in

Anasrizal “Konveksi Tas Baceno”, Modal Rp 175 Ribu: Nyaris Gulung Tikar!

UMKM: Suasana di luar toko konveksi tas Baceno milik Anasrizal di Jalan Ir H Juanda No 51 Kota Padang, kemarin.(SUYUDI/PADEK)

Perjuangan keras dan dukungan penuh keluarga kunci kesuksesan. Itulah yang dirasakan Anasrizal. Pelaku pemilik konveksi Tas Baceno yang memulai usaha dengan modal Rp 175 Ribu ini, sekarang mampu hasilkan Rp10 juta perbulan. Bagaimana perjuangannya?

Tempat usaha konveksi tas dengan merek Baceno di Jalan Ir H Juanda No 51 Kota Padang, tampak begitu sepi dari pengunjung. Namun begitu, deru mesin jahit terdengar cukup jelas hingga bagian halaman dari tempat usaha tersebut. Tentunya, deru mesin jahit itu menandakan bahwa orderan tas di Baceno cukup banyak.

“Alhamdulillah, orderan sudah mulai banyak dan saya bisa kembali mempekerjakan 3 orang tukang jahit. Waktu pandemi Covid-19 kemarin agak berat, nyaris gulung tikar. Karena, tidak ada pemasakukan sama sekali. Omzet nol rupiah. Bahkan ketika itu, saya terpaksa merumahkan semua pekerja yang jumlahnya 7 orang,” kata Anasrizal, pemilik konveksi tas Baceno, Senin.

Meski saat pandemi usahanya nyaris gulung tikar, tapi pria yang akrab disapa Anas itu tak menyerah. Ia tetap berusaha mempertahankan eksistensi konveksi miliknya yang dirintis sejak 1988 itu.

“Selama pandemi, pesanan tas pada umumnya untuk anak sekolah, jumlahnya tidak banyak. Dan itu, saya sendiri yang buat, karena semua pekerja dirumahkan,” ujarnya.

Selain konveksi, pria asal Sungailimau Padangpariaman ini juga fokus mengelola usaha kuliner sarapan pagi dan rumah makan, yang berada di samping usaha konveksinya. Usaha kuliner itu dirintis sejak 2015. Itu terwujud dari hasil kerja kerasnya mengembangkan usaha konveksi tas.

Menurutnya, jika tidak ada usaha kuliner ini, bisa dipastikan usaha konveksi tasnya sudah bangkrut. Sebab, sebagian besar pelanggan konveksinya adalah instansi pemerintahan dan swasta yang mengadakan seminar.

“Selama pandemi, tidak ada instansi yang mengadakan seminar. Makanya, sangat terasa sekali dampaknya. Untung saja ada usaha kuliner ini, jadi hasil usaha kuliner ini bisa untuk kebutuhan sekeluarga,” bebernya.

Belajar Dari Kakak

Sebelum menjadi pengusaha konveksi yang terbilang cukup sukses, Anas sempat bekerja dengan kakak kandungnya yang juga pengusaha konveksi di Ulakkarang selama 10 tahun, yaitu sejak 1978-1988.

Waktu satu dekade bekerja menjadi anak buah dari saudaranya itu, kemampuan Anas membuat tas kian terasah, hingga akhirnya di penghujung 1987, timbulah keinginan untuk merintis usaha konveksi sendiri.

“Keinginan itu juga didorong oleh sang kakak yang menjadi inspirasi bagi dirinya untuk maju dan mandiri, termasuk istri saya Yusni Mardalena,” ujarnya.

Untuk itu, ia pun mulai menyisihkan pendapatannya sedikit demi sedikit hingga akhirnya di pertengahan 1998, tabungannya pun mencapai Rp175 ribu. Uang sebesar itu nilainya cukup besar ketika dan cukup untuk memulai usaha konveksi dengan skala kecil.

Anas kemudian menyewa sepetak rumah di Jalan Bahari, Kampuangtangah, Ulakkarang, yang dijadikan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat usaha konveksi. “Untuk mesin jahit ketika itu saya sudah punya. Saya beli ketika masih bekerja di tempat konveksi kakak saya. Untuk tipe mesinnya masih “dangdut”, yaitu digerakkan dengan menggoyangkan kaki,” ungkapnya.

Meski sudah memproduksi tas sendiri, ternyata tak mudah untuk memasarkannya. Bahkan ketika dijual ke Pasar Raya Padang, tak satu pun ada toko tas yang berminat. Berbagai alasan secara halus, diungkapkan pemilik toko untuk menolak tas yang diproduksinya.

“Pemilik toko tak mau beli tas saya. Katanya sudah punya langganan konveksi,” ungkapnya.

Anas pun kembali mendatangi beberapa toko tas di Pasar Raya Padang. Namun untuk kedatangan kali itu, harga tas yang ditawarkan kepada pihak toko jauh di bawah harga normal. “Saya tawarkan satu lusin itu Rp50 ribu, dan ada lima lusin yang saya punya. Ternyata ada yang berminat,” ungkapnya.

“Dari Rp50 ribu per lusin, saya dapat Rp2000 untuk satu tas. Itu hanya upah dan bukan untung. Hal itu terpaksa saya lakukan agar tas terjual, karena saya juga butuh uang untuk biaya makan keluarga,” ungkap bapak tujuh orang anak itu mengenang.

Anas menyebut, sepanjang perjalanan dari pasar ke rumah, dirinya terus merenungkan nasib yang tak kunjung berubah, meskipun sudah memulai usaha konveksi sendiri. Setiba di rumah, ia pun mengatakan kepada istrinya untuk kembali bekerja di tempat usaha konveksi kakaknya.

Namun, istrinya menolak dan meminta dirinya untuk terus berusaha lebih keras lagi. Tak hanya itu, istrinya juga marah mendengar adanya keinginan untuk kembali menjadi anak buah di tempat konveksi, meskipun konveksi tersebut miik kakaknya.

“Bapak harus semangat, karena anak-anak sudah mulai besar. Kita harus bangkit pak. Biaya kebutuhan besar dan kita harus maju pak,” kata Anas menirukan motivasi istrinya yang tertanam kuat dalam ingatannya.

Usaha istri mencari langganan pun membuahkan hasil. Usaha konveksinya pun perlahan-lahan mulai bangkit. Meski tak berkembang, tapi sebagian dari hasil usaha tersebut dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari.

Namun di pertengahan 1989, usaha yang baru mulai bangkit itu kembali diterpa persoalan pendapatan yang tak sesuai dengan kebutuhan, hingga akhirnya Anas terpaksa menjadi pelaku usaha konveksi musiman.

“Saya buat tas hanya ketika tahun ajaran baru sekolah. Di luar itu, saya kembali bekerja dengan kakak saya. Maklum, ketika itu saya masih gamang untuk mandiri, meskipun istri sudah memotivasi dan juga ikut membantu saya untuk mencari toko tas langganan yang menampung tas yang saya produksi. Tapi, saya harus kembali bekerja dengan kakak saya untuk bisa bertahan,” ucap Anasrizal.

Jadi UMKM Binaan Semen Padang

Di samping adanya kerja sama dengan distributor, Anas juga dituntut untuk terus mengembangkan usahanya, karena permintaan dari bulan ke bulan terus meningkat. Namun untuk mengembangkan usaha tersebut, Anas butuh modal yang cukup besar.

Anas sempat mencoba mengajukan pinjaman ke berbagai bank. Karena proses pinjaman yang cukup rumit, keinginan untuk mendapatkan pinjaman modal usaha pun sulit didapat.
Tahun 2003, Anas kemudian mendapat informasi adanya pinjaman modal usaha dari CSR PT Semen Padang.

Sayangnya, Anas tidak tahu bagaimana cara mendapatkannya. Pelaku usaha yang mengaku mendapat pinjaman modal dari CSR Semen Padang, juga enggan memberi petunjuk kepadanya.

Namun, namanya rezeki sudah ada yang mengatur, awal 2004 Anas bertemu dengan seorang karyawan PT Semen Padang bernama Syafrizal yang merupakan teman sekolah adiknya.

“Saya bertemu Syafrizal saat dia hendak makan siang di dekat usaha konveksi saya ini. Kemudian, saya disapanya dan diajak makan. Saya menolak ketika itu. Setelah usai makan, Syafrizal mendatangi saya dan ngobrol-ngobrol,” ujarnya.

Anas kemudian menanyakan kepada Syafrizal kerjanya di mana. Kemudian dia jawab di PT Semen Padang, sehingga dirinya langsung menanyakan soal program pinjaman modal usaha di CSR Semen Padang.

Gayung bersambut, ternyata Syafrizal merupakan orang yang tepat di saat dirinya sedang membutuhkan pinjaman dana untuk memodali usahanya. Sejak 2004 hingga sekarang, sudah lima kali Anas mendapatkan pinjaman modal usaha dari CSR Semen Padang.

Pinjaman pertama sebesar Rp7 juta dengan lama cicilannya 2 tahun. Semua pinjaman dimanfaatkannya untuk beli bahan tas. Begitu modal usaha sudah ada, hubungan kerja sama Anas dengan distributor tas di Pasar Raya pun juga berakhir.

Namun di balik itu, pesanan pembuatan tas untuk seminar dari berbagai instansi pun mulai meningkat. Hanya dalam waktu 19 bulan, Anas pun melunasi pinjamannya.

“Begitu lunas, saya pun kembali mengajukan pinjaman untuk periode kedua dengan besar modal yang dipinjaman CSR Semen Padang sebesar Rp15 juta. Kata pihak CSR Semen Padang ketika itu, saya bisa dapat pinjaman modal Rp15 juta, karena grafik usaha saya cukup bagus. Saya pun senang,” imbuhnya.

Seiring pendapatan meningkat dan bertambahnya jumlah pinjaman, usaha konveksi Anas juga kian berkembang. Pesanan dari berbagai intansi dan toko tas pun juga makin meningkat.

Sehingga Anas kembali mengajukan pinjaman ke CSR Semen Padang untuk ketiga kalinya. Jumlahnya mencapai Rp30 juta. Setelah lunas, ia pun kembali mengajukan pinjaman sebesar Rp40 juta, dan Rp50 juta untuk tahap kelima.

Sering bertambahnya pinjaman, jumlah pekerja pun juga ikut bertambah menjadi 10 orang. Semua pekerjanya merupakan orang kampungnya di Sungai Limau. Untuk pendapatan bersih dari usaha konveksi ini, rata-rata Rp10 juta per bulan.

“Alhamdulillah, ini berkat bantuan CSR Semen Padang. Karena tidak hanya pinjaman modal yang diberikan, saya pun juga diberikan pelatihan manajemen keuangan oleh CSR Semen Padang,” pungkasnya. (cr1)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Sisi Negatif Lima Zodiak yang Tak Suka Lihat Orang Lain Senang

Mahfud Sesalkan Adanya Lempar Tanggung Jawab dalam Tragedi Kanjuruhan