Jakarta (ANTARA) – Sutradara Mouly Surya menuturkan Indonesia butuh lebih banyak sutradara perempuan untuk memberikan sudut pandang baru dan menyampaikan suara mereka melalui karya seni. Dengan memberikan perspektif baru dari sudut pandang kaum Hawa, perempuan dalam film tak melulu terjebak dalam stereotipe karakter lemah yang butuh penyelamat.
“Ketika perempuan punya suara, kita bisa mengubah sudut pandang masyarakat, dan saya kira itu artinya penonton juga akan turut meyakininya,” kata Mouly dalam perbincangan daring Asia Lounge yang diadakan The Japan Foundation Asia Center & Tokyo International Film Festival, Kamis.
Mouly Surya berbincang dengan sutradara Yang Yonghi, generasi kedua penduduk Jepang beretnis Korea, di seri diskusi di mana sutradara-sutradara Asia berdialog mengenai berbagai topik.
Sutradara Yang sepakat dengan pernyataan Mouly, dia menimpali industri perfilman di Jepang juga butuh hal yang sama. Setelah melewati fase transformasi, kini ada banyak sutradara perempuan di Negeri Sakura.
Namun tetap ada anggapan perempuan di industri film sulit untuk tetap bekerja dan punya karier yang panjang karena pada akhirnya akan sibuk mengurus rumah tangga setelah berkeluarga.
“Tapi saya pikir tidak cukup (jumlah sutradara perempuan di Jepang), dan bukan cuma sutradara, saya ingin ada lebih banyak perempuan di berbagai profesi dalam industri, seperti fotografer hingga produser,” kata sutradara “Our Homeland”, “Sona, the Other Myself” dan “Dear Pyongyang”.
Baca juga: Enam film Indonesia ini tayang terbatas di laman Festival Film Locarno
Baca juga: Jessica Alba akan bintangi film Netflix garapan sutradara Indonesia
Sutradara “Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak”, peraih predikat Film Cerita Panjang Terbaik di Festival Film Indonesia 2018 juga menuturkan pengalamannya sebagai perempuan yang berprofesi sebagai sutradara di Indonesia.
Saat awal berkarier, Mouly menganggap tidak ada label “sutradara perempuan”, karena baginya sutradara adalah sutradara, tak peduli apa jenis kelaminnya.
“Saya baru menyadari saya ‘sutradara perempuan’ setelah membuat film pertama,” tutur Mouly dalam bahasa Inggris yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang untuk para penonton daring.
Di sisi lain, ide “Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak” diberikan oleh Garin Nugroho kepadanya untuk digarap sehingga menghasilkan film dengan sentuhan perempuan, sesuai dengan perspektif film itu.
Garin pernah mengatakan di Festival Film Tokyo 2018, “Marlina” adalah cerita favoritnya, cerita yang paling ia sukai, tapi penting untuk dibuat dalam sudut pandang perempuan.
Mouly pada akhirnya tidak mempermasalahkan lagi soal label tersebut. Malah dia sering menerima respons positif dari para perempuan yang terinspirasi mengikuti jejaknya sebagai sutradara setelah “Marlina”, film yang mewakili Indonesia pada perhelatan Academy Awards 2019, tayang,
“Saya jadi merasa punya tanggung jawab,” kata Mouly.
Pada umumnya, perempuan di Indonesia dibesarkan tengah anggapan di mana laki-laki dianggap lebih laik jadi pemimpin. Ini juga mempengaruhi mentalitas siswi-siswi yang cenderung kurang percaya diri, misalnya bicara di depan banyak orang, hal yang ditemui Mouly saat mengajar di sekolah film.
Baca juga: Film Marlina wakili Indonesia di Oscar 2019
Baca juga: Mouly Surya adaptasi buku Mochtar Lubis ke film
“Saya juga mengalami ini di awal berkarier, saya dulu tidak punya kepercayaan diri untuk membuat keputusan untuk semua orang, karena saya tidak terbiasa,” katanya.
Merintis karier di industri perfilman juga tantangan yang dialami perempuan. Setelah berhasil menembus industri, ada lagi tantangan baru: bujet. Masih ada anggapan bahwa sutradara perempuan takkan berhasil mendulang lebih banyak keuntungan dibandingkan perempuan.
“Lelaki lebih dipercaya dan mereka memberikan lebih banyak uang kepada lelaki meskipun pengalamannya lebih sedikit dibandingkan sutradara perempuan yang juga ikut pitching dalam proyek,” ujar dia.
Sementara itu, sutradara Yang Yonghi mengemukakan kendala yang dialaminya ketika berkarya adalah karena dia memasukkan latar belakangnya ke dalam film. Yang Yonghi adalah warga Jepang keturunan Korea, etnis minoritas terbesar di sana.
Film pertamanya, “Dear Pyongyang”, adalah dokumenter mengenai keluarganya. Pada 1970-an, ayah Yang mengirimkan tiga putranya dari Jepang ke Korea Utara dalam program repatriasi. Sebagai putri satu-satunya, hanya Yang yang tetap tinggal di Jepang.
Ketika situasi ekonomi di Korea Utara memburuk, nasib saudara-saudara lelakinya di sana bergantung kepada paket bantuan dari orangtua mereka.
“Dear Pyongyang” menampilkan Yang mengunjungi saudaranya di Pyongyang, juga perbincangan dengan sang ayah mengenai kepercayaan ideologi, dan penyesalannya karena membuat keluarga mereka terpisah. Film ini mendapatkan Special Jury Award di Festival Film Sundance dan NETPAC Award di Berlinale.
Baca juga: Sineas papan atas Asia akan terlibat di HOOQ Filmmakers Guild 2018
“Ada empat, lima atau enam generasi Korea Utara di Jepang, tapi tidak banyak yang tahu betul mengenai hal itu. Jadi saya harus selalu menjelaskannya ke semua orang sepanjang waktu,” ujar Yang Yonghi yang belajar di Korea University, Tokyo serta New School University, New York.
Menurut dia, perlu ada lebih banyak buku dan film mengenai hal tersebut sehingga generasi muda bisa lebih memahami film bertema keturunan Korea Utara di Jepang, atau program repatriasi yang membuatnya terpisah dari saudara kandungnya.
“Sekarang usia saya di atas 50 tahun, jadi saya kira ini semacam tugas hidup saya.”
Benang merah yang sama hadir dalam film drama “Our Homeland” (2012) mengenai pria Korea yang mengunjungi keluarganya Jepang setelah lama diasingkan di Korea Utara.
Mouly berkomentar, film tersebut merebut hatinya dan membuatnya memahami lebih dalam mengenai seluk-beluk kehidupan keturunan Korea di Jepang.
“Ceritanya sangat berbeda, tapi familier karena kita bisa merasa dekat dengan keluarga di film itu.”
Yang menimpali, meski “Our Homeland” dan “Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak” adalah dua film dengan tipe berbeda, ada kesamaan dari karakter perempuan yang ditampilkan.
Dalam “Our Homeland”, tokoh Rie yang diperankan aktris Sakura Ando memberontak dari budaya patriarki di keluarganya, di mana perempuan harus mematuhi lelaki dan dilarang membangkang.
“Di filmku dan filmmu, ada karakter perempuan yang memberontak melawan kekuasaan yang lebih besar karena mereka ingin jadi diri mereka sendiri,” kata Yang.
Dia melanjutkan, Marlina memenggal kepala pria bukan karena dia menginginkannya, tapi untuk menjaga dirinya. Sementara di filmnya, tokoh Rie setia kepada perasaannya, dia tidak hidup mengikuti kemauan masyarakat atau negara, dia tetap loyal untuk dirinya sendiri
“Jadi jujur dan loyal kepada diri sendiri adalah kesamaan antara karakter di film saya dan di film Anda,” imbuh Yang.
Baca juga: Mouly Surya dan Joko Anwar jadi juri HOOQ Filmmakers Guild musim kedua
Baca juga: Film Marlina tayang di Amerika Serikat
Baca juga: Bila Mouly Surya ditawari membuat reproduksi film G30S/PKI
Oleh Nanien Yuniar
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
COPYRIGHT © ANTARA 2020