Seorang teman mengirim kalimat bijak, dan saya suka membacanya. Maklum sebagai manusia, kita sangat sering mudah terprovokasi. Sering ”terpancing.” Bunyi kalimat itu begini:
“Jangan risaukan omongan orang. Sebab orang membaca dunia dengan pemahaman dan pengalaman yang berbeda.”
Sikap seperti itu sebenarnya sudah lama ada dalam hidup saya. Saat tidak naik di saat kelas 5 SD. Saya menjadi amat gusar. Itu terjadi zaman silam. Saya gusar melihat ibunda menangis. Gusar digunjingkan guru yang selalu membanggakan anak-anak tertentu yang dalam pikiran saya saat itu ”tidak keren.”
Tidak keren karena anak-anak yang dapat ranking menurut saya hidupnya terlalu steril, cengeng, kurang bandel, dan selalu ada yang membela. Sedangkan saya, ya begitulah, membela diri, ya sendiri saja. Kalau ditertawakan, saya ikut tertawa saja.
Begitu juga selanjutnya. Setelah sungguhan belajar, toh bisa juga masuk ranking. Tapi lagi-lagi saya merasa biasa saja. Saya malah gemas kalau nilai yang saya capai “diintip” teman-teman lainnya. Dibanding-bandingkan.
Bagi saya, mau ranking atau tidak bukan urusan. Yang penting, jangan ulangi kegagalan kemarin. Saya maunya berkembang, menjadi lebih baik. Sedangkan orang-orang di sekitar kita maunya serba instant. Maunya tampak hebat.
Tak Perlu Menjelaskan
Beberapa waktu lau, sebuah televisi bermaksud mewawancarai saya. Mereka meminta saya menjadi ahli tafsir. Maksud saya, mereka meminta saya menjelaskan apa makna “pemikiran Presiden pada tokoh-tokoh politik di beranda Istana.
Sebelumnya, Anda pasti tahu, Presiden berturut-turut berkunjung ke Kopassus, Kostrad, Paskhas, Brimob dan Marinir, dan lagi-lagi bertanya,”Ini leadership apa?”
Dulu juga begitu, saat Gubernur Joko Widodo pergi blusukan, semua orang juga ingin tahu, apa maknanya? Sama ketika Menteri Dahlan yang juga blusukan, bersepatu kets. Juga orang banyak bertanya.
Saya sendiri sebenarnya senang melihat pemimpin bekerja, periksa lapangan, tak hanya bicara dan duduk dengan staf-stafnya saja.
Bagi saya mereka semua ingin mengajak kita bersunguh-sungguh dalam melayani publik. Ya itu saja. Tetapi media masa “minta penjelasan” lagi. Bahkan berjam-jam, bersama dua tiga orang pakar pula. Kadang membuat kita bingung juga.
Seorang teman pun mengirim tulisan seorang pengamat politik. Ia menjelaskan kunjungan-kunjungan Presiden ke markas-markas militer sebagai pesan terselubung, yang artinya beliau memilih diam dan “mengasah pisau,” tatkala yang lain berteriak-teriak mangancam.
Kembali ke pertanyaan wartawan tadi tentang undangan Presiden pada petinggi-petinggi parpol untuk makan siang di Istana, tetap saja sulit dijelaskan. Dan seperti biasa pula, banyak elit yang menafsirkan.
Saya sendiri memilih diam dan merenung, duduk di tepi sungai di Ubud yang sulit dijangkau sinyal telepon.
Pertanyaannya adalah, haruskah bahasa simbolik dijelaskan, ditafsirkan, sementara aktor utamanya membuatnya serba santai, bahkan penuh jenaka.
“Wartawan tanya, makan apa sama bu Mega, saya jawab “Ikan bakar… mereka tanya lagi…,” itu jawaban presiden.
Juga soal naik kuda di rumah Jend. (Purn) Prabowo. Banyak orang minta dijelaskan maknannya. Padahal, kita cukup senyum-senyum saja, kasihan melihat Presiden yang tidak biasa naik kuda, canggung, sementara “sahabatnya” begitu gagah, biasa berkuda.
Ya, itu sebuah bahasa simbolik tentang kedekatan, keramahan, mengesankan seperti tidak ada masalah diantara mereka. Kita pun bisa merasakan aroma “ketentraman,” peaceful.
Ah indahnya pertemanan. Pasti mereka melakukan itu karena mereka cinta tanah air. Itu saja. Saya akhirnya berhasil menahan diri karena pesan bijak via WA yang saya terima juga bilang begini:
“Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun, mereka yang sudah menyukaimu tidak membutuhkan itu. Sedangkan yang membencimu, pasti tetap tidak percaya.”
Untuk Apa Alasan?
Saya pikir semua itu benar adanya. Dulu, saat saya “dikerjai” orang-orang tertentu yang tak menginginkan saya menjadi A atau B di kampus, saya selalu berusaha menjelaskan. Saya berupaya keras membantah omongan-omongan negatif yang tak masuk akal. Alasannya menurut saya, sangat logis.
Saya berharap akan semakin banyak yang mempercayai saya. Maklum orang kerja selalu jadi musuh bersama bagi yang maunya santai-santai, bagi-bagi saja, memelihara social–harmony. Sedangkan orang kerja menginginkan perubahan. Bagi orang lain, perubahan adalah ancaman.
Tetapi belakangan saya sadar, tak ada orang yang berubah setelah mendengarkan alasan-alasan atau argumentasi saya. Yang suka sama saya tetap baik dan postif, yang membenci, ya tetap antipati, malah semakin agresif.
Jadi, kembali ke Presiden kita, entah apa yang harus dijelaskan? Yang tidak suka, ya tetap bicara negatif, dan yang positif, ya tetap bisa tersenyum dan mungkin tetap merasakan ketentraman, damai lahir-batin.
Lagi pula, alasan atau penjelasan tentang diri memang tak perlu. Dalam teori mindset, hanya orang-orang yang merasa dirinya pintar dan beranggapan kepintarannya abadi, ditemukan akan menjadi orang yang “bekerja” untuk dinilai.
Jadi, hanya orang-orang seperti itu yang melakukan sesuatu demi pencitraan. Mereka jadi sulit maju, dan sulit membuat bangsa dan orang sekitarnya maju.
Itu menurut Prof. Carol Dweck (Stanford) yang meneliti tentang orang-orang ber-mindset tetap dan yang ber-mindset tumbuh.
Yang ber-mindset tetap itu, karena biasa mendapat nilai bagus di sekolah, selalu merasa cemas bila menyaksikan “saingannya” terlihat bagus, atau berpotensi menyalib, apalagi bila mereka berprestasi dan bisa melakukan “hal-hal berat” yang dulu tidak bisa ia jalankan.
Bagi mereka, prestasi hanya untuk mereka. Dan bila kurang bagus hasilnya, ia pun akan beralasan, membantah berita-berita negatif, kuping tipis, dan seterusnya.
Ah sudahlah. Tak semua orang cerdas akan cerdas terus selama-lamanya. Yang bodoh juga tak akan bodoh selama-lamanya. Dan menurut saya, yang akan menjadi semakin bodoh, atau tetap bodoh ya mereka yang selalu ingin menjelaskan tentang posisi dirinya.
Masalahnya, Anda ingin diomongkan menjadi orang hebat, atau ingin menjadi “lebih baik”? (*)
LOGIN untuk mengomentari.