in

Antara Cek Mad, Imran dan “Jurnalis Senior”

Andaikan tidak ada satgas Banta Seudang, sungguh Bustami sudah mendapatkan tinju bangkahulu dari Imran–seorang kader PA yang sering mengaku sebagai eks kombatan GAM–. Peristiwa itu terjadi saat Bustami (ia wartawan aceHTrend) meliput deklarasi lembaga Banta Seudang–lembaga pemenangan kandidat yang diusung PA untuk Pilkada 2017– di lapangan sepakbola Krueng Geukuh, Lhokseumawe, Rabu (9/11/2016). Pada akhirnya jurnalis muda itupun hengkang dari lokasi acara, karena merasa tidak nyaman dengan aksi premanisme Imran di muka publik.

Terlepas dari latar belakang masalah keduanya, aksi Imran mencoba menyerang fisik seseorang tidak pernah dibenarkan oleh hukum. Arogansi lelaki tersebut membahayakan keselamatan orang lain. Ditambah lagi bahwa Bustami adalah wartawan dan saat diserang, ia sedang meliput kegiatan. Ia sedang menjalankan tugas. Segala resiko yang dialaminya ketika sedang bekerja berada di bawah tanggung jawab media aceHTrend.

Saya tentu marah. Apa yang dilakukan terhadap wartawan saya merupakan bentuk perilaku ketidakberadaban pelaku. Konon lagi, usai melakukan aksinya, pelaku masih mencoba mengadu domba dengan mengatakan bahwa Bustami selama ini wartawan provokator dan anti terhada PA dan KPA. Ini bentuk provokasi yang sangat berbahaya. Karena saya yakin masih banya orang yang korslet kawat, termakan isu murahan si Imran yang kemudian melakukan tindak kekerasan terhadap Bustami.

Bila itu terjadi, sungguh perkaranya akan lain. Bila saja sesuatu terjadi terhadap Bustami, Insya Allah, akan ada yang akan meraung minta ampun.

Alhamdulillah, dalam kondisi yang sedang panas, Cek Mad, calon Bupati Aceh Utara yang diusung PA segera menelpon Pimpinan Umum aceHTrend, Risman A. Rachman. Ia meminta maaf dan mengatakan bahwa apa yang dilakukan Imran di luar sikap yang seharusnya.

Kami di redaksi menyambut inisiatif baik itu dengan tangan terbuka. Bagi kami, bersatu dalam bingkai persaudaraan lebih penting daripada berseteru. Apalagi dari nada Cek Mad bicara, ia nampak tulus meminta maaf. Tak ada kesan “sopan santun politik” di dalamnya. Kami menghargai itu.

Tiba-tiba seorang yang mengaku jurnalis “senior” ikut nimbrung dalam status facebook. Ia mengomentari kasus itu dari sudut pandang lain. Ia menilai bahwa kasus itu tidak ada hubungannya dengan jurnalistik. Baginya itu murni kasus dua personal yang diawali dengan pertengkaran di facebook. Kebetulan saja saat kejadian, korban sedang meliput.

Ini tentu tidak bijak. Ia berpendapat sedemikian gampang, mungkin karena yang mengalaminya bukan wartawan yang berada di bawah perlindungannya. Ia bisa “memisahkan” antara facebooker dan jurnalis, hanya karena itu bukan orang dia. Ini bukan soal cengeng atau tidak cengeng. Ini bentuk tanggung jawab kami di redaksi untuk memberikan perlindungan. Konon lagi kami tahu –walau tidak mencampuradukkan– latar belakang pelaku dan tabiat kesehariannya.

Pada akhirnya, saya ingin sampaikan, bahwa siapapun yang mencoba mengancam keselamatan pewarta aceHTrend dengan cara melawan hukum, maka kami pun akan melakukan segenap daya upaya untuk mengadvokasi. Benar, bahwa di Aceh tidak semuanya mampu diselesaikan dengan hukum, bila falsafah itu digunakan untuk meneror kami, maka kami pun bisa mengembalikan ke peneror dengan kalimat yang sama.

Bahasa gampongnya begini : “kah aneuk agam, ke aneuk agam. Han kapateh, aci kathek sigo teuk. But tram trum (p) ka biasa di ulon tuan.”

Semoga kasus ini cepat selesai dan kita bisa kembali tersenyum. []

Foto: Bustami, wartawan aceHTrend wilayah liputan Lhokseumawe dan Aceh Utara.

What do you think?

Written by virgo

Walhi Aceh Diskusi Dengan Mahasiswa STAIN Malikussaleh

Toke Leumoe, Tewas Dalam Kandang Sapi