Peran Besar Ayah Pastikan Bayi Dapat ASI
Semua tahu ASI lebih baik buat bayi. Namun, kurang dari separo bayi di Indonesia mendapat makanan terbaiknya itu. Lingkungan sering menjadi penghalang bagi ibu untuk menyusui anaknya.
Ini menjadi kebanggaan buat Gita Pratiwi, 27. Saat Abraham Saktiareja memasuki usia 14 bulan, dia bisa terus memberikan ASI. ”Saya bertekad menyelesaikan hingga anak saya berusia dua tahun,” katanya saat diwawancarai koran ini, Rabu (20/9).
Butuh perjuangan. Gita menyebut 14 bulan memberikan ASI bukan hal yang mudah. Kalau tidak getol mencari informasi sejak hamil plus dukungan penuh keluarga, itu tidak akan tercapai.
Gita yang bekerja di satu perusahaan media harus pintar-pintar mencari waktu untuk memompa ASI buat Abraham. Dengan pekerjaannya yang mobile, ke mana-mana dia harus membawa peralatan pumping lengkap dengan botol dan cooler untuk menyimpan.
Namun, semua keribetan itu terbayar. Tidak hanya menghemat karena harga susu formula mahal, yang terpenting adalah Abraham lebih sehat. ”Risiko ancaman penyakit jika mengganti ASI dengan susu formula. Toh, saya mampu memberikan ASI,” ucapnya.
Gita mengungkapkan, fasilitas untuk mendukung ibu yang memberikan ASI masih kurang di Indonesia. Dia masih menemui beberapa kantor yang tidak memiliki ruang laktasi untuk menyusui atau memerah yang layak. Belum lagi banyak perusahaan yang tidak memberikan cukup waktu bagi ibu menyusui untuk pumping.
Itu pula yang membuat angka ibu menyusui di Indonesia masih rendah. Data Unicef, hanya sekitar 45 persen ibu yang memberikan ASI kepada buah hatinya yang berusia 0–6 bulan. Kalau ditarik lebih panjang, sampai dua tahun, usia ideal anak mendapatkan ASI, jumlahnya lebih sedikit lagi.
Parahnya, dorongan utama ibu memberikan ASI adalah faktor ekonomi. Karena mau ngirit saja. Itu ditunjukkan oleh fakta bahwa mayoritas yang memberikan ASI ialah ibu dari keluarga menengah ke bawah. Jadi, orang-orang dengan perekonomian lebih baik lebih suka memberikan susu formula kepada anaknya.
Sebenarnya, melihat angka ibu melahirkan di fasilitas kesehatan yang mencapai 78 persen, angka ibu menyusui dengan ASI seharusnya tidak jauh berbeda dari itu. Hal tersebut akan terjadi jika kampanye di fasilitas kesehatan berhasil. Sayang, banyak fasilitas kesehatan di Indonesia yang kurang all-out mendorong ibu melakukan inisiasi menyusui dini (IMD). Hanya 54 persen ibu yang melakukan inisiasi dini. Dan dari angka itu, yang melanjutkan memberikan ASI sampai enam bulan menurun lagi menjadi 45 persen.
Pemerintah sebenarnya sudah berusaha meningkatkan angka partisipasi ibu memberikan ASI. Sejak 2008, Klaten sudah memiliki perda mengenai IMD dan ASI. Di tingkat nasional, pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Kesehatan untuk mendorong agar setiap bayi diberi ASI secara eksklusif selama enam bulan. Namun, upaya itu belum masif dan terstruktur sehingga hasilnya belum maksimal. Masih lebih banyak bayi yang diberi susu formula daripada ASI.
Tim nutrisi Unicef Sri Sukotjo mengatakan, keberhasilan memberikan ASI tersebut masih kurang, antara lain, karena kampanye masif dari pabrikan susu formula. Dukungan keluarga yang minim memperparah kondisi tersebut.
”Orang tua atau suami bahkan ada yang melarang memberikan ASI, lebih menganjurkan susu formula,” ungkap Ninik, sapaan Sri Sukotjo.
Suami memiliki peran besar bagi ibu untuk sukses memberikan ASI. Sang ayahlah yang harus memastikan istrinya mendapatkan semua hal yang dibutuhkan untuk memberikan ASI. Jika itu terjadi, peluang keberhasilan pemberian ASI akan sangat besar.
Dalam banyak kasus, ibu berhenti memberikan ASI karena kualitas dan kuantitas ASI yang kurang. Nah, itu sangat bergantung pada kondisi lingkungan sekitar ibu. Lingkungan tidak nyaman bisa memicu stres. Dalam kondisi itu, produksi ASI akan buruk.
Jika hal itu terjadi, ibu memerlukan konseling. Tenaga medis diharapkan menjadi garda depan dalam konseling tersebut. ”Sudah seharusnya tenaga medis ikut menyukseskan pemberian ASI,” tutur Ninik.
Konselor ASI, dr Utami Roesli SpA mendorong agar ASI diberikan sampai anak berusia dua tahun. Tidak hanya baik bagi kesehatan fisik, tapi juga secara mental. ”Pemberian ASI secara langsung (tidak menggunakan botol), menurut penelitian di Inggris maupun Australia, bisa menyebabkan anak tumbuh dengan kesehatan mental yang bagus,” jelasnya.
Pada penelitian tersebut dikatakan, anak usia lima tahun -yang sebelumnya diberi ASI tanpa botol- jarang rewel. Bahkan, si anak menunjukkan kepercayaan diri. ”Diketahui, anak juga jarang berbohong,” ucap Utami.
Bahkan, manfaat tersebut bisa dirasakan anak hingga usia remaja. ”Penelitian tersebut menyebutkan bahwa anak 14 tahun yang diberi ASI tanpa botol tidak mengalami gangguan perhatian, gangguan sosialisasi, dan menunjukkan kemampuan berpikir yang bagus,” jelasnya.
Kenapa memberikan ASI tanpa botol lebih baik? Kuncinya, ada kontak kulit si bayi dengan ibu. Dekapan ibu membuat pertumbuhan mental anak lebih baik. ”Ketika menyusui langsung, ada kontak mata dan rangsangan pendengaran. Ibu memang harus fokus dalam menyusui anak,” ungkapnya.
Manfaat lainnya dirasakan si ibu, hormon oksitosin yang keluar saat menyusui membuat ibu merasa nyaman. Kondisi nyaman itu, menurut Utami, akan memengaruhi daya tahan si ibu. ”Beberapa penyakit seperti kanker, stroke, dan obesitas juga akan berkurang. Ibu yang menyusui lebih sehat pada masa tuanya,” ujarnya.
Lalu, apakah harus saklek memberikan hingga dua tahun saja? Utami justru mengatakan, jika anak masih mau minum ASI setelah dua tahun, biarkanlah. ”Proses menyapihnya harus dengan kasih sayang. Biarkan si anak yang menolak sendiri. Salah satu caranya dengan memuji ketika dia tidak nenen lagi setelah dua tahun,” jelasnya.
Meningkatkan kualitas sumber daya manusia memang tidak hanya dimulai ketika si anak bersekolah. Pada awal kehidupan, pemberian gizi yang tepat tentu juga memengaruhi. Dukungan semua pihak untuk memberikan ASI sudah seharusnya dilakukan.
Ayah, menurut Utami, berperan sangat banyak. Yang pertama bisa dilakukan ayah adalah memberikan perlindungan kepada istrinya untuk menyusui. Misalnya saja ketika orang tua atau mertua melarang, maka ayah berperan sebagai mediator untuk menjelaskan alasan mereka memilih memberikan ASI.
”Ayahnya juga jangan bikin istrinya cemas atau khawatir,” beber Utami. Cemas adalah salah satu pemicu stres. Jika ibu stres maka kualitas ASI menurun. ”Ibu dibuat senang terus. Jangan suka pulang malam,” imbuhnya.
Dia pun juga mengatakan jika peran suami untuk membantu ibu dalam mengasuh si kecil juga harus dilakukan. Utami tidak menyarankan anak diasuh oleh ibunya saja. Dengan tindakan ini, menurut Utami ibu merasa dibantu dan tidak sendirian. (*)
LOGIN untuk mengomentari.