Upaya Efisiensi lewat Model Serentak Belum Berhasil
Model pilkada serentak ternyata belum bisa menekan besarnya pengeluaran daerah dalam membiayai hajatan politik lima tahunan itu. Banyak pemerintah daerah yang mengeluh. Akibatnya, penandatanganan naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) banyak diwarnai tarik-ulur.
Kasubdit Fasilitasi Kepala Daerah Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri Andi Bataralifu menyatakan, struktur ruang fiskal daerah saat ini sangat sempit. Sebab, rata-rata belanja rutin pegawai sudah mencapai 55 persen. Sekitar 45 persen sisanya digunakan untuk enam layanan dasar.
Di antaranya, pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; serta anggaran sosial. Padahal, pendidikan saja sudah 20 persen, kemudian kesehatan 10 persen. ”Sisanya 15 persen untuk empat lainnya. Lalu, ada anggaran pilkada yang harus dialokasikan,” ujarnya di Hotel Mercure, Jakarta, kemarin (7/11).
Akibatnya, tidak sedikit daerah yang perlu memutar otak sekeras mungkin untuk menyiasati sempitnya ruang fiskal tersebut. Bahkan, ada di antaranya yang nyaris tidak bisa beraktivitas banyak karena APBD mereka tersedot untuk pilkada. ”KPU juga, mereka mengatakan, kalau tidak dianggarkan, ya tidak ada pilkada,” imbuhnya.
Kondisi itu diperparah dengan faktor kepentingan politik kepala daerah. Jika berstatus calon petahana, kepala daerah kerap kali memainkan kebutuhan sesuai kepentingannya. Karena itu, dalam revisi UU Pilkada sebelumnya, Kemendagri mengusulkan agar pendanaan pilkada dialihkan melalui APBN. Namun, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menolak cara tersebut.
Ketua Tim Kajian Pusat Pembangunan dan Keuangan Daerah Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendagri Siti Aminah menambahkan, dana pelaksanaan pilkada terus mengalami kenaikan. Bahkan, peningkatannya cukup tajam dari lima tahun sebelumnya.
Pilkada Kota Batu, misalnya. Selisih antara Pilkada 2012 dan 2017 sangat signifikan. Dari yang awalnya Rp 7,5 miliar menjadi Rp 12,7 miliar. ’’Dalam kurun lima tahun, kenaikannya sampai 59 persen,” ujarnya.
Sementara itu, Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengungkapkan, selain karena inflasi, tingginya biaya pilkada disebabkan asumsi penyusunan anggaran. Misalnya, untuk pencalonan, pihaknya kerap mengasumsikan sampai enam calon. ”Tapi, rata-rata jumlah calon hanya dua sampai tiga. Bahkan, ada yang hanya satu calon. Artinya, anggaran yang direncanakan maksimal itu akhirnya tidak terserap dan dikembalikan,” jelasnya.
Selain itu, perubahan aturan yang mengalihkan kebutuhan kampanye ditanggung negara ikut memengaruhi. Meski demikian, bukan berarti tidak ada kesempatan efisiensi. Saat ini KPU sedang menggodok pemutakhiran data pemilih berkelanjutan. Dengan adanya cara tersebut, biaya pencocokan dan penelitian yang biasanya memakan anggaran besar bisa ditekan. (*)
LOGIN untuk mengomentari.