Tokyo (ANTARA) – Randy Korompis baru sekali menjajal duduk di kursi sutradara lewat film laga “Foxtrot Six” yang dibuat dengan dana besar dan melibatkan sederet aktor-aktor papan atas.
Film ini dibintangi Oka Antara, Chicco Jerikho, Rio Dewanto, Mike Lewis, Arifin Putra, Edward Akbar, Verdi Solaiman, Julie Estelle, dan Aurelie Moeremans. “Foxtrot Six” adalah film kerja sama pertama di antara produser papan atas Hollywood Mario Kassar dengan Indonesia.
Karya perdana Randy sebagai sutradara menjadi salah satu perwakilan Indonesia di Festival Film Internasional Tokyo (Tokyo International Film Festival) 2019.
Bersama dengan “Folklore: Mother’s Love” dari sutradara Joko Anwar, film berbau Hollywood tersebut tayang di program CROSSCUT ASIA ♯06: Fantastic Southeast Asia yang kali ini menyoroti genre fantasi hingga horor dari Asia Tenggara.
ANTARA berbincang-bincang dengan Randy Korompis dan Oka Antara di Roppongi Hills, Tokyo, Jepang di sela penyelenggaraan festival film tahunan yang kini menginjak usia ke-32 itu.
Tanya (T): Film perdana masuk ke TIFF, bagaimana perasaanmu?
Randy (R): Gokil!
T: Sebagai film debut, kok Randy berani pilih film action yang butuh dana besar?
R: Saya penggemar game, film anime, fiksi ilmiah. Menurut saya sci-fi punya pesan simbolis ke zaman sekarang dan enggak harus di tempatnya yang… enggak spesifik ke Indonesia. Kasus di film ini sangat universal, di semua negara pernah mengalami. Itu yang saya suka, saya cuma bisa nulis semangat apa yang saya suka. Saya enggak mikir budget-nya berapa. Dari situ, kita nyari untuk film funding dari investor sekitar empat tahun.
T: Skenario digodok selama tiga tahun, apa yang membuat prosesnya lama?
R: Karena saya bodoh. (Oka tertawa) Beneran, waktu sekolah saya hanya belajar sutradara, penulisan itu sangat berbeda dan bagi para penulis Indonesia saya ngerti banget kesusahannya. Semoga makin banyak (muncul) penulis-penulis Indonesia.
Jadi saya belajar sendiri, belajar dari buku, nonton dari YouTube, belajar sendiri semua. Setiap kali nulis, (saya) kesal sendiri, marah sama diri sendiri. Nulis, buang. Nulis, buang. Sampai sekitar 70-80 draft saya puas dan berani untuk maju ke investor, saya benar-benar cinta dan bangga dengan hasil yang terakhir.
T: Kenapa semua dialog memakai bahasa Inggris?
R: Saya nulis pakai bahasa Inggris karena lebih cepat, kan kata-katanya lebih pendek, seperti “saya” jadi “me“. Saya selalu berpikir ini akan diterjemahkan ke Indonesia sebelum pre-production mulai. Lalu kami bertemu Mario Kassar sebagai sales agent internasional dan produser eksekutif. Kita tanya pendapat Beliau, kita pastikan dulu apa yang terbaik untuk dijual di luar (negeri), dia bilang bahasa Inggris.
T: Kenapa krisis pangan yang diangkat di film ini?
Oka Antara (O): Krisis pangan sebenarnya layer kesekian, yang paling pertama adalah bagaimana sebuah krisis dimanfaatkan dua grup, partai dan oposisi, mau take over kesempatan tersebut untuk dimanfaatkan demi kekayaan mereka sendiri.
Kalau krisis pangan itu diciptakan industri, dulu zaman dulu enggak ada ekspor makanan, tapi hidup baik-baik saja. Layer nomor satu adalah bagaimana dua kekuatan ini memanfaatkan krisis yang sedang ada dan sudah terlanjur diciptakan industri, ketika (pangan) habis semua orang ribut, ricuh.
T: Kenapa pilih latar belakang tahun 2031 di film, padahal kalau dilihat futuristik sekali. Kenapa tidak tahun 2100 atau 2200?
O: Karena itu ada mobil terbang dan dia enggak bisa bikinnya (tertawa).
R: Films sci-fi yang saya suka adalah yang enggak terlalu jauh di masa depan, karena kalau makin jauh makin susah dimengerti, terlalu fantasi banget.
O: (Bilang saja) Enggak bisa bikinnya, gitu. (tertawa)
R: Teknologi zaman sekarang itu cepat banget berkembang, sampai milenial zaman sekarang sudah banyak enggak tahu ini itu, padahal baru, handphone yang kaya pisang, pager, itu enggak lama.
Kalau mobil atau gedung 10 tahun (kemudian) enggak (akan) banyak berubah. Jadi misalnya, gadget di film ada armpad. Itu sekarang ada handphone (layarnya) bisa dilipat, jadi masuk akal.
(Gawai lain di film) baju yang seperti robot kelihatannya robotik banget tapi (seperti) eksoskeleton bagi orang lumpuh, sudah ada alat bantu itu.
T: Ada juga yang seperti jubah gaib, apakah terinspirasi Harry Potter?
(Oka tertawa)
O: Doraemon.
R: Iya, Doraemon. Bukan, dari teknologi handphone tertentu, layar handphone itu..pas mikir cerita ini delapan tahun lalu, mereka sudah memperlihatkan layar yang bisa dilipat kayak kain. Jadi kalau kain itu dipakai seperti layar kenapa enggak? Kalau kamera yang sekecil pen sudah ada, jadi kalau setiap pixel di baju selang seling screen dan kamera, maka apa yang kamera tangkap di depan diproyeksi di belakang.
T: Kalau kalian berdua membayangkan pada kenyataannya Indonesia akan seperti apa pada 2031?
R: Saya rasa Indonesia akan makin baik.
O: ‘Saya rasa’.. itu belum pasti. Gue jawab yang sudah pasti nih. Kita punya ibukota baru! Lo harus kasih tahu yang pasti. Real estate Jakarta…
R: Foxtrot Six ada sekuel.
O: Amin! Semoga industri film Indonesia sudah makin berwarna dan bervariasi. Mimpi saya, sudah ada international film festival sendiri seperti di Tokyo. (Sekarang) baru ada satu, kecil, Jogja-NETPAC Asian Film Festival.
T: Di skrip, mana yang paling susah direalisasikan?
R: Banyak sih yang susah. Karena saya kan mimpi dulu, untuk menjadikannya kenyataan…karena film Indonesia masih jarang yang (angkat tema) futuristik jadi kita semua ramai-ramai bekerjasama untuk (mencari tahu) bagaimana caranya..Harus riset sendiri, learning by doing sih.
T: Lebih gampang mencari pemain dengan kemampuan bela diri daripada aktor watak, alasannya memilih Oka?
R: Dari pertama, film ini saya bukan mau jadikan film action, ironically. Basic dari film ini adalah drama, cerita antara karakter yang berkonflik, action hanya letupan dari drama yang terjadi. Film action yang saya suka seperti itu, jadi sangat penting buat saya untuk (mengutamakan pilih) aktor profesional dulu yang paling penting. Fight scene bisa dipelajari. Saya yakin (dengan Oka), sudah ketemu dia dari 8 tahun lalu, pas bikin short movie sudah (menetapkan karakter akan diperankan) sama Oka, Mike Lewis, Verdi (Solaiman) dan kawan-kawan.
O: Itu yang saya salut dari sutradara kayak Randy dan Joko Anwar yang ikut menyelami film action, “Foxtrot”, “Gundala” dan sebagainya. Kita pengin kasih notion vibe yang profesional yang bagus kepada industri perfilman Indonesia.
Ketika seorang filmmaker mau bikin film itu apa sih yang mau dikedepankan, ada human conlict, mesti bisa dimainkan oleh orang yang punya mileage experience di bidang drama.
Sama kayak ada orang punya cerita tentang orang yang buntung kakinya di kursi roda, apakah yang main harus orang difabel? Itulah akhirnya sesama rekan profesi, sutradara sinematografer sama aktor saling menghargai. Kalau dengan cara seperti itu kita jadi merasa jadi aktor, kita menyelami sesuatu yang kita pelajari dari nol, itu yang menyenangkan jadi seorang aktor.
R: Di film ini kita bekerjasama dengan Uwais Team, mereka hebat dan profesional sekali, cara melatihnya (membuat saya) salut.
T: Kalau ada kelanjutan Foxtrot Six, akan seperti apa?
R: Saya selalu bikin film satu (langsung) selesai, enggak pernah mikir (bikin) gelondongan. Tapi saya selalu suka bikin ending yang bisa dikembangkan.
Kalau memang penonton support, kita bisa kembangkan lebih luas; sekuel, prekuel, spinoff.
Baca juga: Bermain di film “Foxtrot Six”, Mike Lewis merasa seperti pria sejati
Baca juga: Oka Antara lakoni adegan berbahaya di “Foxtrot Six”
Baca juga: Chicco Jerikho ketagihan main film action
Oleh Nanien Yuniar
Editor: Ida Nurcahyani
COPYRIGHT © ANTARA 2019