Sungguh beruntung, rencana sel teror ISIS untuk meledakkan Istana Negara telah tercium Densus 88. Jika tidak, betapa banyak korban dari aksi yang direncanakan pada saat pergantian Pasukan Pengamanan Presiden itu (11/12). Dampak lain tentu sangat luas dan besar bagi bangsa ini jika aksi teror istana itu terjadi. Sebab, Istana Negara adalah simbol yang sangat dihormati bangsa ini.
Pelaku rencana jahat ini telah tertangkap. Namun, otak dari semua ini sulit dikejar. Sebab, ia kemungkinan besar berada di wilayah teritorial ISIS di Syria atau Iraq. Kemungkinan terbesar ia berada di Syria.
Masih Ada
ISIS masih menjadi sumber ancaman di mana-mana. Seperti pernah beberapa kali terjadi, peledakan sepertinya direncanakan serentak di sejumlah negara di Dunia. Jakarta, Istanbul, Kairo, ’Adn (Yaman Selatan), Mogadishu, dan mungkin kota-kota lain dalam ancaman serangan teror dalam waktu hampir bersamaan. Sebagian besar tudingan mengarah ke sel-sel ISIS atau kelompok-kelompok teror lokal yang bekerja sama dengan ISIS.
Padahal, ISIS sudah jauh melemah. Struktur kenegaraan ISIS pusat, yaitu di Mosul, Irak, sudah lumpuh. Tak ada kota besar dan penting yang mereka pertahankan secara penuh di Negara Seribu Satu Malam itu. Terbebasnya Mosul, ibu kota ISIS sekaligus pusat kekhalifahannya, tinggal menunggu hari.
Saat ini, kekuatan elite Irak dibantu sejumlah tentara reguler dan banyak milisi terlibat dalam perang kota yang sengit. Kekuatan yang bertempur sesungguhnya tidak seimbang. Namun, tentara Irak menerapkan prinsip sangat hati-hati untuk meminimalkan korban sipil sehingga waktu pertempuran sedikit lebih lama. Lenyapnya ISIS sebagai kekuatan teritorial di Irak tak akan lama lagi. Mereka tinggal berkuasa di beberapa daerah pinggiran di Syria.
Akankah kelompok ini kemudian segera bermetamorfosis kembali jadi kelompok teroris global tanpa basis teritorial seperti tandzim Al Qaeda, induknya dahulu? Kemungkinan itu sangat besar, khususnya bagi anasir ISIS di Irak. Tak akan mudah bagi mereka melakukan eksodus teritorial ke Raqqa, Syria, misalnya. Sebab, musuh mereka telah mengepung dari berbagai arah.
Perpindahan ke Raqqa yang relatif jauh dari Mosul barangkali hanya terjadi di kalangan para pemimpin teras ISIS dan orang-orang terdekatnya melalui penyamaran yang sangat rahasia. Raqqa (Syria) adalah wilayah yang paling dekat dengan Mosul yang masih dikuasai secara penuh oleh ISIS. Saat ini, sebagian pentolan ISIS diberitakan sudah berada di Raqqa, Syria. Entah kapan mereka bergerak dan dengan cara apa bisa mengelabui kekuatan yang mengepung mereka. Yang jelas, ISIS sudah tak lagi mengontrol jalur Mosul-Raqqa. Mereka harus menghadapi hambatan yang tak mudah untuk bergerak. Akses melarikan diri melalui laut juga tak ada.
Oleh karena itu, banyak eksponen ISIS di Iraq yang kemungkinan sudah menyebar dengan cara menyusup ke dalam barisan pengungsi. Penyebaran yang paling mungkin adalah ke kota-kota lain di Irak, termasuk ke wilayah Kurdistan dan juga ke daerah-daerah perbatasan Turki. Wilayah-wilayah ini adalah yang paling dekat secara geografis dan merupakan konsentrasi para pengungsi.
Sebagian mereka bisa saja berhasil mencapai wilayah yang jauh seperti ke negara-negara Arab atau Timur Tengah lain hingga ke Eropa. Infiltrasi ISIS ke dalam barisan pengungsi menuju Eropa sudah banyak diberitakan. Karena itu, sikap negara-negara Arab dan Eropa terhadap pengungsi sangat waspada. Para pengungsi itu akibatnya harus melewati proses yang sangat ketat untuk melalui atau masuk negara-negara Arab maupun Eropa.
Namun, ISIS sebagai organisasi teroris terbesar tampaknya tak mau menyerah. Mereka tak mau segera bermetamorfosis kembali jadi kelompok teroris global yang hanya “bertamu” di banyak negara. Mereka berupaya habis-habisan untuk mempertahankan basis teritorialnya. Oleh karena itu, kekuatan kelompok ini sepertinya akan dipecah, yakni di Raqqa dan di wilayah-wilayah potensial lain yang mereka kuasai, baik di Libya, perbatasan Mesir-Palestina, Yaman, Pakistan-Afghanistan, dan lainnya.
Bagaimanapun, basis teritorial adalah identitas mereka. Teritorial adalah inti sari “ijtihad” al-Baghdadi dalam membangun organisasi teror baru bernama ISIS (al-Dawlah al-Islamiyyah fi al-Iraq wa al-Syam) atau IS (al-Dawlah al-Islamiyyah) ini. Ini pula yang menjadi pusat koreksi para jihadis terhadap organisasi teroris lama Al Qaeda yang hanya menjadi “tamu” di setiap negara. Bagaimanapun, penguasaan atas wilayah tertentu dan membangun struktur kenegaraan di dalamnya membuat ISIS dipandang para jihadis sebagai kelompok yang lebih kredibel daripada Al Qaeda.
Dengan penguasaan teritorial, mimpi utopia tentang khilafah itu tampak jadi lebih nyata. Karena itu, banyak sekali pengikut Al Qaeda yang eksodus loyalitas ke ISIS begitu “negara khilafah” itu diproklamasikan.
Para pemimpin ISIS adalah orang-orang yang dikenal ahli dalam strategi. Mereka terdiri atas orang-orang yang sangat berpengalaman di arena-arena ’’jihad’’ di dunia Islam, eks pimpinan teras Partai Baaths masa Saddam Hussein, dan lain-lain. Banyak di antara mereka sebenarnya bukan tipe manusia ideologis, tapi manusia rasional. Orang-orang ideologis justru biasanya ada di level bawah dalam struktur ISIS. Sedangkan para pemimpin ISIS cenderung rasional dan realistis, apalagi dalam menentukan strategi mereka.
Ada kemungkinan para pemimpin teras ISIS sejak dini mempersiapkan skenario terburuk jika suatu saat seluruh basis teritorial ISIS tumbang. Faktanya memang demikian. Mereka hampir kehilangan seluruh wilayah di Irak, terdesak di Syria, Libya, Sinai, dan Yaman. Mereka sepertinya juga sedang mempersiapkan diri jika harus bermetamorfosis jadi kelompok teroris global, termasuk menyiapkan sel-selnya yang menyebar di Eropa hingga Indonesia.
Mereka harus memiliki jaringan yang lebih banyak sebarannya, lebih kuat, dan lebih mumpuni daripada Al Qaeda. Mereka tentu mempersiapkan diri agar mereka berbeda dari Al Qaeda agar tetap dipandang kredibel oleh para pengikutnya dan jaringan jihadis global. Sebab, jika mereka tak bisa meyakinkan para pengikut sebagai kelompok teror nomor wahid, mereka hampir bisa dipastikan akan ditinggalkan banyak pengikut sebagaimana nasib Al Qaeda.
Bisa saja para pengikut ISIS itu kembali ke Al Qaeda kendati kemungkinan itu kecil sebab permusuhan ISIS-Al Qaeda itu sudah demikian mendalam. Kemungkinan lain, para komandan ISIS yang telah memiliki pengikut akan mendeklarasikan organisasi teroris baru. Ini yang paling berbahaya jika organisasi teroris itu kemudian bisa diterima komunitas jihad global dan mampu menghimpun mereka kembali dalam organisasi teror yang lebih menakutkan.
Tetapi, hingga saat ini belum ada berita mengenai kepemimpinan baru yang sangat kuat yang melebihi al-Baghdadi di cabang-cabang ISIS. Metamorfosis ISIS tampaknya akan sangat ditentukan oleh perkembangan satu dua bulan ke depan di medan tempur Mosul, Syria Utara, dan Libya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.