Indonesia.
“Saya mengikuti perkembangan sektor energi di Indonesia, saya sangat encourage (mendorong) reformasi energi di Indonesia dengan memotong subsidi untuk sektor yang lebih efektif,” ujarnya.
Menurut Fatih, Indonesia merupakan negara yang sangat penting bagi pengembangan sektor energi baru dan terbarukan. Mengingat besarannya jumlah penduduk di Indonesia tentu akan sangat berdampak terhadap cadangan energi fosil yang tersedia. Apalagi sektor energi prioritas seperti bahan bakar minyak yang dapat menjadi substitusi bagi penggunaan BBM jenis Premium dan Solar.
“Indonesia merupakan negara dengan major consumer, dan major producer. Untuk itu butuh efisiensi sektor energi yang sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia,” jelas dia. Peluncuran ini turut dihadiri oleh Menteri ESDM Sudirman Said, pejabat eselon I Kementerian ESDM, dan Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto.
Dipuji pemimpin dunia
Awal 2015 Presiden Joko Widodo memutuskan melepaskan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium pada mekanisme pasar. Dengan kata lain, BBM jenis premium sudah tidak lagi disubsidi pemerintah. Direktur Operasional International Monetary Fund (IMF) Christine Lagarde kagum sekaligus memuji keberanian Joko Widodo mencabut subsidi premium hanya beberapa bulan setelah terpilih sebagai Presiden.
“Saya terkesan dengan keputusan yang diambil Presiden Jokowi tak lama setelah dirinya terpilih yakni memotong subsidi dan membebaskan ruang fiskal yang sekarang bisa digunakan untuk kebutuhan lain,” kata Lagarde. Selain itu, Lagarde juga melihat kebijakan Bank Indonesia (BI) mempertahankan cadangan devisa (cadev) untuk 6-7 bulan impor merupakan kebijakan tepat.
Lagarde menyarankan agar kebijakan pemerintah dan otoritas keuangan saling bersinergi menyikapi kondisi perekonomian yang sedang bergejolak.
“Kalau beri sedikit petunjuk, lanjutkan reformasi, lanjutkan program yang fokus pada pembangunan infrastruktur dan gunakan semaksimal mungkin ruang fiskal yang didapat dari pemotongan subsidi BBM,” tutup Lagarde.