Pada 95 tahun silam Raden Mas Soewardi Soerjaningrat mendirikan lembaga pendidikan Taman Siswa. Tempat belajar ini memberikan ruang bagi jelata. Kala penjajahan Belanda, hanya mereka yang berdarah biru, priyayi yang bisa menikmati pendidikan. Anak-anak jelata calon buruh tani itu dipandang tak ada guna diberi pengajaran.
Soewardi yang belakangan dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara memperkenalkan patrap triloka atau tiga semboyan di dunia pendidikan. Yang di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, dan yang dibelakang memberi dukungan atau tut wuri handayani. Tiga hal yang sangat relevan hingga saat ini. Bukan hanya di pendidikan, tapi juga di semua lini.
Lihat misalnya aksi sekelompok orang pada peringatan hari buruh kemarin di Jakarta. Teladan apa yang hendak ditunjukkan dengan aksi bakar rangkaian bunga untuk Ahok-Djarot? Aksi ini justru mencederai perjuangan kelompok buruh yang disuarakan lewat May Day. Mulai dari soal outsourcing, magang, sampai catatan hitam lainnya yang masih dialami buruh. Tuntutan yang diperjuangkan, yang penting bagi hajat hidup buruh, justru seperti teredam lantaran aksi bakar-bakaran ini.
Provokasi semacam itu tentu bukan teladan. Tak hanya menyulitkan petugas kebersihan, yang juga buruh, ini jelas bukan aksi simpatik untuk memperjuangkan hak-hak pekerja.
Buah perjuangan Ki Hajar Dewantara sudah kita rasakan. Pendidikan bisa diperoleh siapa pun. Dan negara terikat kewajiban untuk memenuhi hak warga negara ini. Pendidikan sedianya mengajarkan soal suri tauladan, juga mencegah pembodohan. Jangan sampai juga motivasi kepentingan politik membuat kita mudah dibodohi