Jakarta (ANTARA News) – Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menyebut banyak berita bohong atau hoax banyak tersebar di media sosial (medsos).
“Masalahnya hoax itu dialirkan oleh media-media, terutama media-media yang non-mainstream,” kata Ketua Umum Mastel Kristiono, Senin.
Berdasarkan survei mereka, 92,4 persen responden mengaku mendapatkan berita bohong dari media sosial.
Penyedia media sosial dapat menyaring atau mengenali hoax, bukan memblokirnya.
Misalnya, platform tersebut dapat memberlakukan flagging atau penanda bahwa sumber informasi tersebut tidak terpercaya sehingga masyarakat dapat lebih berhati-hati.
Bila sudah mendapat informasi sumber informasi tersebut tidak terpercaya, masyarakat yang mengonsumsi pun dapat berusaha untuk tidak menyebarkannya.
“Yang penting bagaimana membangun sebuah sistem supaya masyarakat lebih kritis. Kalaupun hoax ada tidak terlalu berdampak,” kata Kristiono.
hoax musiman
Berita hoax tergolong musiman, bergantung pada stimulan berupa peristiwa yang sedang berlangsung.
Saat survei dilakukan, bertepatan dengan momentum pemilihan kepala daerah sehingga hoax yang marak berkaitan dengan sosial politik (91,8 persen) dan SARA (88,6 persen).
Menurut dia, tidak mungkin seratus persen menghilangkan stimulan karena aspek apa pun dapat dijadikan bahan untuk membuat hoax.
Lebih penting adalah mendewasakan masyarakat dalam menyikapi dunia digital.
“Kalau masyarakat imun terhadap hoax, yang menebarkan lama-lama capai,” kata dia.
(Baca juga: Masyarakat Indonesia kritis tanggapi hoax)
Editor: Ida Nurcahyani
COPYRIGHT © ANTARA 2017