in

Belanja Negara Kurang Produktif karena Dibebani Bunga Utang

» Sekitar 19 persen belanja pemerintah dalam RAPBN 2021 untuk membayar bunga utang.

» Belanja negara hendaknya digunakan untuk memperbaiki daya saing sehingga impor turun.

JAKARTA – Di tengah merosotnya konsumsi, investasi, dan ekspor akibat pandemi Covid-19, praktis belanja pe­merintah menjadi tumpuan satu-satunya yang diharapkan bisa menahan kontraksi perekonomian. Sayangnya, komposisi anggaran yang telah dirumuskan oleh pemerintah dan DPR belum menunjuk­kan kemampuan anggaran menjadi trig­ger atau penggerak ekonomi.

Desain anggaran yang formulasinya seperti dalam kondisi normal menyebab­kan kalangan ekonom meragukan klaim pemerintah pada 2021 mendatang eko­nomi Indonesia bisa tumbuh 5 persen.

Pakar Ekonomi dari Universitas Ga­djah Mada (UGM) Yogyakarta, Bhima Yudhistira, kepada Koran Jakarta, Ming­gu (27/9), mengatakan besarnya pem­bayaran bunga utang yang merupakan belanja nonproduktif akan menimbul­kan masalah terhadap upaya pemulihan ekonomi. Pasalnya, lebih dari 19 persen belanja pemerintah akan dihabiskan untuk pembayaran bunga utang. Se­mentara itu, stimulus kesehatan jum­lahnya semakin kecil.

Pada tahun ini saja, stimulus kese­hatan hanya mendapatkan porsi 12,5 persen dari total stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

“Jadi, logikanya sangat abnormal da­lam penyusunan anggaran di mana sti­mulus untuk kesehatan lebih kecil dari pembayaran bunga utang. Masalahnya kan ada di penanganan pandemi, tapi bayar bunga utang diprioritaskan. Ba­gaimana tumbuh 5 persen kalau pena­nganan pandemi tidak jadi prioritas uta­ma,” kata Bhima.

Pemerintah, kata Bhima, dalam Ran­cangan Anggaran Pendapatan dan Be­lanja Negara (RAPBN) 2021 seharusnya menetapkan penanganan pandemi se­bagai prioritas dan bila anggaran kurang untuk menutupi belanja tidak produk­tif bisa mengajukan restrukturisasi dan write off utang luar negeri agar beban pokok dan bunga berkurang. “Dengan demikian, anggaran bisa direalokasi le­bih besar ke kesehatan sebagai prioritas utama pemulihan ekonomi,” jelasnya.

Untuk anggaran PEN, dia mengusul­kan agar diupayakan mendorong kon­sumsi dan belanja produktif. “Usaha Mi­kro Kecil Menengah dan bantuan sosial tunai harus jadi prioritas setelah kese­hatan,” kata Bhima.

Sementara itu, Ekonom Centre of Reform on Economic (Core) Indone­sia, Yusuf Rendy Manillet, mengatakan kebijakan fiskal yang tepat untuk men­dorong pemulihan ekonomi yakni de­ngan memperbesar belanja modal yang produktif ketimbang membayar bunga utang yang tidak produktif.

“Bunga utang ini tetap mengikut di RAPBN 2021 maka fluktuasi nilai tukar perlu dijaga karena pelemahan nilai tu­kar menyebabkan beban yang dibayar membengkak, terutama utang dalam valuta asing,” kata Yusuf.

Kurangi Beban

Dia mengimbau pemerintah untuk mengurangi beban anggaran, teruta­ma belanja yang tidak produktif dengan debt switch (menukar) dan buyback (membeli kembali ) utang dengan biaya yang lebih murah.

Selain itu, pos anggaran yang kurang produktif dipangkas sementara waktu, seperti perjalanan dinas, rapat dan meeting kementerian/lembaga (K/L).

“Transfer dana ke daerah juga bisa dihemat melalui pos dana insentif dae­rah, misalnya yang bisa dihemat atau diberikan pada daerah-daerah tertentu saja,” ungkap Yusuf.

Seperti diketahui, pemerintah ber­sama dengan DPR menyepakati pemba­yaran utang dalam RAPBN 2021 sebesar 373,26 triliun rupiah yang terdiri dari bunga utang dalam negeri 355,10 trili­un rupiah dan bunga utang luar negeri 18,15 triliun rupiah.

Pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjo­pranoto, mengatakan meskipun rasio utang Indonesia terhadap PDB masih di bawah 60 persen, namun hendaknya porsi belanja yang ada digunakan untuk memperbaiki daya saing ekonomi.

“Selama ini impor kita yang besar, sementara ekspor lebih mengandalkan komoditas primer. Obatnya memper­baiki daya saing, ekspor dan utang digu­nakan sebaik mungkin,” kata Wibisono.

Alih teknologi melalui kerja sama bilateral dibutuhkan dengan mengim­plementasikannya dari hulu ke hilir agar mengurangi kebergantungan pada impor, terutama bahan pangan. Utang yang ditarik harus produktif untuk membangun infrastruktur, pertanian, dan memperbaiki industri pariwisata sebagai sumber devisa. n uyo/SB/E-9

What do you think?

Written by Julliana Elora

Ditengah Pandemi Covid-19 Yang Tinggi, Pilkada di Sumsel Tetap Berjalan sesuai Tahapan

Segera Investigasi Dugaan Perbudakan di Perkebunan Sawit Malaysia