Oleh Alip Dian Pratama, M.H (Direktur Eksekutif Center for Democracy and Civilization Studies)
Kita masih menunggu, kira-kira, setelah adanya pertemuan antara Jokowi dan Prabowo sabtu (13/7) lalu di MRT Jakarta, apakah yang akan terjadi selanjutnya. Akankah kemudian Jokowi berhasil meyakinkan Prabowo untuk menjadi bagian dari koalisi pemerintahan dirinya di tahun 2019 ini? Atau, Prabowo kembali menyusuri jalan oposisi, yang telah digeluti dirinya dan partainya, Gerindra, semenjak kemunculan Gerindra di dalam arena politik nasional.
Beberapa analis kemudian menyatakan, sangat mungkin, Prabowo menyetujui proposal koalisi yang ditawarkan oleh Jokowi. Di samping urusan kultur politik kita yang relatif sangat cair, sehingga, benturan keras yang terjadi selama pilpres lalu, bisa dengan cepat diobati luka-lukanya, dan untuk kemudian segera berangkulan tangan, dan melupakan duka-getir selama kompetisi sengit kemarin.
Dalam konteks riil politik, jalan oposisi yang ditempuh Gerindra dan Prabowo, dari semenjak kemunculan mereka di panggung politik nasional, justru tidak berujung pada pencapaian tujuan besar Gerindra dalam dimensi politik; menuju partai penguasa.
Mungkin ini merupakan waktu yang tepat juga, jika Prabowo dan Gerindra, meninjau ulang pilihannya untuk menjadi simbol oposisi kembali. Sebab, jika memang tidak berdampak besar terhadap perolehan suara dan kursi partainya di parlemen, maka sesungguhnya, untuk apa semua ini dilakukan? Bukankah, prinsip dasar hadirnya partai politik di dunia ini, dalam rangka untuk merebut kekuasaan dan mempertahankannya selama mungkin?
Gerindra bisa menyambar tawaran koalisi dari Jokowi, setidaknya, dengan menggunakan alasan untuk ‘belajar’ semaksimal mungkin di ranah eksekutif, sebelum nantinya, benar-benar menjadi penguasa di republik ini. Kita semua tahu, sampai detik ini, satu-satunya parpol yang lolos ambang batas parlemen pada tahun 2019 ini yang belum pernah merasakan nikmatnya duduk di kursi koalisi pemerintahan, adalah Gerindra. Maka, jika itu demi kemajuan partai, kenapa tidak.
Golkar sudah memberikan contoh. Meskipun selalu memilih garis politik yang oportunis, yakni dengan selalu menjadi bagian yang terintegrasi dengan elemen kekuasaan, namun suara Golkar dari pemilu ke pemilu selalu stabil di tiga besar. Perolehan kursi mereka juga selalu mengembirakan, sehingga, dalam setiap momentum politik, selalu memberikan bobot politik yang besar, dan selalu menjadi variable penentu di setiap waktunya. Jika Golkar yang selalu di sisi kekuasaan saja, masih memiliki market pemilih yang cukup banyak, kenapa Gerindra tidak meniru jejak ‘sang saudara tuanya’ tersebut?
Konsekwensi Oposisi Tanpa Gerindra
Maka yang terjadi adalah, akan muncul tokoh koalisi baru di republik ini, menggantikan Prabowo, dan memiliki kesempatan yang besar untuk melakukan ‘rebound’ politik di tahun 2024 nanti. Sebab, setidaknya, ada sekitar 45% suara rakyat indonesia yang memilih Prabowo di tahun 2019 ini, dan itu merupakan market yang cukup besar jika digarap dengan baik oleh tokoh dan parpol oposisi hari ini.
Yang tersisa jika Gerindra ke koalisi pemerintahan, adalah Demokrat, PAN, dan PKS. Kecuali PKS, masing-masing parpol tersebut sudah bertemu dengan Jokowi, dan membangun komunikasi awal, guna menjajaki berbagai kemungkinan yang terjadi ke depan kelak, termasuk kemungkinan masuk menjadi bagian dari parpol koalisi pemerintahan.
PKS dianggap akan sangat sulit meloncat ke istana, sebab, jika elitnya melakukan itu, maka mereka akan terancam dihukum oleh mayoritas pemilihnya yang merupakan bagian integral dari gelombang populisme islam kemarin, yakni FPI, PA 212, dll pada pemilu 2024 nanti. Tentu saja itu adalah ongkos yang terlalu mahal bagi PKS. Belum lagi, akar rumput PKS yang dikenal cukup skeptis dengan profil Jokowi dan lingkaran elitnya, ini membuat semuanya menjadi lebih berat. Maka, tetap berdiri di sisi seberang istana, nampak yang paling logis bagi PKS saat ini.
Bersama Gerindra saja, kekuatan politik oposisi di parlemen sudah cukup lemah. Sebab, jika ditotalkan prosentase mereka semua, angkanya hanya mencapai 35, 39 persen. Belum cukup untuk menjadi kekuatan oposisi yang dominan di parlemen, atau minimal mengulangi pencapaian politik seperti yang dilakukan oleh Koalisi Oposisi di tahun 2014 lalu, yakni KMP (Koalisi Merah Putih) meskipun gagal memenangi pilpres, namun berhasil menjadi kekuatan mayoritas di parlemen, dan menyegel kursi pimpinan dewan di parlemen, sehingga di awal-awal masa kepemimpinan Jokowi, mampu menghadirkan perlawanan yang cukup ketat terhadap presiden.
Meskipun kemudian KMP bubar jalan, sebab beberapa parpol berhasil diundang masuk oleh Jokowi guna menempati pos-pos tertentu di kabinet, dan menjadi bagian dari koalisi pemerintahan, sehingga lanskap politik nasional juga pratktis langsung berubah.
Karena dari awal kekuatan politik oposisi tidak akan cukup signifikan dalam memberikan fungsi kontrol terhadap laju jalannya pemerintahan, maka, satu-satunya bentuk pengawasan yang mungkin dilakukan oleh oposisi adalah, dengan menjadi oposisi konsensus. Maksudnya, oposisi konsensus adalah oposisi yang menggunakan metode pendekatan yang lunak terhadap pemerintahan. Lebih sering menggunakan jalan dialog dan kompromi, sehingga, terkadang pihak pemerintah yang mengakomodir keinginan dari oposisi, atau sebaliknya. Dan tentu itu semua mungkin terjadi, jika ada tukar-menukar nilai politik di dalamnya, sehingga hal itu menjadi relevan.
Yang harus kita ingat, oposisi ini mungkin tidak akan segarang dengan varian-varian oposisi yang lainnya, terlebih disebabkan karena kekurangan bergaining position secara politik sebab bukan mayoritas.
Akan tetapi jika situasinya memungkinkan, kelompok oposisi bisa saja kemudian memainkan manuvernya di parlemen, agar satu atau dua partai yang tadinya di koalisi pemerintahan, untuk isu tertentu yang tengah menjadi pembahasan hangat di parlemen, dengan pertimbangan kepentingan jangka pendek, bisa saja diyakinkan untuk menjadi ‘rekan sesaat’ di parlemen, dan secara dramatis, mengambil posisi diametral terhadap garis kebijakan koalisi pemerintahan, dan bergabung dengan gerbong oposisi. Sehingga secara mengejutkan mampu merubah lanskap politik di parlemen, meskipun hanya sekejap saja sifatnya, sebab kesepakatannya hanya terhadap isu tertentu.
Hal ini pernah terjadi, jika kita ingat model koalisi pemerintahan yang dibentuk oleh Presiden SBY lalu. Berkali-kali, PKS dan Golkar, dalam isu tertentu di parlemen, khususnya tentang isu kenaikan bahan bakar mobil (BBM), secara mengejutkan mengambil garis politik yang berlainan dengan partai koalisi pemerintahan. Hal itu membuat kegirangan partai-partai oposisi, sebab, seperti mendapatkan durian runtuh, sehingga bobot politik mereka, sesaat bertambah, karena perubahan pendulum politik tersebut.
Momen-momen seperti itu, hanya mungkin terjadi, biasanya, jika melihat tren yang berlangsung di indoensia, ketika memasuki babak pembahasan terhadap isu yang sifatnya populis. Contohnya tadi tentang kenaikan bbm. Atau berkenaan dengan kenaikan harga sembako, serta tarif dasar listrik. Untuk isu-isu yang langsung dirasakan oleh rakyat, maka, parpol di pemerintahan, sangat mungkin mengambil langkah taktis untuk menyebrang ke posisi oposisi, sebab, tidak mau berada pada posisi berhadap-hadapan dengan rakyat, yang notabenenya pemilih mereka semua di pemilu lalu dan nanti.
Namun jika melihat rekam jejak Jokowi ketika memimpin indonesia di termin pertama lalu, adalah termasuk presiden yang mampu mengelola dinamika yang terjadi sesama penghuni di kabinet pemerintahan, sehingga situasi reaksioner seperti yang terjadi dan menimpa Presiden SBY lalu, tidak terulang sama sekali terhadap pemerintahan dirinya selama termin pertama kemarin.
Jokowi juga bukanlah termasuk tipe pemimpin yang terlalu dominan, sehingga terkadang terlampau keras terhadap rekan-rekan, ataupun koleganya di koalisi. Jokowi, sejauh yang bisa kita lihat, adalah jenis pemimpin yang sangat kompromistis. Semuanya jika mungkin, pasti akan dicari cara agar kebutuhan dan keinginannya, benar-benar diakomodir oleh dirinya.
Drama Akhir Babak
Dunia politik, sebagaimana yang kita tahu, bukanlah melulu tentang cerita di awal mulanya. Yang jika kita lihat hari ini, setiap elemen, berusaha semaksimal mungkin agar menjadi bagian dari kekuasaan.
Sesungguhnya, dunia politik, baru akan terlihat klimaks, dipenuhi adegan laga-laga yang heroik dan kolosal, ketika memasuki babak akhir.
Dari rentang waktu 2023 hingga 2024, kira-kira, bagaimanakah masing-masing elemen politik, bergerak secara sistematis dan terukur, untuk mendapatkan jalur take off yang nyaman, menuju pertarungan lima tahunan di 2024 nanti.
Sebab, menjelang pertarungan 2024 nanti, maka kaidah kawan dan lawan tidak berlaku lagi. Karena semuanya akan kembali dalam posisi netral. Tidak ada kawan, tidak ada lawan. Kawan hari ini, bisa saja lawan ketika di panggung kontestasi pemilu 2024 nanti. Begitupun sebaliknya.
Maka di sinilah letak menariknya drama politik itu. Tidak ada yang benar-benar kawan abadi, dan juga, tidak ada yang namanya musuh abadi. Yang ada hanyalah kepentingan. Atas dasar kepentinganlah, setiap elemen politik bisa menjadi kawan, maupun lawan.
Kaidah dasar itulah yang mesti kita gunakan, di dalam menyoroti babak pembuka termin kedua.
kepemimpinan Presiden Jokowi sekarang. Oleh karenanya, jangan terlalu saklek di dalam melihat relitas politik. Sebab, politik adalah proses kekuasaan yang sangat cair dan luwes.#