Setelah lolos uji kelayakan dan kepatutan di DPR, kemudian Presiden Joko Widodo menerbitkan SK pengangkatan pada 10 November 2017, kini Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) resmi diisi dengan personel baru. Dalam pemilihan secara musyawarah dan mufakat, lembaga ini sekarang dipimpin oleh Ahmad Taufan Damanik.
Tugas berat diemban oleh Komnas HAM karena sudah dekat dengan tahun politik. Masalah-masalah HAM yang belum tuntas akan memengaruhi stabilitas di tahun politik tersebut. Komnas HAM sebagai lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lain ini berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM tentu juga harus mengantisipasi persoalan tersebut.
Untuk mengetahui apa saja yang akan dilakukan oleh jajaran Komnas HAM dalam lima tahun mendatang, wartawan Koran Jakarta, Frans Ekodhanto, berkesempatan mewawancarai Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, di Jakarta, baru-baru ini. Berikut petikan selengkapnya.
Anda berhasil melewati serangkaian seleksi sehingga terpilih menjadi Ketua Komnas HAM. Bisa diceritakan sekilas proses pemilihannya?
Setelah dinyatakan lulus fit and proper test oleh DPR, kami menerima SK Presiden yang turun pada 10 November 2017. Kami mulai bekerja 13 November 2017, dengan agenda pertama pemilihan ketua dan wakil ketua koordinator. Untuk proses pemilihannya adalah musyawarah. Kemudian dari hasil mufakat ini, saya terpilih menjadi ketua untuk periode 2,5 tahun.
Setelah 2,5 tahun, sebanyak tujuh komisioner kembali bermusyawarah bermufakat lagi, apakah diperpanjang 2,5 tahun berikutnya atau mungkin terjadi pergantian, demikian juga dengan wakil ketua, komisioner sama saja. Kecuali koordinator, dia menjabat per tahun. Kalau komisionernya, seperti komisioner bidang mediasi, pengaduan, penelitian, dan pengkajian juga 2,5 tahun.
Setiap negara memiliki Komnas HAM-nya masingmasing, lantas apa filosofi keberadaan Komnas HAM kita atau semangatnya apa ketika dibentuk?
Sebetulnya, semangatnya adalah memperkuat proses demokratisasi di Indonesia. Selain itu juga untuk membangun peradaban bangsa Indonesia yang luas dan keberagamannya luar biasa serta jumlah penduduknya yang sangat banyak. Jadi, bersamaan dengan kompleksitas itu, hak asasi manusia menjadi salah satu indikator penting dalam pembangunan bangsa Indonesia.
Di situlah kemudian posisi Komnas HAM ini diletakkan. Karena itu di dalam UU disebut sebagai lembaga penyelenggara negara, yang bertanggung jawab untuk mengembangkan HAM. Komnas HAM juga menjadi katalisator, tidak berjalan sendiri karena elemen atau lembaga-lembaga yang lain juga turut bertanggung jawab, seperti Presiden, DPR, menteri, organisasi masyarakat sipil (organisasi keagamaan), media, dan lain-lain.
Untuk mengawal perjalanan HAM di Indonesia, apa program kerja Anda?
Setelah lima tahun terakhir, bisa dikatakan hal ini merupakan situasi yang sulit buat Komnas HAM, karena persoalan di internal, misalnya disclaimer dua kali berturutturut. Kemudian, muncul semacam penurunan kepercayaan masyarakat akibat berbagai masalah. Berangkat dari sini, yang pertama kami lakukan adalah pembenahan internal.
Pembenahan ini tidak hanya pada persoalan keuangan, tapi juga tata kelola kelembagaannya. Contohnya, ada pengaduan masyarakat, kita harus memperbaiki SOP dari pengaduan itu. Pertama, kriteria untuk menyeleksi, mana pengaduan yang benar-benar harus diteruskan karena memang menyangkut pelanggaran HAM dan mana yang bukan. Setelah diperiksa, banyak pengaduan yang bukan isu HAM.
Kedua, kita harus putuskan, mana dari kasus ini yang ke wilayah hukum dan mediasi. Untuk itu harus ada suatu sistem dengan indikator yang jelas, termasuk mengenai waktu (time line). Jadi, orang tidak harus menunggu lama dan tidak jelas, apakah pengaduan saya diterima. Jika diterima berapa lama akan diteruskan, sudah sampai tahap mana. Nah, sekarang teknologi informasi sudah canggih, apakah orang mesti datang. Hal ini memang kelihatan sederhana, tapi ternyata selama ini belum dibenahi.
Bagaimana Anda menghadapi kasus-kasus yang belum selesai?
Pelanggaran HAM masa lalu, pelanggaran HAM berat, seperti kasus Papua, seperti apa hasil penyelidikannya. Untuk Aceh, ada lima kasus yang sudah diputuskan dari komisioner yang lalu. Namun, dari lima itu, baru dua hasil penyelidikan yang selesai. Berarti kami melanjutkan yang tiga lagi.
Internal lembaganya harus dibenahi. Itu yang kami sebut reformasi tata kelola kelembagaan. Sistem pengaduan atau data base harus dibenahi, termasuk staf yang bertanggung jawab, apakah kapasitasnya sudah cukup. Jika belum cukup, harus ada suatu upaya penguatan kapasitas, dan kita punya banyak lembaga patner yang bisa membantu, baik di dalam maupun di luar negeri. Kami dinilai A oleh pihak luar negeri. Sangat mudah bagi kami meminta bantuan dari lembaga lain untuk memperkuat capacity building untuk staf.
Untuk 2,5 tahun Anda memimpin di Komnas HAM ini, apakah punya target penyelesaian kasus?
Kalau kasus, kami tidak punya target, sebab kasus akan datang terus. Salah satunya tadi, penyelesaiaan kasus yang disebutkan “utang” yaitu pelanggaran HAM berat masa lalu dan pelanggaran HAM berat Papua (yang bukan masa lalu, karena baru saja terjadi). Itu harus segera dituntaskan.
Sebagian hasil penyelidikannya sudah selesai dan sekarang ada Kejaksaan Agung. Kami perlu tanya kembali keputusan pemerintah pusat (Presiden), ini mau diapain? Karena Komnas HAM wewenangnya sampai pada tahap penyelidikan, tidak bisa lebih dari itu. Apakah Kejaksaan Agung membutuhkan tambahan data atau akan membentuk tim bersama atau masih banyak bentuknya dalam hal memperdalam penyelidikan itu.
Penyelesaiannya seperti apa?
Penyelesaian yudisial atau non-yudisial atau gabungan. Untuk kasus-kasus yang besar dan sensitif, tentu membutuhkan satu keputusan yang besar dari presiden. Misalnya peristiwa 1965, laporan dari Komnas HAM telah lama selesai. Nah, sekarang ini mau diapain? Kembali lagi pada yang tadi, mau penyelesaian yudisial atau nonyudisial atau gabungan.
Penyelesaian yudisial dan nonyudisial itu seperti apa?
Bisa jadi rekonsiliasi atau dalam bahasa kita, rujuk nasional. Namun, ini tidak boleh berlarut-larut, seperti sekarang. Hasil penyelidikannya sudah ada, tapi tidak ada ujungnya. Sehingga setiap tahun, isu-isu tertentu menjadi debat nasional atau debat politik yang tidak ada juntrungannya.
Sebenarnya apakah kita bisa menuntaskan kasus-kasus tersebut?
Ya, bisa karena kita punya banyak pengalaman, misalkan kasus Aceh. Bisa dikatakan, orang yang konsen untuk soal Aceh, baik dari dalam maupun luar negeri tidak pernah membayangkan akan ada penyelesaian. Akan tetapi dan ternyata kita bisa. Sebenarnya, negara atau bangsa ini punya energi untuk menyelesaikan suatu persoalan yang orang luar sudah melihat untuk kasus itu tidak ada harapan. Sepertinya tidak ada titik temu, tapi ternyata kita bisa menuntaskannya.
Kenapa bisa?
Orang bilang karena ada tsunami. Saya katakan, Thailand Selatan dan Srilanka pada saat tsunami juga terkena dampak, tapi mereka tidak bisa menyelesaikan. Di Srilanka semakin parah konfliknya, begitu juga di Thailand Selatan. Jadi, tidak bisa juga kita katakan bahwa momentum tsunami yang membuat masalah Aceh terselesaikan dengan baik.
Artinya, tsunami itu bisa dikatakan momentum. Yang terpenting adalah bahwa ada kemauan besar dari bangsa Indonesia dan ada pihak yang memang bekerja untuk itu sehingga masalahnya bisa selesai. Anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kini telah menjadi bupati, gubernur, guru, pengusaha, aktivis, dan lain sebagainya.
Mereka bisa duduk bersama dengan orang-orang yang dulunya anti-GAM. Intinya, mereka sudah rukun, meskipun secara psikologis masih ada trauma, baik bagi pelaku maupun korban. Jadi di tingkat bawah hingga atas sudah terjadi proses rekonsialisasi sosial.
Pelanggaran HAM Berat yang Anda maksud itu apa saja?
Kasus 1965, Petrus, Talang Sari sudah ada penanganan, Semanggi dan Peristiwa 1998.
Yang terdata, berapa pengaduan yang masuk ke Komnas HAM?
Tahun lalu sekitar 8.000 pengaduan. Tahun 2015 antara 7.500-8.000 pengaduan. Namun itu belum disaring, mana yang benar- benar kasus pelanggaran HAM. Banyak data yang masuk, bukan kasus pelanggaran hak asasi, namun masalah hukum biasa. Itu harus diselesaikan oleh lembaga lain. Misalnya ada yang berkaitan dengan administrasi dan pemerintahan.
Masyarakat awam menganggap Komnas HAM absen dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Bagaimana mengatasi anggapan tersebut?
Kami memiliki jalan keluar. Misalnya untuk Papua, kami berpikir untuk membuat suatu forum bersama yang melibatkan berbagai elemen, baik dari kalangan perguruan tinggi, tokoh agama, politik, masyarakat sipil di dalam maupun luar Papua. Tim bersama mendapat penguatan dari presiden, supaya tidak lagi menyelesaikan kasus demi kasus. Kasus itu muncul terus.
Kami bersama-sama menangani semua persoalan, termasuk masalah agraria. Komnas HAM juga mendorong pemerintah untuk menyetujui usulan kami agar ada semacam suatu tim nasional yang melibatkan hal itu. Karena masalah agraria banyak berhubungan dengan persoalan hutan, badan pertanahan, dan lain sebagainya. Hal yang paling pokok adalah mempersiapkan kebijakankebijakan nasional yang terkait dengan reforma agraria. Tugas yang tidak kalah pentingnya adalah menyelesaikan berbagai macam kasus agraria yang jumlahnya ratusan, bahkan ribuan.
Selain yang telah Anda jelaskan tadi, Komnas HAM sedang mengerjakan penyelidikan atau mendorong penyelesaian kasus apa?
Aceh kami kejar laporannya karena baru dua yang selesai, tiga belum diserahkan ke kejaksaan. Kami ingin bertemu dengan presiden untuk menjelaskan gambaran situasi HAM kita. Presiden dalam Nawacita-nya jelas memasukkan isu HAM, termasuk pelanggaran HAM berat masa lalu menjadi salah satu program yang akan diselesaikan.
Kami ingin agar hal ini ada solusinya. Bahwa kemudian Presiden butuh waktu, ya tidak apa-apa, akan tetapi ada roadmap yang disiapkan bersama-sama. Nah, di sinilah peran Komnas HAM. Pemerintah, aparat penegak hukum juga mengambil peran dalam penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia.
Kalau tidak ada jalan keluarnya bagaimana?
Kalau tidak ada jalan ke luarnya, hanya akan terjadi perang wacana di media. Itu menimbulkan ketegangan sosial. Kami khawatir, jika ketegangan sosial ini tidak diselesaikan dengan menuntaskan masalahnya, pada 2018 ada Pilkada, 2019 ada Pilpres, pasti akan “meledak” lagi.
Pandangan kami, mengaitkan persoalan ini dengan tahun politik 2018 dan 2019. Kami benar-benar sangat khawatir jika tidak ada langkah-langkah yang jelas dari para pihak, untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dan kasus lainnya, akan tumpah ruah pada tahun politik ini, terutama 2019. Yang terjadi, bukan kita keluar dari masalah, justru akan berantem di tengah-tengah masalah itu dengan distorsi politik yang luar biasa.
Apa kesulitannya dalam penyelesaian persoalanpersoalan tersebut?
Menurut saya tantangannya adalah kemauan untuk menyelesaikan masalah dan kemampuan untuk melihat dari berbagai perspektif. Tidak datang dengan menyatakan bahwa para pihak itulah paling korban atau paling dirugikan. Padahal sebenarnya peristiwanya kompleks, pelakunya juga dari bermacammacam visi.
N-3