in

Atasi “Triple Deficit”, Harus Beralih ke Ekonomi Produksi

Menuju Indonesia Maju – Jangan Sia-siakan Kesempatan untuk Manfaatkan Bonus Demografi

>> Belasan tahun dana bank maupun APBN disia-siakan untuk sektor nonproduktif.

>> Pertumbuhan ekonomi 5 persen tidak mampu membawa RI menjadi negara maju.

JAKARTA – Ekonomi Indonesia saat ini sulit tumbuh pesat antara lain karena ter­hambat masalah struktural yang belum kun­jung teratasi, yaitu triple deficit berupa defisit neraca perdagangan, defisit neraca transaksi berjalan, dan defisit APBN.

Oleh karena itu, agar bisa membawa rak­yat menuju Indonesia maju, Presiden Joko Widodo harus memilih menteri-menteri ter­kait ekonomi yang terbaik dan hebat, sehing­ga mampu menghapus ketiga defisit tersebut, bahkan mengubahnya menjadi surplus.

Sejumlah kalangan menilai Indonesia bisa terbebas dari triple deficit itu tanpa meng­hambat laju pertumbuhan ekonomi, tapi justru berkelanjutan, jika segera beralih dari paradigma ekonomi konsumsi ke produksi.

Direktur Pusat Studi Masyarakat (PSM) Yogyakarta, Irsad Ade Irawan, mengemu­kakan paradigma ekonomi konsumsi mem­buat lebih dari separo pertumbuhan ber­gantung pada sektor konsumsi. Padahal, sebagian konsumsi tersebut dari impor, seperti pangan dan barang konsumsi yang juga dibiayai oleh utang.

“Demi mengejar pertumbuhan dari kon­sumsi, kita malah makin bergantung pada im­por dan menumpuk banyak utang. Padahal, pada akhirnya pertumbuhan tereduksi oleh defisit perdagangan dan transaksi berjalan,” papar Irsad, ketika dihubungi, Rabu (3/7).

Oleh karena itu, lanjut dia, pertumbuhan ekonomi yang tercipta jauh dari berkualitas dan berkelanjutan. Selama ini, dengan per­tumbuhan berkisar 5 persen maka kontri­busi konsumsi sudah hampir 3 persen. Jadi pertumbuhan riil hanya sekitar 2 persen.

“Bagi negara berkembang seperti Indo­nesia, pertumbuhan sebesar itu tidak cukup untuk menuju negara maju. Bahkan, kita bisa makin tertinggal dengan negara lain jika tidak segera berbenah,” tukas dia.

Irsad mengungkapkan belasan tahun dana masyarakat di perbankan maupun APBN disia-siakan untuk sektor nonproduk­tif, seperti kredit properti dan impor. Con­tohnya, 90 persen barang pada perdagangan elektronik atau e-commerce berasal dari impor. Selain itu, kredit properti yang tidak produktif justru berada di titik bubble de­ngan outstanding sekitar 800 triliun rupiah.

Menurut dia, dana sebesar itu apabila di­manfaatkan untuk modal produktif sektor pertanian, untuk produksi pangan, dan sub­stitusi impor maka bisa menghapus pembo­rosan devisa impor pangan yang mencapai 12 miliar–16 miliar dollar AS setahun.

“Tentu saja multiplier effect-nya akan mengalir di perdesaan, sehingga mening­katkan pendapatan dan taraf hidup petani dan rakyat golongan bawah yang hampir mencapai 70 juta jiwa. Mereka pun bisa maju menjadi masyarakat kelompok mene­ngah,” tutur Irsad.

Sebelumnya, peneliti Perkumpulan Pra­karsa, Irvan Tengku Hardja, mengatakan Jokowi dalam periode kedua pemerintahnya harus memanfaatkan lima tahun ke depan untuk menyiapkan fondasi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan.

Ini penting dilakukan agar Indonesia da­pat memanfaatkan bonus demografi dari melimpahnya penduduk usia produktif yang diperkirakan mencapai puncak pada 2030, untuk menjadi mesin pendorong per­tumbuhan ekonomi tinggi.

Irvan menilai Indonesia tidak punya banyak waktu lagi untuk membangun eko­nomi, industri, dan inovasi guna menyam­but ledakan usia produktif saat bonus de­mografi tiba.

“Jika Presiden Jokowi tak siapkan negara dengan dorong pertumbuhan berkualitas dan berkelanjutan maka saat puncak demo­grafi, anak muda kehilangan kesempatan untuk produktif, inovatif, dan memperoleh lapangan kerja,” papar dia, Selasa (2/7).

Tingkatkan Capaian

Pakar politik dari Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi, mengemukakan banyak capaian yang diraih pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi. Oleh karena itu, Jokowi yang didukung oleh mayoritas rakyat, harus memilih pembantu-pemban­tu terbaik dan hebat untuk meningkatkan capaian dalam lima tahun ke depan.

Menurut dia, setelah pemerintah mem­benahi infrastruktur, dan kini mulai fokus meningkatkan kapasitas sumber daya ma­nusia (SDM), maka diperlukan pula para menteri yang mampu memikirkan bagai­mana mendorong ekonomi produksi.

“Ke depan, yang harus dicapai adalah bagaimana melakukan redistribusi kemak­muran yang masih terkonsentrasi di orang kaya. Perlu diperhatikan pengembangan sektor kecil-menengah, UMKM, koperasi dan petani, dengan membuka lebar akses modal,” jelas dia. YK/SB/WP

What do you think?

Written by Julliana Elora

Bayar Nadzar Kemenangan Duet Jokowi-KH Ma’ruf Amin, Banser NU Ini Jalan Kaki dari Mesuji ke Istana Negara

Ulama Al-Azhar Mesir Kagumi Perkembangan Islam di Indonesia