Chicago, bulan Mei, abad ke-19. Ratusan ribu buruh di sana turun ke jalan. Desakan mereka adalah 8 jam kerja, 8 jam istirahat dan 8 jam rekreasi. Di tengah demonstrasi para buruh, empat orang ditembak mati oleh polisi. Inilah yang kemudian mendorong dunia memperingati 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional atau May Day.
Dan ini yang kita rasakan sampai sekarang: delapan jam kerja. Itu tak akan terjadi tanpa perjuangan penuh darah dan air mata berabad sebelumnya. May Day adalah perlawanan, dan pengingat akan perlawanan itu. Apalagi hingga sekarang, situasi yang dihadapi para buruh masih buruk.
Catatan Hitam Buruh Perempuan, misalnya, mencatat negara telah ikut menjadi pelaku kekerasan dan pelanggaran hak terhadap buruh – khususnya buruh perempuan. Kemudahan investasi dan usaha yang dilakukan pemerintah bagi para pengusaha, ternyata justru meminggirkan kesejahteraan buruh. Hal lain yang secara rutin menjadi sorotan dalam Hari Buruh adalah sistem kerja kontrak dan outsourcing yang menghantui buruh dengan ketakutan akan PHK. Ini masih ditambah lagi dengan tindakan represif terhadap buruh yang memperjuangkan hak mereka atau upah murah.
Yang juga ikut menyumbang keburukan adalah kesenjangan ekonomi dan pendapatan yang kian lebar. Lembaga riset Oxfam menyebut, jumlah kekayaan 4 orang kaya di Indonesia setara dengan jumlah kekayaan 100 juta penduduk Indonesia. Kebijakan pemerintah masih banyak yang belum memihak pada buruh, ikut serta juga menyumbang pada ketimpangan tadi.
Buruh bukan sekadar angka statistik. Buruh adalah manusia yang wajib dihargai atas kerjanya. Karena buruh adalah kita.