Damai, Jakarta Menunjukkan Kematangan Berdemokrasi
DKI Jakarta memiliki pemimpin baru. Pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno memenangi putaran kedua pemilihan gubernur kemarin (19/4). Berdasar hasil quick count berbagai lembaga survei, mereka mengalahkan pasangan petahana Basuki T Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat dengan skor telak.
Lembaga survei Indikator misalnya, menempatkan pasangan Anies-Sandi dengan perolehan suara 57,89 persen. Sedangkan Ahok–Djarot hanya 42,11 persen dengan total suara masuk 100 persen. Begitu juga Indo Barometer, Anies–Sandi 58,50 persen dan Ahok–Djarot 41,50 persen jgua 100 persen suara.
Direktur Eksekutif Median, Rico Marbun dalam rilis yang diterima koran ini menyimpulkan Anies–Sandi dapat limpahan suara Agus–Sylvi. Pihaknya memastikan Anies–Sandi menang dengan perolehan suara sekitar 57, 88 persen. “Sudah 90 persen data. Tidak akan ada perubahan signifikan,” ucap dia.
Dia juga melihat kemenangan Anies–Sandi merupakan efek kejut dari kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Ahok. Masalah yang berawal dari tafsir-menafsir Al-Maidah ayat 51 memang terus di permukaan sampai dengan jelang coblosan pilgub DKI.
Peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby mencatat, ada setidaknya lima penyebab kekalahan incumbent. “Pertama kesamaan profil pemilih,” ucap dia. Banyak pendukung dan partai pengusung Agus–Sylvi yang menurutnya mengalihkan pilihan ke Anies–Sandi. Penyebab selanjutnya kebijakan yang tidak pro rakyat.
Dia mencontohkan penggusuran dan proyek reklamasi Teluk Jakarta yang sarat masalah. Lalu, ada sentimen anti-Ahok. “Karena isu agama dan primordial. Ahok dianggap tak pas karena bukan pemeluk agama mayoritas warga DKI,” katanya.
Penyebab keempat adalah sikap kasar dan arogan yang melekat di diri Ahok. Karena terkenal kasar dan arogan, Ahok dianggap bukan tipe pemimpin yang dibutuhkan ibu kota.
Penyebab terakhir adalah alternatif pilihan yang mendapat tempat di hati mayoritas warga karena berbagai sebab. Bukan hanya Anies–Sandi, Agus–Sylvi juga dianggap alternatif yang menarik perhatian banyak warga DKI.
Akui Kekalahan
Meski belum ada keputusan resmi KPU, Ahok-Djarot sudah mengakui kekalahan sore kemarin. Keduanya bahkan menggelar konfrensi pers dan mengucapkan selama kepada Anies-Sandi. Dengan kekalahan itu, Ahok-Djarot meninggalkan banyak proyek bombastis yang belum sepenuhnya rampung.
Di antaranya, ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA). Memang, program RPTRA itu baru ada sejak kepemimpinan Ahok. Hingga saat ini, DKI sudah memiliki 186 RPTRA yang tersebar di beberapa wilayah ibu kota.
Pembangunan RPTRA tidak semuanya menggunakan APBD DKI. RPTRA Kalijodo misalnya. Pembangunan RPTRA yang kini menjadi tempat wisata dibangunkan oleh pengembang Sinarmas Land. Banyak warga yang menyambut baik adanya RPTRA tersebut.
Makanya, Ahok merencanakan pembangunan RPTRA yang mirip Kalijodo di TB Simatupang, Jakarta Selatan. Sebelum pemilihan, Ahok bahkan menyempatkan diri meninjau lokasinya.
Kemudian Jakarta Creative Hub. Lagi-lagi, programnya mengandalkan dana pengembang. Program ini belum sepenuhnya berjalan, dan tidak ada yang tahu kelanjutannya.
Selain menyiapkan berbagai fasilitas, Ahok juga meningkatkan kesejahteraan warga Jakarta dengan cara perekrutan pasukan. Tak tanggung, jumlahnya mencapai ribuan.
Ada pasukan oranye atau PPSU, pasukan merah untuk bedah rumah, pasukan ungu untuk menjangkau penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), pasukan putih untuk petugas kesehatan, dan pasukan biru untuk membersihkan saluran air.
Kebijakan Ahok itu juga tidak hanya berlaku bagi petugas non PNS. Sejak dipimpin Ahok, PNS DKI paling rendah bahkan mengantongi penghasilan Rp 13 juta per bulannya dengan adanya tunjangan kinerja daerah (TKD).
Kemudian Ahok memperbaiki sistem transportasi Jakarta. Mulai dari memperbanyak unit busway, menyiapkan bus gratis dan bus tingkat. Sistemnya juga jauh lebih mudah dengan e-ticketing.
Namun, ada program yang belum berhasil dijalankannya. Yakni, kapal Transjakarta untuk melayani warga ke Kepulauan Seribu dan kereta Transjakarta. Dia berjanji akan melaksanakan program itu jika warga Jakarta memperpanjang kontraknya memimpin ibukota.
Selain busway, Ahok juga sedang membangun mass rapid transit (MRT) dan light rail transit (LRT). Hal itu untuk mempermudah warga Jakarta melaksanakan aktivitasnya. Bahkan, dia berencana membangunkan flat di beberapa stasiun dan depo transportasi massal berbasis kereta itu.
Lantaran MRT dan LRT belum rampung, Ahok mengeluarkan kebijakan ganjil genap untuk mengatasi kemacetan arus lalu lintas Jakarta. Program ini menggantikan program 3 in 1 yang dinilai merusak generasi bangsa.
Pasalnya, banyak orang tua yang memanfaatkan anaknya menjadikan joki dengan memberikan obat bius. Selain itu, ada kebijakan lintasan motor di jalan yang padat, di lokasi penerapan 3 in 1 maupun ganjil genap.
“Jabatan kami sampai Oktober kok. Selesai (pilkada) ini kami masih kerja. Semalam saja saya masih kerja, masih siapin pembelian barang-barang untuk kesehatan,” kata Ahok saat menyampaikan pidato setelah seluruh quick count dirilis.
Janji Lanjutkan Program Pro Rakyat
Lantas apa saja yang akan dilakukan Anies–Sandi ketika jadi pemimpin DKI? Ketua Tim Relawan Anies–Sandi, Boy Bernadi Sadikin menyatakan, ada visi dan misi yang sangat baik.
Program unggulan pasangan itu di antaranya Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus, Kartu Jakarta Sehat (KJS) Plus, pelatihan kewirausahaan melalui OKE OC, sistem transportasi OKE O-Trip, jaminan tempat tinggl melalui Rumah DP 0 Rupiah, dan dokter keliling.
“Pesan saya buat Pak Anies–Sandi, jangan lupa janji-janjinya,” ucap Boy ketika diwawancarai di Rumah Perubahan Ali Sadikin, kemarin.
Sementara itu, ada berbagai program kerja peninggalan Ahok–Djarot. Dalam berbagai kesempatan Anies–Sandi menyampaikan akan melanjutkan semua program yang tidak bertentangan dengan kehendak rakyat. Misalnya KJP dan KJS.
Bisa jadi Contoh
Lancarnya pelaksanaan Pilgub Jakarta, menurut Ketua KPU Arief Budiman, potret tersebut menandakan dinamika demokrasi dan politik masyarakat yang mulai dewasa. Sebab, sepanas apapun perbedaan dukungan yang ada, semua mereda ketika sudah diketahui calon pemenangnya.
“Semua kemudian saling menghormati, dua-duanya? bisa bersalaman, dan publik pun bisa menerima itu,” ujarnya di Kantor KPU RI, Jakarta (19/4).
Untuk itu, dalam segi kedewasaan politik, Arief menilai fenomena yang hadir dalam Pilkada DKI Jakarta bisa menjadi contoh untuk Pilkada 2018 mendatang. Bagaimana masyarakat bisa saling menghormati apa yang menjadi kehendak sebagaian besar orang.
“Saya juga berharap pada saatnya nanti, KPU sudah mengeluarkan secara resmi hasilnya, publik juga bisa menerima,” imbuhnya.
Terpisah, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo meminta gubernur DKI terpilih untuk mampu menyelaraskan program strategis nasional. “Membangun sinergi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sepenuhnya,” ujarnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.